rangkuman ide yang tercecer

Kamis, 12 Maret 2015

Kepastian Hukum



Kepastian Hukum
0leh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

Diskusi paling klasik baik formal maupun informal ialah seputar membangun kepastian hukum dalam berbangsa dan bernegara. Tetapi, pada tataran empirik masalah kepastian hukum terkadang menimbulkan multitafsir serta ambivalensi ketika diperhadapkan pada pergesekan kepentingan individu, institusi dan lain sebagainya. Kepastian hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) ialah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Artinya, kepastian perangkat hukum suatu negara yang menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara tidak boleh ditafsirkan atas kepentingan apapun. Sebab, apabila perangkat hukum negara diinterpretasikan dari sudut pandang norma-norma lain, seperti norma agama, norma sopan santun, norma sosial dan lain-lain justru kepastian hukum tak akan pernah terwujud.
Norma hukum bersifat memaksa harus pula disadari adalah salah satu norma  paling mampu menjamin kepastian hak dan kewajiban setiap warga negara secara universal disertai sanksi-sanksi riil atas pelanggaran antar individu, antar lembaga hingga dikenal adagium hukum “tak seorang pun boleh di hukum bila hukum tidak mengaturnya”. Harus pula disadari, bahwa ketidakmampuan norma agama, norma sopan santun, norma susila, norma sosial, dan norma lainnya memberikan sanksi tegas dan langsung terhadap pelanggaran norma-norma itulah alasan paling fundamental lahirnya norma hukum bersifat memaksa disertai sanksi langsung terhadap pelanggarnya supaya terjamin hak dan kewajiban setiap warga negara tanpa kecuali  dalam berbangsa dan bernegara.
Salah satu ancaman paling laten terhadap upaya membangun kepastian hukum ialah munculnya multitafsir dan pasal-pasal karet dari suatu produk hukum itu sendiri. Produk-produk hukum yang seharusnya memberi kepastian hukum terhadap setiap warga negara justru sebaliknya melahirkan ketidakpastian hukum yang pada ujung-ujungnya menimbulkan prahara hukum serta debat kusir tak karuan sebagaimana terjadi pada kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia belakangan ini. Seandainya, ruang multitafsir dan pasal-pasal karet tidak menyelimuti berbagai produk hukum di republik ini maka kisruh hukum tidak akan timbul bagaikan belantara tak berujung yang menguras energi bangsa terbuang sia-sia.   
Sebagai negara hukum polemik, kisruh, perseteruan antar lembaga penegak hukum tentu merupakan hal paling memalukan dan mengecewakan. Betapa tidak, lembaga penegak hukum yang didalamnya bertumpuk ahli-ahli hukum berkaliber sejagat sungguh sangat tak masuk akal berseteru satu sama lain dalam menjalankan penegakan hukum yang baik dan benar. Walau masing-masing pihak berupaya mendasarkan diri pada argumentasi-argumentasi  dalil-dalil hukum super canggih bila produk hukum tidak diselimuti multitafsir serta pasal-pasal karet maka publik akan sangat mudah melihat siapakah yang berupaya melakukan pembelokan, pembelotan, penyelundupan hukum secara telanjang.
Tetapi, karena produk-produk hukum di negeri ini masih dijejali dalil-dalil sumir, multitafsir, pasal-pasal karet yang tidak pernah disadari atau mungkin juga disengaja oleh pembuat undang-undang dilatari “perselingkuhan, persekongkolan, persubahatan” berkelindan kepentingan pihak tertentu menjadikan banyak produk peraturan perundang-undangan tidak menggambarkan kepastian hukum sejati. Hal itu bisa dibuktikan dengan banyaknya produk hukum di republik ini diajukan peninjauan materi  (yudicial review) ke Mahkamah Agung (MA) maupun ke Mahkamah Konstitusi (MK).  Dan paling tak masuk akal ialah apabila lembaga-lembaga penegak hukum terjebak ke pusaran “politisasi hukum” dan kepentingan pelanggengan penguasa dan kekuasaan.  
Sekalipun pun hukum lahir dari proses politik, tetapi ketika produk hukum itu telah diputuskan/ditetapkan sebagai peraturan perundang-undangan yang absah maka setiap warga negara harus tunduk, patuh, menghormati dan menjunjung tinggi sebagai perangkat hukum negara mengikat untuk menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara, tanpa kecuali. Karena itu, seluruh produk perundang-undangan tidak boleh sekali-sekali didasarkan atas boncengan kepentingan sektoral apalagi mendiskriminasi yang ujung-ujungnya menimbulkan ketidakadilan dalam berbangsa dan bernegara.       
Perdebatan akademis, mendengar aspirasi publik (public hearing)  seharusnya telah selesai ketika suatu produk hukum disetujui, diputuskan dan ditetapkan serta diundangkan di dalam Lembaran Negara (LN) resmi. Selanjutnya, di dalam implementasinya tak terlalu diperlukan lagi berbagai tafsir-tafsir hukum aneh-aneh ataupun perdebatan yang menimbulkan kebingungan di ruang publik.
Oleh karena itulah para pembuat peraturan perundang-undangan  yakni Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten/Kota serta eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) tidak boleh sekali-sekali “kejar paket, kejar target, kejar tayang” dalam melahirkan peraturan perundang-undangan sekadar mencapai atau memenuhi kewajiban konstitusional tanpa mempertimbangkan kualitas produk perundang-undangan yang ditelorkan.    
Kekeliruan bahkan sesat pikir para pembuat undang-undang ialah mengklaim diri telah berhasil kinerjanya bila mampu melahirkan berbagai produk perundang-undangan walaupun tak berkualitas adalah sebuah fenomena yang amat sangat mengecewakan dan memprihatinkan belakangan ini. Padahal, capaian keberhasilan kinerja pembuat peraturan perundang-undangan sesungguhnya bukanlah terletak pada seberapa banyak (kuantitas) produk hukum yang dilahirkan, tetapi seberapa berkualitas produk perundang-undangan yang dikeluarkan untuk menjamin kepastian hukum dalam berbangsa dan bernegara.   
Pembuat undang-undang seharusnya malu terhadap rakyat jika berbagai peraturan perundang-undangan mendapat penolakan publik kemudian diajukan peninjauan materi ke Mahkamah Agung (MA) maupun Mahkamah Konstitusi (MK) yang notabene menghabiskan uang rakyat. Berbagai produk peraturan perundang-undangan yang tidak secara nyata-nyata untuk melindungi kepentingan rakyat kerap menjadi prioritas program legislasi, sementara peraturan perundang-undangan untuk melindungi kepentingan rakyat tak kunjung lahir, seperti; peraturan perundang-undangan tentang masyarakat hukum adat supaya masyarakat hukum adat tuan di tanah leluhurnya. Permasalahan hak masyarakat hukum adat yang telah memakan korban, baik harta maupun nyawa hingga kini masih belum menjadi prioritas legislasi nasional. Padahal, persoalan atau kasus-kasus masyarakat hukum adat di hampir seluruh daerah di republik ini telah berlangsung puluhan tahun tanpa penyelesaian tuntas.    
Jangan salahkan sinisme masyarakat bila sampai pada konklusi, bahwa pembuat undang-undang telah menjadikan program legislasi nasional (Prolegnas) salah satu bancakan untuk “menggerogoti keuangan Negara”. Sebab, fakta membuktikan banyak produk perundang-undangan diajukan untuk dibatalkan melalui judicial reiew,  ke Mahkamah Agung (MA) maupun ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak sinkron dengan undang-undang diatasnya.   
Sungguh sangat kontraproduktif, ambivalen dan ambigu cita-cita membangun kepastian hukum justru dikotori pertarungan tarik-menarik kepentingan sektoral lembaga penegakan hukum sebagaimana perseteruan-perseteruan yang terjadi selama ini. Perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang “dibranding” Cicak vs Buaya, Perseteruan Kejaksaan Agung Republik Indonesia versus Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahkan perseteruan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia versus Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang dilabeli “Ustadz di kampung maling” menjadi menu tontonan publik tak bermutu  disebabkan egoisme sektoral belaka.   
Rakyat semakin bingung menonton drama perseteruan antar lembaga penegak hukum apalagi diseret-seret ke ranah politik ataupun opini publik  menimbulkan kegaduhan, kekisruhan luar biasa di negeri ini.     
Roscoe Pound mengatakan, Hukum adalah sekumpulan penuntun yang berwibawa atau dasar-dasar ketetapan yang dikembangkan dan ditetapkan oleh suatu teknik yang berwenang atas latar belakang cita-cita tentang ketertiban masyarakat dan hukum yang sudah diterima (Sudarsono, 2007;167).
Sebagai penuntun berwibawa atau dasar-dasar ketetapan yang mengatur ketertiban masyarakat atau hukum tentu haruslah sebuah produk hukum yang terang-benderang, jelas dan tegas bukan produk-produk hukum multitafsir serta pasal-pasal karet yang memberi peluang aneka interpretasi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pembuat undang-undang seharusnya menyadari, bahwa produk hukum multitafsir dan pasal-pasal karet yang tidak mustahil semata-mata mengakomodasi kepentingan terselubung pihak tertentu pada suatu ketika akan menjadi “bom waktu” timbulnya prahara hukum di kemudian hari. Oleh karena itu, pembuat undang-undang tidak boleh sekali-sekali terjebak pada boncengan kepentingan ataupun atas order pihak-pihak tertentu dalam melahirkan produk peraturan perundang-undangan.  
Ancaman Kepastian Hukum.    
Jika diperhatikan cermat dan seksama ada beberapa faktor yang mempengaruhi sulitnya membangun kepastian hukum di negeri ini, antara lain;
Pertama, Produk hukum yang tidak tegas dan jelas membuka peluang multitafsir dalam ranah implementasi. Hal itu bisa dilihat dari berbagai produk peraturan perundang-undangan yang masih menggunakan pasal-pasal karet dan multitafsir. Ketidaktegasan, ketidakjelasan peraturan perundang-undangan membuka aneka interprestasi atau tafsir-tafsir hukum ketika terjadi peristiwa hukum  ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, kepastian hukum hanya bisa terwujud apabila produk hukum benar-benar penuntun berwibawa yang harus dipatuhi, dijunjung tinggi seluruh warga negara, tanpa kecuali. Bukankah hal itu sudah diatur secara tegas dan jelas pada pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ? Tetapi, justru banyak ditemukan produk peraturan perundang-undangan mendegradasi, menegasi serta menyimpang dari konstitusi atau peraturan perundang-undangan diatasnya.    
Kedua, Politisasi hukum yakni menarik-narik permasalahan hukum ke ranah politik. Memang harus diakui, bahwa hukum atau peraturan perundang-undangan lahir dari suatu proses politik, tetapi ketika peraturan perundang-undangan itu telah diputuskan/ditetapkan menjadi suatu peraturan perundang-undangan resmi dan absah serta diundangkan di dalam Lembaran Negara (LN) resmi maka setiap warga negara harus tunduk, patuh, menghormati dan menjunjung tinggi, tanpa kecuali. Siapapun, termasuk pembuat undang-undang itu sendiri harus tunduk dan taat terhadap undang-undang sebagai penuntun dan pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Politisasi terhadap hukum harus pula dimaknai ancaman nyata dan laten dalam upaya membangun kepastian hukum. Segala bentuk intervensi dari pilar-pilar kekuasaan menjadi penyebab pertama dan utama kegagalan membangun kepastian hukum di negeri ini.
Ketiga, Tekanan massa (unjuk rasa, demonstrasi-red) yaitu pemaksaan kehendak dengan gelombang unjuk rasa atau demonstrasi. Pasca reformasi, fenomena unjuk rasa atau demonstrasi sepertinya dianggap salah satu cara paling ampuh untuk memaksa institusi atau lembaga penyelenggara negara.
Parlemen jalanan secara obyektif harus diakui merupakan akibat tersumbatnya saluran aspirasi rakyat yang seharusnya dijalankan institusi-institusi negara. Namun demikian, tidak mustahil juga gelombang unjuk rasa atau demonstrasi telah terjebak pada kepentingan subyektif hingga muncul kelompok pro dan kelompok kontra atas terjadinya peristiwa hukum. Misalnya, kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia belakangan ini menimbulkan unjuk rasa atau demonstrasi pro dan kontra terhadap kedua institusi penegak hukum itu.  Masing-masing kelompok unjuk rasa atau demonstrasi memaksakan kehendak dengan berbagai argumentasi hukum, etika, norma, bahkan tidak mustahil atas fanatisme ego sektoral institusi atau lembaga. Harus disadari, bahwa bila hukum tunduk atau kalah atas tekanan unjuk rasa atau demonstrasi maka hingga kapan pun kepastian hukum tidak akan pernah terwujud di negeri ini.  
Fenomena maraknya gelombang unjuk rasa atau demonstrasi pasca reformasi menjadikan republik ini tiada hari tanpa unjuk rasa atau demonstrasi harus pula disiasati cermat dan cerdas dalam upaya membangun kepastian hukum. Sebab, tidak mustahil gelombang unjuk rasa atau demonstrasi dilatari kepentingan subyektivitas pihak tertentu belaka.  
Keempat, Vonis di luar pengadilan yakni pelekatan predikat bersalah (terpidana) terhadap seseorang walaupun belum ada keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap  atas dugaan pelanggaran tindak pidana. Bukankah yang berhak secara konstitusi memutuskan dan/atau menetapkan seseorang melanggar hukum adalah hak mutlak absolut hakim atau pengadilan ? Akan tetapi belakangan ini kerap terjadi vonis bersalah   diluar pengadilan negara resmi. Padahal, republik ini selalu lantang mengatakan menjunjung tingga prinsip “Praduga tak bersalah (precumption of ennocence)” yang menjamin tak seorang pun divonis bersalah sebelum keputusan dan/atau penetapan pengadilan negara resmi.
Azas Praduga tak bersalah adalah jaminan kepastian hukum sejati yang menjamin tak seorang pun bisa divonis terpidana, kecuali keputusan dan/atau ketetapan pengadilan negara berkekuatan hukum tetap. Apakah masih ada kepastian hukum jika seseorang diberi label “Terpidana” hanya berdasarkan opini publik ?. Bila opini publik bisa memutuskan dan/atau menetapkan seseorang menjadi terpidana untuk apa masih dipertahankan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dan pengadilan lainnya di negeri ini.   
Kelima, Intervensi kekuasaan yakni tekanan kekuasaan terhadap proses hukum yang sedang berlangsung. Berbagai opini masyarakat yang mendesak Presiden Jokowi agar menggunakan hak konstitusionalnya untuk menghentikan proses hukum terkait kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia belakangan ini adalah salah satu bukti faktual. Padahal, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah tegas menyatakan sikapnya, bahwa proses hukum atas kasus ini harus dilakukan transparan, terbuka, obyektif tanpa intervensi dari pihak manapun. Sikap tegas Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tak mau mengintervensi proses hukum yang sedang berlangsung harus pula dimaknai upaya konkrit membangun kepastian hukum. Sebab kepastian hukum hanya bisa terwujud tanpa intervensi dari pihak manapun.
Segala bentuk intervensi, baik domestik maupun luar negeri terhadap putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap harus pula dimaknai ancaman laten kepastian hukum di republik ini. Kepastian hukum hanya bisa terwujud apabila setiap orang patuh, tunduk, menghormati, menjunjung tinggi putusan hukum pengadilan berkekuatan hukum tetap. Bila putusan hukum tunduk pada intervensi kekuasaan dan kepentingan politik maka sampai kapan pun kepastian hukum tak akan pernah terwujud di negeri ini.
Keenam, Peradilan bersih, mandiri dan berwibawa yakni suatu proses peradilan jujur, terbuka, transparan, mandiri tanpa terpengaruh anasir apapun. Kemandirin dan kewibawaan lembaga peradilan tentu haruslah diisi oleh para hakim yang bersih, berintegritas, kapabel, kredibel yang dibuktikan putusan-putusan hukum yang dijatuhkan. Sebagai wakil “Tuhan” hakim tentu haruslah bertanggungjawab atas putusannya demi kebenaran dan keadilan hukum, moral dan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, hakim harus mandiri dan berwibawa menjatuhkan putusan yang mencerminkan kebenaran dan keadilan universal.
Seorang hakim tidak boleh sekali-sekali terpengaruh atas godaan, pengaruh pihak mana pun juga, sebab kewibawaan lembaga peradilan tercermin dari putusan yang mengandung kebenaran dan keadilan publik itu sendiri. Jika putusan pengadilan telah mampu mencerminkan kebenaran dan keadilan maka upaya-upaya hukum seperti; naik banding, kasasi maupun peninjauan kembali (PK) akan bisa diminimalisasi sehingga tumpukan kasus-kasus di Mahkamah Agung (MA) akan bisa ditekan.
Sungguh sangat menyedihkan sekaligus mengecewakan apabila putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap tidak kunjung dieksekusi, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat tetap hingga timbul ketidakpastian hukum ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Misalnya,  Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45/PUU-IX/2011 tertanggal 21 Pebruari 2012 tentang penghunjukan kawasan hutan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap alias membatalkan SK Menhut No. 44 tahun 2005 tentang penghunjukan kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara” belum secara tegas dan nyata-nyata mengembalikan hak masyarakat adat di Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat hukum adat belum memperoleh kepastian hukum tentang hak-haknya sehingga sampai saat ini masih berjuang untuk mencari kebenaran dan keadilan ke berbagai lembaga negara, termasuk DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI maupun ke instansi terkait.
Masyarakat hukum adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah bertahun-tahun berjuang untuk mengembalikan hak turun-temurunnya hingga kini belum berhasil, padahal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45/PUU-IX/2011 sudah keluar tiga(3) tahun silam.
Inilah salah satu potret buram kepastian hukum di republik ini yang turut mendegradasikan wibawa lembaga hukum di mata masyarakat. Hal ini tentu harus menjadi perhatian serius dari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang ingin mewujudkan kepastian hukum di negeri ini.
Kepastian hukum sejatinya tercermin dari eksekusi putusan pengadilan berkekuatan tetap, bukan berbagai putusan “mancan ompong” yang tak kunjung dieksekusi.
Oleh karena itu, jika pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla berkeinginan kuat untuk mewujudkan kepastian hukum di republik ini maka Presiden Jokowi-Wakil Presiden Jusuf Kalla harus memastikan dan mengawasi secara langsung eksekusi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, bukan hanya sekadar wacana maupun retorika sebagaimana pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Presiden dan wakil presiden bukan dimaksudkan mengintervensi proses peradilan, tetapi mendorong pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap supaya kepastian hukum di negeri ini benar-benar terlaksana secara nyata. Putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dalam bentuk apapun harus segera dieksekusi, tanpa terpengaruh intervensi dari pihak manapun sebab Indonesia adalah negara berdaulat yang tak boleh sekali-sekali tunduk kepada pihak lain.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum maka segala kebijakan negara atau pemerintahan harus dilandaskan pada konstitusi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tegas dan pasti untuk menjamin kepastian hukum terhadap setiap warga negara, tanpa kecuali, termasuk pihak asing di negeri ini. Siapapun, lembaga apapun, perusahaan apapun yang berada di republik ini harus tunduk dan patuh terhadap hukum Indonesia. Ini adalah harga mati demi menjaga harkat, martabat, jati diri dan kewibawaan republik ini di mata internasional.
                                                                                                            Medan, 9 Maret 2015
                                                                                                            Thomson Hutasoit.
(Alumni Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda di Provinsi Sumatera Utara, tahun 2014).                                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.