rangkuman ide yang tercecer

Sabtu, 08 Agustus 2015

Pembrontakan Konstruksi Ilahi



Pembrontakan Konstruksi Ilahi
Oleh: Thomson Hutasoit

            Dalam Alkitab Kejadian dijelaskan, Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya secara lengkap. Dan Allah melihat bahwa semuanya itu baik.
Jika diperhatikan konstruksi Ilahi beraneka ragam itu cermat dan cerdas maka seluruh karya cipta Tuhan Yang Maha Esa beraneka ragam (plural) sejatinya  mewujudkan FirmanNya: “Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta penuhilah air dalam laut, dan hendaklah burung-burung di bumi bertambah banyak”  kemudian diikuti firman berikutnya: “Hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup, ternak dan binatang melata segala binatang liar”, selanjutnya, Berfirmanlah Allah: “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi”. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka.
            Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka; “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”(Kejadian 1; 1-28).
            Jika diperhatikan cermat dan seksama konstruksi Ilahi paling dasar atas alam semesta ialah keragaman, kemajemukan, atau pluralisme menjamin kelangsungan hidup semesta alam sepanjang masa.  
Allah menciptakan terang dan gelap sehingga manusia mengenal siang dan malam untuk kebutuhan waktu beraktivitas dan beristirahat atau tidur. Siang dan malam adalah perbedaan waktu yang akan menjamin proses kehidupan kapan beraktivitas dan kapan pula beristirahat memulihkan kembali energi agar kehidupan berlangsung berkesinambungan. Sebab, bila beraktivitas terus-menerus tanpa henti, tak seorang pun mampu melakukannya walau robot sekali pun.
Karena itu, perbedaan siang dan malam sejatinya ialah mata rantai kesinambungan kehidupan semesta alam konstruksi Ilahi tiada satu insan pun di atas jagat raya ini bisa menyangkalnya.  
Kemudian, bila diperhatikan cermat dan seksama tidak ada satu pun ciptaan Tuhan Yang Maha Esa hanya satu jenis, tetapi diciptakan berpasang-pasangan. Manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, binatang diciptakan jantan dan betina, tumbuh-tumbuhan pun demikian. Semuanya itu demi kelangsungan generasi untuk menguasai alam semesta sebagaimana termaktub dalam firmanNya.  
Keberagaman, kemajemukan ataupun pluralisme adalah Konstruksi Ilahi atas alam semesta yang tak bisa ditolak atau dibantah siapapun di atas dunia ini. Penolakan atas keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme adalah pembrontakan konstruksi Ilahi serta pengingkaran eksistensi diri karya cipta Tuhan Yang Maha Esa.  
Sadar atau tidak asal muasal manusia jatuh ke dalam dosa sejatinya ialah akibat pembrontakan konstruksi Ilah disebabkan egoisme berkuasa dari diri manusia itu sendiri. Manusia telah dirasuki egoisme berkuasa akan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan ambisi haus kuasa, termasuk mengingkari eksistensi diri selaku karya cipta Tuhan Yang Maha Esa. Keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme yang sejatinya kontruksi Ilahi menjamin kesinambungan alam semesta dibelokkan menjadi ancaman kekuasaan yang harus dimusnahkan karena dianggap ancaman terhadap dirinya.
Padahal, bila dia seorang laki-laki haruslah membutuhkan seorang perempuan yang notabene berbeda dengan dirinya sendiri untuk melanjutkan kesinambungan generasi sebagaimana firman Allah: Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”.
Kekuasaan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa terhadap manusia tentu bukanlah kekuasaan untuk membumi hanguskan semesta alam, melainkan kekuasaan untuk menjamin kelangsungan konstruksi Ilahi atas seluruh keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme supaya seluruh makhluk di alam semesta terjamin kelangsungan hidupnya.  
Oleh sebab itu, segala upaya ingin menghilangkan keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme patut dimaknai pembrontakan konstruksi Ilahi, seperti; genosida ingin memusnahkan etnik tertentu, konflik dengan alasan perbedaan agama dan kepercayaan, tidak sama haluan politik, dan lain sebagainya. 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) Kekuasaan ialah kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, atau kekuatan fisik. Atau (huk) fungsi menciptakan dan memantapkan kedamaian (keadilan) serta mencegah dan menindak ketidakdamaian atau ketidakadilan.
Oleh karena itu, menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, termasuk memberangus keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme adalah bentuk nyata pembrontakan konstruksi Ilahi yang tidak boleh sekali-sekali dilakukan manusia   mengaku diri beragama dan ber-Tuhan walau dengan alasan apapun.  
Keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme adalah konstruksi Ilahi untuk menjamin keberlansungan dan kesinambungan kehidupan alam semesta, bukan konstruksi manusia yang cenderung dirasuki keuntungan dan kepentingan diri tanpa menghiraukan kepentingan kosmos.
Karena itulah Clarence Darrow (1926) mengatakan, “Saya tidak percaya pada hukum kebencian. Keyakinan saya mungkin tidak selalu terbukti benar, namun saya percaya pada hukum cinta. Saya percaya Anda tidak dapat melakukan apapun dengan kebencian. Saya ingin melihat suatu masa ketika manusia mengasihi sesamanya, dan melupakan warna kulit dan kepercayaannya. Kita tak pernah beradab sebelum masa itu tiba”.
Meminjam pemikiran Clarence Darrow sejatinya membentuk kemanusiaan yang  adil dan beradab sebagaimana termaktub pada sila kedua Pancasila dasar Negara Republik Indonesia tercinta ini bukanlah hanya sekadar outopis belaka, tetapi untuk dilaksanakan seluruh rakyat secara nyata di negeri ini.
Ketika individu, kelompok, golongan menyadari, bahwa hukum kebencian atas nama apapun akan membawa malapetaka terhadap diri sendiri, kelompok, maupun golongan maka timbul kesadaran untuk saling mengasihi  didasari hukum cinta menjadikan seantero dunia taman persemaian kedamaian bagi alam semesta.  
Ketika manusia menyadari tak akan mampu berbuat apa-apa tanpa hukum cinta maka sejatinya manusia telah sampai pada tingkat kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai kontruksi Ilahi sehingga keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme adalah pelangi kehidupan semesta alam, dan di atas pelangi kehidupan itu pulalah Tuhan Yang Maha Esa menetapkan janjinya terhadap kesinambungan kehidupan semesta alam.
Salah satu contoh sederhana ialah apabila Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia hanya laki-laki atau perempuan saja, apakah mungkin kesinambungan keturunan (generasi) bisa terlaksana ? Bukankah laki-laki dengan perempuan berbeda ? Tetapi justru dalam perbedaan itulah Tuhan Yang Maha Esa menetapkan janjinya agar beranakcuculah dan berkembang untuk memenuhi bumi serta menguasai seluruh isinya.
Karena itu, tidak ada alasan membenci keragaman, kemajemukan, atau pluralisme di atas jagat raya ini walau dengan alasan apapun, kecuali bagi mereka-mereka yang ingin melakukan pembrontakan konstruksi Ilahi.
Sungguh sulit diterima akal sehat, bila seseorang mengaku diri beragama dan ber-Tuhan sementara dia tidak menerima kontruksi Ilahi atas alam semesta.  
Birahi Kekuasaan.  
            Salah satu akar utama penyebab pembrontakan konstruksi Ilahi ialah birahi kekuasaan yang tumbuh dalam diri manusia itu sendiri. Keangkuhan, kesombongan, keserakahan, ketamakan, kelobaan, serta ingin menyetarakan diri dengan sang pencipta alam semesta hingga menobatkan dirinya monopoli kebenaran atas segala hal. Dan demi menggapai kekuasaan tidak mustahil pula dilancarkan hukum kebencian melalui genderang perang untuk memusnahkan lawan kekuasaan.
Penderitaan demi penderitaan, bahkan kemusnahan tak terperikan sering terjadi semata-mata disebabkan birahi kekuasaan itu sendiri. Bahkan Vladimir Ilyich Lenin (1917) dengan lantang mengatakan, “Tidak diragukan lagi, pertanyaan utama dalam setiap revolusi adalah pertanyaan soal kekuasaan negara. Kelas mana yang memegang kekuasaan, menentukan segalanya”.  
            Padahal, Thomas Jefferson (1801) mengatakan, “Sebagai sesama warga negara yang saling menghormati, kita tentu maklum bahwa harkat kita tidak ditentukan oleh kelahiran, melainkan oleh perilaku kita. Bukan agama apa yang penting, tetapi bagaimana kita menjalankan agama kita. Apa lagi yang penting selain kebebasan yang akan menghantar kita menjadi masyarakat yang bahagia dan sejahtera ?
Ya, ternyata masih ada satu lagi, para warga sekalian, yakni sebuah pemerintahan bijaksana dan cermat, yang mampu mencegah seseorang menciderai orang lain, yang mampu melindungi setiap orang dalam berjuang mengupayakan kemapanan dan perbaikan nasib, dan yang takkan merampas roti dari mulut seorang buruh yang sudah mengucurkan keringat untuk mendapatkannya. Inilah prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, yang perlu ada demi kebaikan kita semua”.(Haris Munandar, Terj, 2009).   
               Sesungguhnya, tujuan pendirian negara-bangsa atau Negara Republik Indonesia yang diperjuangkan para pendiri bangsa (founding fathers) ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Bukan seperti diharapkan para “begundal politik” haus kuasa yang membelokkan tujuan negara menjadi memperkaya diri, kelompok maupun golongan seperti nafsu politik para dewan terhormat memaksakan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau  Dana Aspirasi sebesar Rp 20 miliyar per anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia per daerah pemilihan (Dapil) yang menjadi polemik ditengah masyarakat saat ini. Inilah salah satu contoh konkrit birahi kekuasaan yang menabrak perintah konstitusi demi memenuhi birahi politik. Berbagai alibi dan rasionalisasi pembenar birahi kekuasaan para wakil rakyat untuk menjadikan diri “eksekutif” pengguna anggaran haruslah disiasati dan dicermati suatu cermin birahi kekuasaan semata yang sangat bertentangan dengan sistem ketatanegaraan negeri ini.   
            Bukankah seharusnya, para tuan-tuan terhormat akan lebih bijak dan cerdas apabila fokus menjalankan fungsi konstitusionalnya sebagaimana tertuang pada pasal 20 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; ayat (1), Dewan Perwakilan Rakyat memiliki legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, (2), Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai interplesi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, (3), Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas, (4), Ketentuan lebih lanjut hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.
            Ketentuan pasal 20 A ini sungguh amat jelas dan tegas tanpa perlu dilakukan tafsir macam-macam. Namun dalam implementasinya dengan memanfaatkan ayat (4) yang notabene domain Dewan Perwakilan Rakyat selaku pembuat undang-undang bersama pemerintah (presiden) acapkali dilakukan penyimpangan, penyelundupan  semata-mata demi memenuhi nafsu kekuasaan ataupun kepentingan politik para maniak kuasa.
Hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat sering digunakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai palu godam untuk menekan/membungkam eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) yang sama sekali tidak berkorelasi dengan kepentingan rakyat.
Salah satu contoh konkrit ialah batalnya tiga kali hak interpelasi yang digulirkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara periode 2009-2014 dan periode 2014-2019 terhadap Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho tanpa penjelasan memadai kepada rakyat Provinsi Sumatera Utara hingga muncul kecurigaan “ada udang di balik peyek”.     
            Sadar atau tidak intrik-intrik politik yang dilancarkan para wakil rakyat ini akan menimbulkan ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap para wakil rakyat di negeri ini. Akibatnya, timbul “gugatan” apakah para wakil rakyat masih layak dan pantas menyandang predikat “dewan yang terhormat”.
            Padahal, kehormatan telah diteladankan Mohandas K. Gandhi, “Ia bersumpah tak akan minta perlindungan hukum untuk cedera yang hanya dialami sendiri. Ia berkomitmen pada komunitas dan akan mengorbankan apa pun yang harus dikorbankan atas nama mereka.
Kita sendiri harus jadi perubahan yang kita inginkan di dunia ini”. Bagi Gandi, anti kekerasan lebih daripada sekadar taktik pertahanan pasif terhadap penindasan.
Ini merupakan idealisme, atau lebih akurat, cara mencapai keadaan ideal – kebenaran yang menurut keyakinannya ada Tuhan di dalamnya. Ia tak membenci musuhnya. Ia berusaha mengubah mereka. Ia melihat kebaikan dalam diri mereka, meski kita mungkin hanya bisa melihat sedikit – dan berniat jadi contoh anti kekerasan serta persaudaraan dengan semua manusia untuk membangkitkan nurani moral penindasnya”. (Mc Cain & Mark Salter, 2009).  
            Birahi kekuasaan telah mendorong manusia berlaku hipokrit (munafik) hingga kerap ditemukan kepura-puraan, pembohongan, tipu muslihat, serta seolah-olah untuk menutupi kamuflase politik.
Menggunakan pembingkaian kata (framing) mengatasnamakan kepentingan rakyat bukanlah hal baru dan canggih sebab hal-hal seperti itu telah berulangkali menjadi tontonan tak bermutu di ruang publik. Bahkan penggunaan kata-kata santun membungkus makna berbeda seperti, pekerja seks komersial (PSK) untuk pelaku pelacuran telah menjadi permakluman serta pemahaman lazim di negeri ini.
Padahal, penggunaan kata “pekerja” menurut KBBI (2007) ialah orang yang bekerja; orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan. Sehingga penggunaan kata pekerja seks komersial (PSK) sejatinya adalah kekeliruan serta sesat pikir pelegalan terhadap pelacuran yang konsekuensinya tidak perlu diuber-uber dan dikejar-kejar, ditangkap, dipenjara apabila dianggap dan dilegalkan sebagai pekerja.  
Meminjam pemikiran Sigmund Freud, bahwa “Manusia bukan saja pandai membikin rasional namun juga cerdas membikin rasionalisasi. Dalih yang berbahaya adalah rasionalisasi yang disusun secara sitematis dan meyakinkan. Dalih semacam itu bisa memukau apalagi bila didukung oleh sarana seperti kekuasaan”. (Jujun S Suriasumantri, 1985).
Selain itu, kemunafikan juga mendorong berbagai kepura-puraan, seolah-olah, serta kepalsuan dalam perilaku hidup sehari-hari. Oleh karena itulah muncul berbagai idiom seperti; harimau berbulu domba, musang berbulu ayam, maling teriak maling, pelanggar hukum berteriak lantang garda hukum, penindas rakyat berteriak pro rakyat, diktator otoriter berteriak demokratis, pelaku maksiat berteriak anti maksiat, dan lain sebagainya. Berlindung di balik tameng adalah perilaku munafik paling berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini.
Kisah-kisah perampokan harta negara paling termasyihur di dunia ialah kisah Robin Hud dan Fablio Escobar yang menjadi legenda sepanjang masa dengan menggunakan dalih rasionalisasi. Kisah-kisah seperti itu tidak mustahil akan muncul kembali walau dalam kemasan berbeda.
Berbuat baik terhadap rakyat dengan merampas, merampok, menggarong harta negara sejatinya adalah pembohongan besar serta tipu muslihat paling berbahaya tak layak dan pantas dilakukan manusia-manusia beradab.
Memosisikan diri sebagai dermawan, dewa penolong, penyelamat rakyat dengan merampok harta kekayaan negara adalah kemunafikan besar dilandasi birahi kekuasaan.  
Sungguh sangat disesalkan apa yang dilakukan “begundal-begundal politik”  selalu mengatasnamakan rakyat dalam menggulirkan agenda politik menguntungkan pribadi, kelompok maupun golongan selama ini. Bila dicermati sangat banyak program mengatasnamakan rakyat, tetapi semuanya itu hanyalah kepalsuan belaka.
Berbagai bantuan atas nama rakyat sejatinya hanyalah intrik politik untuk menguras mata anggaran, baik anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) setiap tahunnya. Buktinya, bantuan sosial (Bansos) yang ditampung dalam mata anggaran APBN maupun APBD banyak menjadi lahan bancakan para elite-elite politik serta modus korupsi anggaran dengan alasan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Egoisme pribadi, kelompok maupun golongan adalah tembok pemisah dengan pihak lain sekaligus akar pemicu timbulnya pergesekan, perselisihan, perseteruan, bahkan konflik dengan berbagai hukum kebencian mendatangkan malapetaka tak terperikan. Egoisme inilah sumbu penyulut berbagai perselisilan, perseteruan ataupun konflik ditengah masyarakat, bangsa maupun negara di atas jagat raya ini.
 Memosisikan diri di atas pihak lain, merasa diri paling tinggi di atas orang lain, merasa paling benar dibanding orang lain, merasa paling berjasa dibanding orang lain, dan lain sebagainya adalah salah satu cermin nyata egoisme yang merasuki diri seseorang. Hal ini sungguh sangat berbahaya sebab manusia tak akan pernah hidup dan berkembang tanpa dukungan, sokongan manusia lainnya. Dan karena itu pulalah Aristoteles mengatakan manusia adalah “makhluk sosial”. Akan tetapi kesadaran itu terlupakan akibat egoisme manusia itu sendiri. Kesadaran inilah kunci utama hukum cinta agar perbedaan, kemajemukan, pluralisme konstruksi Ilahi bisa abadi. 
                                                                                                Medan, 01 Juli 2015
                                                                                                Thomson Hutasoit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.