rangkuman ide yang tercecer

Senin, 24 Agustus 2015

Persatuan Energi Membangun Indonesia




Persatuan Energi Membangun Indonesia
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)
Pendahuluan.
            Salah satu energi bangsa terlupakan selama 70 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ialah sila ketiga Pancasila yakni; Persatuan Indonesia sejak dari Sabang hingga ke Merauke dengan segala perbedaan, keragaman, kemajemukan di dalamnya  tercermin dalam lambang negara Bhinneka Tunggal Ika.
            Para pendiri bangsa (founding fathers) menyadari komprehensif paripurna, bahwa perbedaan, keragaman, kemajemukan adalah konstruksi Ilahi bagi alam semesta sehingga setiap insan yang mengaku cipataan Ilahi tidak ada yang berhak menolak dan memberangusnya dari atas semesta walau dengan alasan apapun juga.
            Kecerdasan, kejenialan para pendiri bangsa merekonstruksi karya cipta Tuhan Yang Maha Esa kedalam Pancasila ideologi negara-bangsa Indonesia menjadikan Pancasila merupakan salah satu keajaiban dunia yang mampu mempersatukan aneka perbedaan, keragaman, kemajemukan nusantara kedalam “Rumah Besar Bangsa Indonesia” yang diproklamasikan oleh Bung Karno-Bung Hatta 17 Agustus 1945 atas nama seluruh bangsa Indonesia.  
            Kemampuan putera-puteri nusantara menyatukan aneka perbedaan, keragaman, kemajemukan dengan membuang jauh-jauh ego sektarian-primordial seperti; ego suku, agama, ras, antar golongan/SARA adalah wujud nyata kemampuan para pemimpin membangun persatuan bangsa menuju Indonesia merdeka. Masing-masing menyadari “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” dan dalam kearifan budaya Batak Toba dikenal “Tamtamna do tajomna, rim ni tahi do gogona” memiliki makna sama dengan peribahasa klasik “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” merupakan sifat Gotong-Royong masyarakat bumi nusantara sejak zaman dahulukala.  
            Sifat Gotong-Royong telah menjadi karakter spesifik, jati diri masyarakat nusantara sepertinya terabaikan pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 hingga kerap terjadi penonjolan egoisme sektoral dalam kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Sifat individualistis, hedonis, konsumtif, unsolidaritas sangat bertolak belakang dengan sifat, karakter masyarakat bumi nusantara menjadi karakter baru mengancam ‘persatuan’ sesama anak bangsa yang alpa menjaga dan melestarikan karakter masyarakat nusantara dalam berbagai kebijakan negara ataupun pemerintahan selama kurun waktu 70 tahun kemerdekaan republik ini. Akibatnya, berbagai gesekan, karut maut, serta pertarungan politik atas nama ego sektoral menjadikan negeri ini tertunda mewujudkan janji Proklamasi sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yakni; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.
            Kita patut bersyukur, api semangat ‘persatuan’ para pendiri bangsa 70 tahun silam kini kembali digelorakan Presiden Republik Indonesia ke tujuh Joko Widodo pada hari ulang tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke 70 sebagai semangat membangun bangsa Indonesia sejak dari Sabang hingga ke Merauke dengan menggali seluruh potensi tersebar di seluruh bumi nusantara.
            Revitalisasi persatuan adalah sebuah kecerdasan, kejenialan Presiden Jokowi karena semangat persatuan terpatri pada sila ketiga Pancasila sadar atau tidak, setuju tak setuju sepertinya telah mengalami degradasi di benak anak-anak bangsa yang terjebak pada tarik-menarik kepentingan politik menimbulkan prahara politik di era belakangan ini.
Ego-ego kepentingan politik individual, kelompok maupun golongan telah merobek-robek kepentingan negara-bangsa mengakibatkan terbuangnya energi bangsa yang seharusnya digunakan membangun negara-bangsa justru terbuang sia-sia untuk menyelesaikan berbagai konflik, perseteruan bernuansa egoisme sektarian-primordialisme.  
            Kesadaran paripurna para pendiri bangsa tentang eksistensi negara-bangsa Indonesia terdiri dari bangsa-bangsa dengan perbedaan, keragaman, kemajemukan nusantara bersatu dalam “Rumah Besar Indonesia” diikat Pancasila sepertinya belum menjadi kesadaran paripurna seluruh bangsa Indonesia, termasuk para elite politik yang masih menjonjolkan egoisme sektoral dalam menjalankan tugas, pokok dan fungsi (Tupoksi) penyelenggaraan negara atau pemerintahan sehingga kerap muncul rivalitas Institusi, perseteruan antar lembaga, merasa sok di atas hukum menunculkan kegaduhan politik di republik ini. Jika masing-masing lembaga/institusi negara atau pemerintahan menyadari bahwa menyelesaikan persoalan bangsa hanya bisa dilakukan bahu-membahu, tamtamna do tajomna, rim ni tahi do gogona maka tidak akan pernah lupa “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” atau bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
Sebab persatuan ialah gabungan (ikatan, kumpulan, dsb) beberapa bagian yang sudah bersatu (KBBI, 2007) sehingga jika negara-bangsa Indonesia adalah negara persatuan maka seluruh insan di negeri ini harus menyadari komprehensif paripurna tentang arti dan makna persatuan itu sendiri. Tak ada satu pihak pun merasa diri di atas pihak lain, tak ada merasa di atas hukum, tak ada satu lembaga/instansi pun merasa superior dibanding lembaga/instansi lain sesuai hak dan kewenangan yang diatur konstitusi negara.  
Budaya Saling Menghargai.
            Penginderaan Presiden Jokowi atas menipisnya budaya saling menghargai sungguh cerdas dan jenial serta faktual sebab persatuan tak akan pernah terwujud dengan nyata jika individu, masyarakat, kelompok maupun golongan tidak saling menghargai satu sama lain dalam perbedaan, keragaman, kemajemukan. Jika masing-masing merasa diri paling superior atas nama apapun maka akan terjadi diskriminasi ataupun ketidakadilan ditengah masyarakat, bangsa maupun negara. Egoisme “ke-Aku-an” akan memunculkan arogansi terhadap pihak lain. Merevolusi mental ke-Aku-an, ke-Kami-an menjadi ke-Kita-an adalah langkah konkrit menghilangkan “Rivalitas” antar lembaga/institusi yang menjadi sumber prahara berbangsa dan bernegara selama ini.
 Kunci pertama dan utama menumbuhkembangkan ‘persatuan’ ialah membangun kesadaran ke-Kita-an bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama pada penyelenggara negara atau pemerintahan supaya setiap orang, lembaga/institusi mengerti dan memahami bahwa apapun yang dikerjakan, dilaksanakan ditujukan kepada kepentingan seluruh rakyat dan negara. Karena itu, sungguh tepat apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo pada Pidato Kenegaraan 14 Agustus 2015 di depan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-70 selaku Kepala Negara Republik Indonesia. “Menipisnya budaya saling menghargai dan tenggang rasa tidak hanya terjadi di masyarakat, tetapi juga di institusi resmi, seperti lembaga penegak hukum, organisasi kemasyarakatan, media, dan partai politik. Kondisi ini membuat bangsa terjebak pada lingkaran ego masing-masing, dan akhirnya menghambat pembangunan, budaya kerja, gotong royong dan karakter bangsa. Tanpa kesantunan politik, tata krama hukum dan ketatanegaraan, serta kedisiplinan ekonomi, kita akan kehilangan optimism dan lamban mengatasi persoalan-persoalan lain, termasuk tantangan ekonomi”.(Kompas, 15/08/2015).
            Selaku Kepala Negara Presiden Joko Widodo telah menunjukkan keteladanan kepemimpinan kepada seluruh rakyat Indonesia, pimpinan lembaga-lembaga negara, elite partai politik, terutama kepada para pakar politik yang cenderung nyeleneh mempersoalkan atau menolak Presiden sebagai Kepala Negara yang menimbulkan kegaduhan dalam sistem ketatanegaraan presidensial. Rakyat lelah dan letih mempersaksikan para elite “sok di atas hukum, sok pintar, sok hebat, sok benar, sok paling berjasa” menjadi sumber prahara dalam berbangsa dan bernegara.  
            Seharusnya para elite politik di negeri ini menyadari bahwa Bangsa Indonesia tak akan pernah lahir jika para pendiri bangsa (founding fathers) gagal membangun persatuan rakyat bumi nusantara dengan segala perbedaan, keragaman, kemajemukan saling menghargai, menghormati, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi yang merupakan kearifan budaya rakyat bumi nusantara sejak dahulukala. Kearifan budaya rakyat nusantara inilah yang terkikis dari para elite-elite politik yang beradagium “tidak ada lawan abadi, kepentingan politiklah abadi” yang sangat berbanding terbaik dengan kearifan budaya nusantara.
Salah satu contoh konkrit ialah “terbelahnya Gedung DPR RI” atas Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengusung pasangan calon presiden 2014 lalu tidak serta merta berlanjut pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) 09 Desember 2015 akan datang. Sebab fakta membuktikan partai politik kelompok KMP dengan KIH berkolaborasi mengusung pasangan calon kepala daerah asal cocok dengan kepentingan partai politik. Padahal, perseteruan KMP dan KIH di DPR RI Senayan Jakarta telah menimbulkan kekhawatiran, ketakutan rakyat atas kelanggengan perjalanan bangsa ini ke depan.  
            Para elite politik seharusnya menyadari, bahwa rakyat Indonesia masih banyak berpikir lurus, lugu dan polos, bukan seperti cara berpikir elite politik sulit ditebak, sebab sulit membedakan antara sungguh-sungguh dengan berpura-pura, antara setuju dengan tidak, antara mendukung dengan menolak, antara jujur dan munafik, antara jelas dengan tak jelas sulit diprediksi sebelum palu diketukkan. Belum lagi kemahiran, kepiawian memainkan kata-kata bersayap yang sulit dicerna rakyat belum mahir intrik politik para elite politik piawi melakukan politik cuci tangan ala Pontius Piltus pada zaman penyaliban Tuhan Yesus 2.000-an tahun silam.
            Koreksi total terhadap karakter munafik, sok di atas hukum, tidak menghargai pihak lain, individualistis, hedonisme, komsumerisme, tak solider, menyelengkan amanah dan aji mumpung adalah sasaran sejati dari “Revolusi Mental” agenda Presiden Joko Widodo selaku Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan perlu didukung optimal anak-anak Ibu Pertiwi supaya negeri ini bangkit sebagai raksasa dunia.
Api semangat “Persatuan” adalah energi maha dahsyat membangun Indonesia yang diwariskan para pendiri bangsa sejak Gerakan Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang mempersatukan ke-Bhinnekaan bumi nusantara dalam “Rumah Besar Bangsa Indonesia” taman sari bangsa bagaikan pelangi indah di ufuk biru tanda perjanjian Tuhan Yang Maha Esa kelangsungan alam semesta. Karena itu, ketika bangsa-bangsa lain menyangsikan dan tidak percaya kelanggengan negara-bangsa Indonesia yang mempersatukan perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme, multikuturalisme, justru bangsa ini patut bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan PANCASILA ideologi Bangsa Indonesia salah satu keajaiban dunia.
            Pancasila yang dilahirkan Bung Karno 1 juni 1945 harus benar-benar landasan berpikir, bertindak seluruh rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara agar keberlangsungan perbedaan, keragaman, kemajemukan, pluralisme, multikulturalisme di bumi nusantara abadi sepanjang masa.
            Persatuan merupakan kearifan budaya nusantara adalah energi pembangunan bangsa harus digelorakan kembali bukan hanya sekadar retorika melainkan kesadaran sejati seluruh rakyat Indonesia, sebab tanpa persatuan mustahil membangun Indonesia sejak dari Sabang sampai ke Merauke.
            Harus disadari pula, bahwa persatuan hanya bisa terwujud jika seluruh anak-anak bangsa saling menghargai, menghormati dalam kesederajatan, kesetaraan sebagaimana termaktub pada pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
            Karena itu, sudah saatnya menghentikan pertentangan atas nama perbedaan, keragaman, kemajemukan, pluralisme, multikulturalisme dari pihak manapun juga, dan menyadari komprehensif paripurna bahwa pikiran, tindakan seperti itu adalah kekeliruan besar serta sesat pikir yang mengancam keutuhan dan kelanggengan bangsa Indonesia  berdasarkan Pancasila.
            Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Merdeka !
                                                                                                            Medan, 18 Agustus 2015
                                                                                                            Thomson Hutasoit.
(Alumni Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Bagi Kalangan Birokrat, Akademisi, Tokoh Masyarakat, Tkoh Agama, Tokoh Adat dan Tokoh Pemuda di Provinsi Sumatera Utara, Nomor:064/IX/2014) tinggal di Medan.    

Jumat, 14 Agustus 2015

PEMBOHONGAN PUBLIK

Pembohongan Publik
Oleh: Thomson Hutasoit

            Salah satu hal paling esensial dalam “Revolusi Mental” digulirkan Presiden Republik Indonesia ke tujuh Joko Widodo atau Jokowi adalah “karakter bohong” yang kerap dilakukan pejabat publik terhadap masyarakat selama ini. Karakter bohong itu sadar atau tidak telah mendegradasi kepercayaan publik (publc trust) terhadap kewibawaan institusi publik maupun pada pejabat publik itu sendiri secara akut.
            Harus disadari bahwa pada dasarnya kepemimpinan adalah kepercayaan (trust) antara pemimpin dengan yang dipimpin karena sangat mustahil seorang pemimpin sukses dalam kepemimpinannya jika yang dipimpin tidak memercayainya. Meminjam pemikiran Stephen P Robbins Ph.D dalam bukunya berjudul ‘The Truth Abaout Managing People’ “Mustahil memimpin orang yang tidak memercayai Anda”. Sebab ketika kita memercayai seseorang, kita mengasumsikan mereka akan bertindak jujur dan sungguh-sungguh, tindakannya dapat diandalkan dan dapat diperkirakan. Kita mengasumsikan pula mereka tidak akan mengambil keuntungan dari kepercayaan kita. Kepercayaan adalah esensi kepemimpinan, sebab mustahil memimpin orang yang tidak memercayai Anda.(Robbins, 2008; 74). Karena itu, Robbins lebih lanjut mengatakan, bahwa seorang pemimpin harus mampu membangun hubungan saling memercayai antara lain; bersikap terbuka, bersikap adil, ungkapkan perasaan, katakan kebenaran, tunjukkan konsistensi, penuhi janji, jaga kerahasiaan.
            Peribahasa klasik juga mengatakan, “sekali langsung ke ujian seumur hidup tak percaya” artinya, sekali berbohong seumur hidup tak percaya. Itulah sebabnya, arti dan makna kejujuran dalam hidup sungguh sangat menentukan perjalanan hidup selanjutnya. Kejujuran ialah sifat (keadaan) jujur; ketulusan hati; kelurusan hati (KBBI, 2007) yakni tidak berbohong, tidak curang dalam hal apapun, melainkan tulus, ikhlas serta apa adanya. Pemimpin seperti itu tercermin dari korelasi nyata antara perkataan dan perilaku dalam hidup sehari-hari.
            Akh Muwafik Saleh (2009) mengatakan, “Seseorang yang melakukan kebohongan akan tampak dalam perilaku fisik maupun jiwanya. Perilaku para pembohong ini dapat terlihat dengan ciri antara lain; a). Saat seseorang berbohong, akan tampak dalam bahasa tubuhnya, b), Hati dan perasaannya akan selalu dihantui kegelisahan dan ketakutan, c), Kebohongan: 1 + 1 = keterusan. (Saleh, 2009; 263-266).
            Sesungguhnya perilaku bohong adalah ciri nyata kemunafikan (hopikrit) yang tak pantas dan layak dilakukan manusia-manusia mengaku beragama dan ber-Tuhan, sebab kemunafikan sangat ditentang dan dilarang semua agama yang ada di atas bumi ini. Para orang-orang munafik sejatinya adalah manusia yang telah diperhamba dan diperbudak setan atau iblis sehingga mampu membohongi diri sendiri maupun orang lain dengan cara berpura-pura, seolah-olah, ingkar janji, berdusta, menipu, serta memutarbalikkan fakta kebenaran demi memuaskan hasrat pribadinya di ruang publik.
            Fenomena belakangan ini ialah perilaku-perilaku munafik dari para public figure yang melakukan pembohongan publik seperti; tidak mengakui beristri lebih dari satu orang, mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan, poltik cuci tangan ala Pontius Pilatus, mengaku tidak menerima mahar politik dari calon kepala daerah pada Pemilukada, mengaku lupa atas tindak pelanggaran hukum, menumbalkan anak buah atau bawahan, membangun alibi, mengkriminalisasi lawan politik, mengkafirkan pihak lain, merampas hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat atas nama negara, memperjualbelikan hukum, kebenaran dan keadilan, menyelewengkan amanah dan kepercayaan yang diemban, mengingkari janji/ komitmen, berlagak dermawan ala Robin Hut, Fablio Escobar merampok harta negara, kemudian dibagi-bagikan pada rakyat dan lain sebagainya.
            Perilaku-perilaku seperti itu adalah tontonan publik paling sering dipertontonkan para pemangku kekuasaan di negeri ini menjadikan tergerusnya kepercayaan rakyat terhadap pemimpin era belakangan ini.  
Padahal, sejatinya para pemimpin pemegang amanah dan kepercayaan seharusnya mampu memberi keteladan kepemimpinan terhadap rakyat tentang arti dan makna kejujuran sebab pemimpin adalah sosok yang pantas ditiru dan digugu dalam  bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara.
  Dalam konteks kepemimpinan berdasarkan kearifan adat budaya Batak Toba seorang pemimpin adalah “Di jolo siaduon, di pudi sipaimaon, di tonga-tonga siharungguan” dalam terjemahan bebas bermakna, di depan diikuti, di belakang di tunggu, di tengah dikerumuni adalah sosok pemimpin yang mampu memberi keteladan terhadap yang dipimpin ditandai perilaku terpuji mampu dijadikan patron skala moral, mental pantas dan layak diteladani di tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Karakter moral, mental seperti itu juga bisa ditemukan pada etnik lain, misalnya etnik Jawa yakni; Tut wuri handayani, Ing ngarso sung tulodo, Ing madiya mbangun karso. Karakter-karakter kepemimpinan seperti inilah seharusnya ditularkan para pemimpin di negeri ini, bukan karakter pembohong, munafik, pendusta, penipu agar rakyat tak kehilangan keteladanan kepemimpinan berbangsa dan bernegara.   
Pejabat publik harus menyadari bahwa degradasi kepercayaan rakyat terhadap para pejabat publik termasuk instansinya telah gagal meraih simpati dan kepercayaan rakyat adalah ancaman laten kewibawaan disebabkan pembohongan publik yang sering dilontarkan para pemangku amanah selama ini. Pemangku amanah yang selalu berlindung pada kaidah-kaidah norma serta menggunakan aneka alibi untuk menutupi kebohongan menjadikan arti dan makna kejujuran barang langka di republik ini.
 Berlindung di balik benteng hukum disertai ancaman pencemaran nama baik bila mengungkap kebohongan-kebohongan menjadikan para pemangku kekuasaan sulit dimintai pertanggungjawaban hukum atas pembohongan publik yang dilakukan.  Bahkan pihak-pihak yang mengungkap kebohongan publik tak mustahil akan dijadikan  pesakitan hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik ataupun fitnah. Hal itu tentu akan menimbulkan ketakutan mengungkap pembohongan publik yang dilakukan para pemangku kekuasaan di negeri ini.  
Oleh karena itu, keinginan kuat Presiden Jokowi melakukan “Revolusi Mental”   ialah mendorong lahirnya peraturan perundang-undangan mengatur sanksi tegas terhadap pembohongan publik, baik berupa sanksi pidana maupun sanksi perdata agar pejabat publik tidak melakukan pembohongan publik sebagaimana dilakukan salah seorang pejabat teras di Provinsi Sumatera Utara yang tak pernah mengakui secara terbuka beristri lebih satu orang sebelum terbelit kasus seperti diberitakan berbagai media, baik lokal maupun nasional.
Rakyat Sumatera Utara sungguh kecewa atas tindakan tak terpuji dari pemimpinnya yang seharusnya memberi contoh kejujuran malah membohongi, mendustai rakyatnya sendiri. Ada lagi hal paling aneh, ketika seseorang pejabat publik memegang amanah selalu mengaku mempunyai satu istri, tetapi ketika pejabat publik tersebut meninggal dunia istri-istri simpanan (gelap) berdatangan membawa anak masing-masing dan mengaku istri sah pejabat publik yang meninggal itu. Betapa memalukan perilaku pejabat publik seperti ini di tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Bukankah esensi seorang pemimpin ialah panutan bagi yang dipimpin sehingga harus mampu memberi keteladanan di tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Karena itulah John McCain & Mark Salter (2009) dalam bukunya berjudul ‘Karakter-Karakter yang Menggugah Dunia’ mengatakan, “Salah satu kalimat paling sering dikutip serta jadi tema banyak pidato kelulusan dan esai pengembangan diri diambil dari Hamlet. Seorang tokoh bernama Polonius berkata kepada putranya, Laertes: This above all: tho thine ourself be true, and it must follow, as the night the day, thou cannot then be false to any man. (Inilah yang terutama: jujurlah pada diri sendiri, lakukan dengan setia, bagai malam berganti siang, maka kau mustahil berbohong pada orang lain).
Banyak orang hanya mengingat bagian pertama kalimat itu – jujurlah pada diri sendiri – dan sering diterjemahkan sebagai anjuran bahwa kita harus melakukan apa pun sesuai keinginan, apa pun yang membuat kita merasa enak. Tetapi saya selalu mengartikan kita harus jujur serta setia pada hati nurani, dan jika dilakukan, Anda mustahil berbohong pada orang lain. Dengan kata lain, kesetiaan pada nurani, kejujuran pada diri sendiri, akan menentukan karakter relasi kita dengan orang lain. Inilah defenisi yang tepat tentang integritas.
Akan tetapi, demi prinsip, banyak orang baik menderita. Beberapa orang mati demi mempertahankan prinsip. Tetapi betapapun kejam akhir kisah itu, mereka pasti terhibur karena tahu telah memilih dengan benar, dan mereka punya karakter untuk menjalani hidup yang baik. Selama telah memilih dengan baik, bertindak adil, dan memiliki karakter yang layak dalam menghadapi tantangan pilihan, mereka tak peduli apa orang lain tahu keberanian mereka atau tidak. Mereka tak menyerah pada nasib yang pasti terjadi. Mereka percaya bahwa nilai mereka ialah kekuatan yang mengarahkan hidup, menerangi dunia tempat kita menyalakan lilin-lilin kecil, sebelum pekerjaan itu selesai dan kita istirahat.  
Prinsip seperti itulah barangkali yang dianut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) Gubernur DKI Jakarta dalam, penempatan pejabat struktural di pemerintahan daerah DKI Jakarta sehingga dia dengan tegas dan lantang mengatakan, “Tidak terlalu membutuhkan orang-orang pintar, tetapi membutuhkan orang-orang jujur”. Pernyataan  Ahok bukan tanpa alasan kuat dan fundamental sebab fakta membuktikan orang-orang pintar dan licik lah jadi predator atau koruptor menggarong anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) serta harta kekayaan negara lainnya sebagaimana diberitakan media massa, baik media elektonik maupun media cetak selama ini.
Orang-orang pintar dan licik piawai membangun tipu di atas tipu, kebohongan di atas kebohongan, muslihat di atas muslihat, kemunafikan di atas kemunafikan  hingga muncul situasi kondisi berlapis-lapis tipu, kebohongan, muslihat, dan kemunafikan yang seolah-olah, sekonyong-konyong, penuh kepura-puraan di tengah masyarakat, bangsa maupun negara.  
Bila suatu masyarakat, bangsa maupun negara diisi oleh para pemimpin munafik (hipokrit) maka masyarakat, bangsa maupun negara itu telah menuju kepunahan ataupun berakhir sejarah alias “Dison Maradian” atau Ret In Peace/RIP. 
Jalan satu-satunya menyelematkan masyarakat, bangsa maupun negara  sebelum sampai ke arah “Dison Maradian atau RIP  ialah menemukan/menghadirkan pemimpin berintegritas serta melakukan “Revolusi Mental” para pejabat publik agar sungguh-sungguh menjaga amanah yang dipercayakan di pundaknya.    
Lebih baik dipimpin orang kurang pintar tapi jujur daripada dipimpin orang pintar tapi pembohong. Orang kurang pintar tapi jujur akan lebih dipercaya serta  bertanggungjawab atas amanah dipercayakan pada dirinya. Sementara orang pintar, licik tapi pembohong akan menghalalkan segala cara memuaskan libido kekuasaannya, termasuk membohongi, menipu, mendustai, memperdaya pihak lain dengan membangun asumsi, postulat palsu untuk mendukung kelicikan dan siasat busuknya.        
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-HM.Jusuf Kalla (JK) perlu segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang Pembohongan Publik dengan sanksi keras dan tegas karena sekalipun Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah ada ternyata hingga kini masih kerap terjadi Pembohongan Publik dari para pemangku kekuasaan di negeri ini.   
Kita yakin dan percaya pada pemerintahan Jokowi-JK yang berkeinginan kuat melakukan “Revolusi Mental” agar kepercayaan publik (public trust) terhadap pejabat publik dan instansinya yang telah menyentuh titik nadir bisa dipulihkan kembali sebagaimana mestinya. Salah satu indikator ialah rekrutmen pejabat eselon I melalui lelang terbuka di seluruh kementerian dan non kementerian berdasarkan kapasitas, kapabilitas, kredibilitas, integritas yang dinilai secara terbuka, independen merupakan terobosan baru konkritisasi “Revolusi Mental” untuk memperbaiki sistem rekrutmen beraroma korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) selama ini.  
Rekrutmen dan penempatan pejabat publik yang dilakukan pemerintahan Jokowi-JK tidak cukup hanya di level pemerintahan pusat, tetapi seluruh pemerintahan daerah, baik pemerintahan daerah provinsi, pemerintahan daerah kabupaten/kota hingga desa dan kelurahan di republik ini. Demikian juga sistem rekrutmen aparatur negara, baik sipil maupun TNI/Polri harus dilakukan transparan terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sehingga muncul aparatur negara kapabel, kredibel, serta berintegritas untuk mengemban amanah sesuai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bangsa Indonesia pada 09 Desember 2015 akan mencatat sejarah baru menggelar pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) serentak di 269 daerah, yakni 9 provinsi, 260 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, dan diantaranya  23 kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Utara. Momentum ini tentu harus digunakan sebaik-baiknya untuk memilih dan/atau menentukan pemimpin menahkodai kabupaten/kota lima (5) tahun ke depan.  
 Dalam kontestasi Pemilukada paling terbesar di atas jagat raya ini tidak mustahil akan muncul calon kepala daerah “pembohong, pembual, penipu, pendusta, munafik”, mantan narapidana, pemilik ijazah palsu, perusak lingkungan, penggarong harta kekayaan negara, penindas masyarakat, dan lain sebagainya yang bermetamofosa (mangilulu-red) musang berbulu ayam, harimau berbulu domba, maling berteriak maling, aktor korupsi berteriak lantang anti korupsi, pelanggar hak asasi manusia (HAM) berteriak lantang garda terdepan pejuang HAM, penindas rakyat berteriak lantang pejuang rakyat, dan lain-lain harus dicermati dan disiasati paripurna melalui jejak kinerja (track record) sebelumnya.  
Sekalipun partai politik memiliki kewenangan menentukan pasangan calon kepala daerah, termasuk mengajukan mantan narapidana tetapi kedaulatan hak pilih mutlak absolut berada di tangan rakyat bukan di tangan partai politik ataupun penyelenggara Pemiluka (KPUD). Karena itu, rakyat harus mampu memilih dan menentukan calon kepala daerah berintegritas untuk mengemban amanah dan kepercayaan memimpin daerah kabupaten/kota lima tahun ke depan. Mahar politik yang tak pernah diakui secara jujur dan terbuka oleh partai politik maupun pasangan calon kepala daerah adalah salah satu wujud pembohongan publik, sebab mahar politik  bagaikan angin berembus dapat dirasa tapi tak dapat dilihat, kecuali efeknya misalnya, rumput bergoyang dan lain sebagainya.
Peristiwa fenomenal Pemilukada serentak di 269 provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia adalah sejarah demokrasi terbesar sepanjang sejarah di dunia ini harus bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata dunia internasional. Karena itu, seluruh penyelenggara pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), pemerintah, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, partai politik, instansi terkait serta masyarakat harus benar-benar melaksanakan tugas, pokok dan fungsi (Tupoksi) masing-masing dengan jujur, adil, terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian tidak ditemukan lagi daftar pemilih tetap (DPT) misterius, penggelembungan suara, kepala daerah berijazah palsu, kepala daerah calon penghuni hotel prodeo (penjara) pasca terpilih sebagaimana nasib tragis mendera Provinsi Sumatera Utara dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini.  
Rakyat harus cermat, cerdas menapaki rekam jejak (track record) para kandidat kepala daerah berkompetisi merebut tampuk kekuasaan di daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota karena tidak mustahil banyak diantara calon kepala daerah yang bertarung sosok bermetamofosa alias mangilulu berlakon dermawan palsu membagi-bagi uang, bantuan sosial, komitmen politik membius alam sadar pemilih.
 Rakyat harus mampu membuka lembaran perjalanan hidup calon kepala daerah komprehensif paripurna, termasuk noda, noktah pernah dilakoni para kandidat kepala daerah sebelumnya agar bisa menemukan pemimpin negarawan sejati yang mampu menghadirkan kemajuan, peningkatkan taraf hidup rakyat secara nyata lima tahun ke depan.
Pada pemilihan legislatif (Pileg) 2014 lalu muncul sebuah pameo “Tiba-tiba baik alias Tompu burju/Tobu” yakni; perilaku tiba-tiba baik, serta peduli pada penderitaan rakyat di saat kampanye dengan cara bagi-bagi uang, bantuan sosial, bahkan adapula membangun fasilitas umum seperti membangun jalan di pedesaan. Taktik strategi ini paling sering dilakukan atau dilancarkan “politisi busuk haus kuasa” untuk membius alam sadar rakyat pemilih. Taktik strategi semacam itu hampir mirip dengan sistim ijon yang akan dikompensasi ketika kekuasaan telah diraih.
Taktik strategi “Tobu (Tompu Burju)” sebenarnya adalah suatu pilihan taktik strategi klasik digambarkan pepatah jaman dulu (jadul) yakni; “habis manis sepah dibuang” sehingga tak perlu heran apabila kandidat kepala daerah yang menggunakan taktik strategi “Tobu” akan mengingkari janji/komitmen politik ketika kekuasaan telah diraih. Rakyat pemilik suara yang dulunya sangat menentukan keterpilihan meraih kekuasaan (bupati/walikota) tidak lagi diperlukan karena dianggap sebagai sepah, bahkan onak/duri dalam kenikmatan kekuasaan. Oleh sebab itulah banyak kepala daerah (bupati/walikota) melakukan wanprestasi atas janji/komitmen politiknya ketika berkuasa. Bahkan tidak mustahil memosisikan rakyat (pendukung/pemilih) di posisi berseberangan dalam arah kebijakan pemerintahan. Hal itu bisa dibuktikan dengan munculnya gelombang unjuk rasa/demontrasi terhadap bupati/walikota untuk menagih janji/komitmen politik di masa kontestasi pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) sebelumnya. Rakyat barulah tersadar bahwa “Tompu Burju/Tobu” yang dilakukan kandidat kepala daerah (bupati/walikota) sejatinya adalah sebuah taktik strategi palsu pembohongan publik sangat keji, kejam serta tak beradab.     
Calon kepala daerah yang melancarkan taktik strategi politik uang (money politics) sangat rentan melakukan tindak pidana korupsi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), memperjualbelikan jabatan, merampok harta kekayaan negara, dan lain sebagainya untuk mengembalikan modal pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) yang pada ujungnya menghambat pembangunan daerah, serta merugikan rakyat secara keseluruhan selama lima tahun ke depan. Oleh karena itu, jika rakyat mengharapkan laju pertumbuhan pembangunan daerah melaju dengan cepat maka jalan satu-satunya ialah memilih calon kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) kapabel, kredibel, kompeten serta berintegritas untuk memimpin daerah tanpa terpengaruh politik uang ataupun taktik strategi “Tobu”. 
Rakyat harus mampu menolak godaan politik uang dilancarkan dermawan-dermawan palsu (calon kepala daerah) yang menjadikan rakyat komoditi Pemilukada bisa dibeli dengan uang. Calon kepala daerah yang mengandalkan “Isinitas” atau bagi-bagi uang pada dasarnya bukanlah calon kepala daerah memiliki kompetensi, integritas. Karena membagi-bagi uang sejatinya adalah taktik strategi meraih simpati pemilih dengan kedermawanan palsu sekaligus pembohongan publik yang sangat berbanding terbalik dengan kejujuran atau integritas.     
Calon kepala daerah yang melancarkan taktik strategi politik uang (money politics) telah memosisikan rakyat komoditas politik bisa dibeli dengan rupiah. Politik uang (money politics) adalah tidakan sangat tak beradab merendahkan harkat dan martabat manusia setara dengan komoditi (barang dagangan) di pasar loak.  
Pandangan keliru serta sesat pikir seperti itu harus ditolak keras seluruh konstituen atau rakyat pemilih pada Pemilukada 09 Desember 2015 akan datang. Menjadikan rakyat komoditas politik adalah tindakan keji, tak beradab dan tidak pantas dilakukan calon pemimpin dimanapun di atas jagat raya ini.  
Oleh karena itu, kandidat kepala daerah seperti itu tidak pantas dipilih dan didaulat menjadi kepala daerah dimanapun, kapanpun di negeri ini. Mereka sejak awal telah melecehkan harkat, martabat rakyat konon lagi ketika mereka  benar-benar memegang tampuk kekuasaan sangat mustahil bisa diharapkan menghadirkan kemajuan pembangunan daerah. Mereka sejatinya adalah kandidat pembohong publik, maniak kuasa yang akan selalu memosisikan diri berseberangan dengan kehendak rakyat ketika memegang tampuk kekuasaan.  
Memulai dengan kejujuran, kesederhanaan, kesahajaan akan berbuah manis dikemudian hari. Tetapi memulai dari kebohongan akan menuai badai di masa depan. Kejayaan suatu masyarakat, bangsa maupun negara diawali kejujuran. Kehancuran suatu masyarakat, bangsa maupun negara dipicu kebohongan. Karena itu, penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) 09 Desember 2015 sebaiknya mengadopsi cara pemilihan calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan Panitia Seleksi (Pansel) KPK melacak rekan jejak (track record) kandidat ke berbagai instansi terkait agar calon pasangan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) tidak berpotensi pesakitan hukum pasca terpilih sebagai kepala daerah.   
                                                                                                Medan, 10 Agustus 2015
                                                                                                Thomson Hutasoit.
  

Sabtu, 08 Agustus 2015

Pembrontakan Konstruksi Ilahi



Pembrontakan Konstruksi Ilahi
Oleh: Thomson Hutasoit

            Dalam Alkitab Kejadian dijelaskan, Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya secara lengkap. Dan Allah melihat bahwa semuanya itu baik.
Jika diperhatikan konstruksi Ilahi beraneka ragam itu cermat dan cerdas maka seluruh karya cipta Tuhan Yang Maha Esa beraneka ragam (plural) sejatinya  mewujudkan FirmanNya: “Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta penuhilah air dalam laut, dan hendaklah burung-burung di bumi bertambah banyak”  kemudian diikuti firman berikutnya: “Hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup, ternak dan binatang melata segala binatang liar”, selanjutnya, Berfirmanlah Allah: “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi”. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka.
            Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka; “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”(Kejadian 1; 1-28).
            Jika diperhatikan cermat dan seksama konstruksi Ilahi paling dasar atas alam semesta ialah keragaman, kemajemukan, atau pluralisme menjamin kelangsungan hidup semesta alam sepanjang masa.  
Allah menciptakan terang dan gelap sehingga manusia mengenal siang dan malam untuk kebutuhan waktu beraktivitas dan beristirahat atau tidur. Siang dan malam adalah perbedaan waktu yang akan menjamin proses kehidupan kapan beraktivitas dan kapan pula beristirahat memulihkan kembali energi agar kehidupan berlangsung berkesinambungan. Sebab, bila beraktivitas terus-menerus tanpa henti, tak seorang pun mampu melakukannya walau robot sekali pun.
Karena itu, perbedaan siang dan malam sejatinya ialah mata rantai kesinambungan kehidupan semesta alam konstruksi Ilahi tiada satu insan pun di atas jagat raya ini bisa menyangkalnya.  
Kemudian, bila diperhatikan cermat dan seksama tidak ada satu pun ciptaan Tuhan Yang Maha Esa hanya satu jenis, tetapi diciptakan berpasang-pasangan. Manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, binatang diciptakan jantan dan betina, tumbuh-tumbuhan pun demikian. Semuanya itu demi kelangsungan generasi untuk menguasai alam semesta sebagaimana termaktub dalam firmanNya.  
Keberagaman, kemajemukan ataupun pluralisme adalah Konstruksi Ilahi atas alam semesta yang tak bisa ditolak atau dibantah siapapun di atas dunia ini. Penolakan atas keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme adalah pembrontakan konstruksi Ilahi serta pengingkaran eksistensi diri karya cipta Tuhan Yang Maha Esa.  
Sadar atau tidak asal muasal manusia jatuh ke dalam dosa sejatinya ialah akibat pembrontakan konstruksi Ilah disebabkan egoisme berkuasa dari diri manusia itu sendiri. Manusia telah dirasuki egoisme berkuasa akan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan ambisi haus kuasa, termasuk mengingkari eksistensi diri selaku karya cipta Tuhan Yang Maha Esa. Keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme yang sejatinya kontruksi Ilahi menjamin kesinambungan alam semesta dibelokkan menjadi ancaman kekuasaan yang harus dimusnahkan karena dianggap ancaman terhadap dirinya.
Padahal, bila dia seorang laki-laki haruslah membutuhkan seorang perempuan yang notabene berbeda dengan dirinya sendiri untuk melanjutkan kesinambungan generasi sebagaimana firman Allah: Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”.
Kekuasaan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa terhadap manusia tentu bukanlah kekuasaan untuk membumi hanguskan semesta alam, melainkan kekuasaan untuk menjamin kelangsungan konstruksi Ilahi atas seluruh keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme supaya seluruh makhluk di alam semesta terjamin kelangsungan hidupnya.  
Oleh sebab itu, segala upaya ingin menghilangkan keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme patut dimaknai pembrontakan konstruksi Ilahi, seperti; genosida ingin memusnahkan etnik tertentu, konflik dengan alasan perbedaan agama dan kepercayaan, tidak sama haluan politik, dan lain sebagainya. 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) Kekuasaan ialah kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, atau kekuatan fisik. Atau (huk) fungsi menciptakan dan memantapkan kedamaian (keadilan) serta mencegah dan menindak ketidakdamaian atau ketidakadilan.
Oleh karena itu, menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, termasuk memberangus keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme adalah bentuk nyata pembrontakan konstruksi Ilahi yang tidak boleh sekali-sekali dilakukan manusia   mengaku diri beragama dan ber-Tuhan walau dengan alasan apapun.  
Keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme adalah konstruksi Ilahi untuk menjamin keberlansungan dan kesinambungan kehidupan alam semesta, bukan konstruksi manusia yang cenderung dirasuki keuntungan dan kepentingan diri tanpa menghiraukan kepentingan kosmos.
Karena itulah Clarence Darrow (1926) mengatakan, “Saya tidak percaya pada hukum kebencian. Keyakinan saya mungkin tidak selalu terbukti benar, namun saya percaya pada hukum cinta. Saya percaya Anda tidak dapat melakukan apapun dengan kebencian. Saya ingin melihat suatu masa ketika manusia mengasihi sesamanya, dan melupakan warna kulit dan kepercayaannya. Kita tak pernah beradab sebelum masa itu tiba”.
Meminjam pemikiran Clarence Darrow sejatinya membentuk kemanusiaan yang  adil dan beradab sebagaimana termaktub pada sila kedua Pancasila dasar Negara Republik Indonesia tercinta ini bukanlah hanya sekadar outopis belaka, tetapi untuk dilaksanakan seluruh rakyat secara nyata di negeri ini.
Ketika individu, kelompok, golongan menyadari, bahwa hukum kebencian atas nama apapun akan membawa malapetaka terhadap diri sendiri, kelompok, maupun golongan maka timbul kesadaran untuk saling mengasihi  didasari hukum cinta menjadikan seantero dunia taman persemaian kedamaian bagi alam semesta.  
Ketika manusia menyadari tak akan mampu berbuat apa-apa tanpa hukum cinta maka sejatinya manusia telah sampai pada tingkat kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai kontruksi Ilahi sehingga keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme adalah pelangi kehidupan semesta alam, dan di atas pelangi kehidupan itu pulalah Tuhan Yang Maha Esa menetapkan janjinya terhadap kesinambungan kehidupan semesta alam.
Salah satu contoh sederhana ialah apabila Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia hanya laki-laki atau perempuan saja, apakah mungkin kesinambungan keturunan (generasi) bisa terlaksana ? Bukankah laki-laki dengan perempuan berbeda ? Tetapi justru dalam perbedaan itulah Tuhan Yang Maha Esa menetapkan janjinya agar beranakcuculah dan berkembang untuk memenuhi bumi serta menguasai seluruh isinya.
Karena itu, tidak ada alasan membenci keragaman, kemajemukan, atau pluralisme di atas jagat raya ini walau dengan alasan apapun, kecuali bagi mereka-mereka yang ingin melakukan pembrontakan konstruksi Ilahi.
Sungguh sulit diterima akal sehat, bila seseorang mengaku diri beragama dan ber-Tuhan sementara dia tidak menerima kontruksi Ilahi atas alam semesta.  
Birahi Kekuasaan.  
            Salah satu akar utama penyebab pembrontakan konstruksi Ilahi ialah birahi kekuasaan yang tumbuh dalam diri manusia itu sendiri. Keangkuhan, kesombongan, keserakahan, ketamakan, kelobaan, serta ingin menyetarakan diri dengan sang pencipta alam semesta hingga menobatkan dirinya monopoli kebenaran atas segala hal. Dan demi menggapai kekuasaan tidak mustahil pula dilancarkan hukum kebencian melalui genderang perang untuk memusnahkan lawan kekuasaan.
Penderitaan demi penderitaan, bahkan kemusnahan tak terperikan sering terjadi semata-mata disebabkan birahi kekuasaan itu sendiri. Bahkan Vladimir Ilyich Lenin (1917) dengan lantang mengatakan, “Tidak diragukan lagi, pertanyaan utama dalam setiap revolusi adalah pertanyaan soal kekuasaan negara. Kelas mana yang memegang kekuasaan, menentukan segalanya”.  
            Padahal, Thomas Jefferson (1801) mengatakan, “Sebagai sesama warga negara yang saling menghormati, kita tentu maklum bahwa harkat kita tidak ditentukan oleh kelahiran, melainkan oleh perilaku kita. Bukan agama apa yang penting, tetapi bagaimana kita menjalankan agama kita. Apa lagi yang penting selain kebebasan yang akan menghantar kita menjadi masyarakat yang bahagia dan sejahtera ?
Ya, ternyata masih ada satu lagi, para warga sekalian, yakni sebuah pemerintahan bijaksana dan cermat, yang mampu mencegah seseorang menciderai orang lain, yang mampu melindungi setiap orang dalam berjuang mengupayakan kemapanan dan perbaikan nasib, dan yang takkan merampas roti dari mulut seorang buruh yang sudah mengucurkan keringat untuk mendapatkannya. Inilah prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, yang perlu ada demi kebaikan kita semua”.(Haris Munandar, Terj, 2009).   
               Sesungguhnya, tujuan pendirian negara-bangsa atau Negara Republik Indonesia yang diperjuangkan para pendiri bangsa (founding fathers) ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Bukan seperti diharapkan para “begundal politik” haus kuasa yang membelokkan tujuan negara menjadi memperkaya diri, kelompok maupun golongan seperti nafsu politik para dewan terhormat memaksakan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau  Dana Aspirasi sebesar Rp 20 miliyar per anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia per daerah pemilihan (Dapil) yang menjadi polemik ditengah masyarakat saat ini. Inilah salah satu contoh konkrit birahi kekuasaan yang menabrak perintah konstitusi demi memenuhi birahi politik. Berbagai alibi dan rasionalisasi pembenar birahi kekuasaan para wakil rakyat untuk menjadikan diri “eksekutif” pengguna anggaran haruslah disiasati dan dicermati suatu cermin birahi kekuasaan semata yang sangat bertentangan dengan sistem ketatanegaraan negeri ini.   
            Bukankah seharusnya, para tuan-tuan terhormat akan lebih bijak dan cerdas apabila fokus menjalankan fungsi konstitusionalnya sebagaimana tertuang pada pasal 20 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; ayat (1), Dewan Perwakilan Rakyat memiliki legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, (2), Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai interplesi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, (3), Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas, (4), Ketentuan lebih lanjut hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.
            Ketentuan pasal 20 A ini sungguh amat jelas dan tegas tanpa perlu dilakukan tafsir macam-macam. Namun dalam implementasinya dengan memanfaatkan ayat (4) yang notabene domain Dewan Perwakilan Rakyat selaku pembuat undang-undang bersama pemerintah (presiden) acapkali dilakukan penyimpangan, penyelundupan  semata-mata demi memenuhi nafsu kekuasaan ataupun kepentingan politik para maniak kuasa.
Hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat sering digunakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai palu godam untuk menekan/membungkam eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) yang sama sekali tidak berkorelasi dengan kepentingan rakyat.
Salah satu contoh konkrit ialah batalnya tiga kali hak interpelasi yang digulirkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara periode 2009-2014 dan periode 2014-2019 terhadap Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho tanpa penjelasan memadai kepada rakyat Provinsi Sumatera Utara hingga muncul kecurigaan “ada udang di balik peyek”.     
            Sadar atau tidak intrik-intrik politik yang dilancarkan para wakil rakyat ini akan menimbulkan ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap para wakil rakyat di negeri ini. Akibatnya, timbul “gugatan” apakah para wakil rakyat masih layak dan pantas menyandang predikat “dewan yang terhormat”.
            Padahal, kehormatan telah diteladankan Mohandas K. Gandhi, “Ia bersumpah tak akan minta perlindungan hukum untuk cedera yang hanya dialami sendiri. Ia berkomitmen pada komunitas dan akan mengorbankan apa pun yang harus dikorbankan atas nama mereka.
Kita sendiri harus jadi perubahan yang kita inginkan di dunia ini”. Bagi Gandi, anti kekerasan lebih daripada sekadar taktik pertahanan pasif terhadap penindasan.
Ini merupakan idealisme, atau lebih akurat, cara mencapai keadaan ideal – kebenaran yang menurut keyakinannya ada Tuhan di dalamnya. Ia tak membenci musuhnya. Ia berusaha mengubah mereka. Ia melihat kebaikan dalam diri mereka, meski kita mungkin hanya bisa melihat sedikit – dan berniat jadi contoh anti kekerasan serta persaudaraan dengan semua manusia untuk membangkitkan nurani moral penindasnya”. (Mc Cain & Mark Salter, 2009).  
            Birahi kekuasaan telah mendorong manusia berlaku hipokrit (munafik) hingga kerap ditemukan kepura-puraan, pembohongan, tipu muslihat, serta seolah-olah untuk menutupi kamuflase politik.
Menggunakan pembingkaian kata (framing) mengatasnamakan kepentingan rakyat bukanlah hal baru dan canggih sebab hal-hal seperti itu telah berulangkali menjadi tontonan tak bermutu di ruang publik. Bahkan penggunaan kata-kata santun membungkus makna berbeda seperti, pekerja seks komersial (PSK) untuk pelaku pelacuran telah menjadi permakluman serta pemahaman lazim di negeri ini.
Padahal, penggunaan kata “pekerja” menurut KBBI (2007) ialah orang yang bekerja; orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan. Sehingga penggunaan kata pekerja seks komersial (PSK) sejatinya adalah kekeliruan serta sesat pikir pelegalan terhadap pelacuran yang konsekuensinya tidak perlu diuber-uber dan dikejar-kejar, ditangkap, dipenjara apabila dianggap dan dilegalkan sebagai pekerja.  
Meminjam pemikiran Sigmund Freud, bahwa “Manusia bukan saja pandai membikin rasional namun juga cerdas membikin rasionalisasi. Dalih yang berbahaya adalah rasionalisasi yang disusun secara sitematis dan meyakinkan. Dalih semacam itu bisa memukau apalagi bila didukung oleh sarana seperti kekuasaan”. (Jujun S Suriasumantri, 1985).
Selain itu, kemunafikan juga mendorong berbagai kepura-puraan, seolah-olah, serta kepalsuan dalam perilaku hidup sehari-hari. Oleh karena itulah muncul berbagai idiom seperti; harimau berbulu domba, musang berbulu ayam, maling teriak maling, pelanggar hukum berteriak lantang garda hukum, penindas rakyat berteriak pro rakyat, diktator otoriter berteriak demokratis, pelaku maksiat berteriak anti maksiat, dan lain sebagainya. Berlindung di balik tameng adalah perilaku munafik paling berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini.
Kisah-kisah perampokan harta negara paling termasyihur di dunia ialah kisah Robin Hud dan Fablio Escobar yang menjadi legenda sepanjang masa dengan menggunakan dalih rasionalisasi. Kisah-kisah seperti itu tidak mustahil akan muncul kembali walau dalam kemasan berbeda.
Berbuat baik terhadap rakyat dengan merampas, merampok, menggarong harta negara sejatinya adalah pembohongan besar serta tipu muslihat paling berbahaya tak layak dan pantas dilakukan manusia-manusia beradab.
Memosisikan diri sebagai dermawan, dewa penolong, penyelamat rakyat dengan merampok harta kekayaan negara adalah kemunafikan besar dilandasi birahi kekuasaan.  
Sungguh sangat disesalkan apa yang dilakukan “begundal-begundal politik”  selalu mengatasnamakan rakyat dalam menggulirkan agenda politik menguntungkan pribadi, kelompok maupun golongan selama ini. Bila dicermati sangat banyak program mengatasnamakan rakyat, tetapi semuanya itu hanyalah kepalsuan belaka.
Berbagai bantuan atas nama rakyat sejatinya hanyalah intrik politik untuk menguras mata anggaran, baik anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) setiap tahunnya. Buktinya, bantuan sosial (Bansos) yang ditampung dalam mata anggaran APBN maupun APBD banyak menjadi lahan bancakan para elite-elite politik serta modus korupsi anggaran dengan alasan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Egoisme pribadi, kelompok maupun golongan adalah tembok pemisah dengan pihak lain sekaligus akar pemicu timbulnya pergesekan, perselisihan, perseteruan, bahkan konflik dengan berbagai hukum kebencian mendatangkan malapetaka tak terperikan. Egoisme inilah sumbu penyulut berbagai perselisilan, perseteruan ataupun konflik ditengah masyarakat, bangsa maupun negara di atas jagat raya ini.
 Memosisikan diri di atas pihak lain, merasa diri paling tinggi di atas orang lain, merasa paling benar dibanding orang lain, merasa paling berjasa dibanding orang lain, dan lain sebagainya adalah salah satu cermin nyata egoisme yang merasuki diri seseorang. Hal ini sungguh sangat berbahaya sebab manusia tak akan pernah hidup dan berkembang tanpa dukungan, sokongan manusia lainnya. Dan karena itu pulalah Aristoteles mengatakan manusia adalah “makhluk sosial”. Akan tetapi kesadaran itu terlupakan akibat egoisme manusia itu sendiri. Kesadaran inilah kunci utama hukum cinta agar perbedaan, kemajemukan, pluralisme konstruksi Ilahi bisa abadi. 
                                                                                                Medan, 01 Juli 2015
                                                                                                Thomson Hutasoit.