rangkuman ide yang tercecer

Senin, 24 Agustus 2015

Persatuan Energi Membangun Indonesia




Persatuan Energi Membangun Indonesia
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)
Pendahuluan.
            Salah satu energi bangsa terlupakan selama 70 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ialah sila ketiga Pancasila yakni; Persatuan Indonesia sejak dari Sabang hingga ke Merauke dengan segala perbedaan, keragaman, kemajemukan di dalamnya  tercermin dalam lambang negara Bhinneka Tunggal Ika.
            Para pendiri bangsa (founding fathers) menyadari komprehensif paripurna, bahwa perbedaan, keragaman, kemajemukan adalah konstruksi Ilahi bagi alam semesta sehingga setiap insan yang mengaku cipataan Ilahi tidak ada yang berhak menolak dan memberangusnya dari atas semesta walau dengan alasan apapun juga.
            Kecerdasan, kejenialan para pendiri bangsa merekonstruksi karya cipta Tuhan Yang Maha Esa kedalam Pancasila ideologi negara-bangsa Indonesia menjadikan Pancasila merupakan salah satu keajaiban dunia yang mampu mempersatukan aneka perbedaan, keragaman, kemajemukan nusantara kedalam “Rumah Besar Bangsa Indonesia” yang diproklamasikan oleh Bung Karno-Bung Hatta 17 Agustus 1945 atas nama seluruh bangsa Indonesia.  
            Kemampuan putera-puteri nusantara menyatukan aneka perbedaan, keragaman, kemajemukan dengan membuang jauh-jauh ego sektarian-primordial seperti; ego suku, agama, ras, antar golongan/SARA adalah wujud nyata kemampuan para pemimpin membangun persatuan bangsa menuju Indonesia merdeka. Masing-masing menyadari “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” dan dalam kearifan budaya Batak Toba dikenal “Tamtamna do tajomna, rim ni tahi do gogona” memiliki makna sama dengan peribahasa klasik “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” merupakan sifat Gotong-Royong masyarakat bumi nusantara sejak zaman dahulukala.  
            Sifat Gotong-Royong telah menjadi karakter spesifik, jati diri masyarakat nusantara sepertinya terabaikan pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 hingga kerap terjadi penonjolan egoisme sektoral dalam kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Sifat individualistis, hedonis, konsumtif, unsolidaritas sangat bertolak belakang dengan sifat, karakter masyarakat bumi nusantara menjadi karakter baru mengancam ‘persatuan’ sesama anak bangsa yang alpa menjaga dan melestarikan karakter masyarakat nusantara dalam berbagai kebijakan negara ataupun pemerintahan selama kurun waktu 70 tahun kemerdekaan republik ini. Akibatnya, berbagai gesekan, karut maut, serta pertarungan politik atas nama ego sektoral menjadikan negeri ini tertunda mewujudkan janji Proklamasi sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yakni; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.
            Kita patut bersyukur, api semangat ‘persatuan’ para pendiri bangsa 70 tahun silam kini kembali digelorakan Presiden Republik Indonesia ke tujuh Joko Widodo pada hari ulang tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke 70 sebagai semangat membangun bangsa Indonesia sejak dari Sabang hingga ke Merauke dengan menggali seluruh potensi tersebar di seluruh bumi nusantara.
            Revitalisasi persatuan adalah sebuah kecerdasan, kejenialan Presiden Jokowi karena semangat persatuan terpatri pada sila ketiga Pancasila sadar atau tidak, setuju tak setuju sepertinya telah mengalami degradasi di benak anak-anak bangsa yang terjebak pada tarik-menarik kepentingan politik menimbulkan prahara politik di era belakangan ini.
Ego-ego kepentingan politik individual, kelompok maupun golongan telah merobek-robek kepentingan negara-bangsa mengakibatkan terbuangnya energi bangsa yang seharusnya digunakan membangun negara-bangsa justru terbuang sia-sia untuk menyelesaikan berbagai konflik, perseteruan bernuansa egoisme sektarian-primordialisme.  
            Kesadaran paripurna para pendiri bangsa tentang eksistensi negara-bangsa Indonesia terdiri dari bangsa-bangsa dengan perbedaan, keragaman, kemajemukan nusantara bersatu dalam “Rumah Besar Indonesia” diikat Pancasila sepertinya belum menjadi kesadaran paripurna seluruh bangsa Indonesia, termasuk para elite politik yang masih menjonjolkan egoisme sektoral dalam menjalankan tugas, pokok dan fungsi (Tupoksi) penyelenggaraan negara atau pemerintahan sehingga kerap muncul rivalitas Institusi, perseteruan antar lembaga, merasa sok di atas hukum menunculkan kegaduhan politik di republik ini. Jika masing-masing lembaga/institusi negara atau pemerintahan menyadari bahwa menyelesaikan persoalan bangsa hanya bisa dilakukan bahu-membahu, tamtamna do tajomna, rim ni tahi do gogona maka tidak akan pernah lupa “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” atau bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
Sebab persatuan ialah gabungan (ikatan, kumpulan, dsb) beberapa bagian yang sudah bersatu (KBBI, 2007) sehingga jika negara-bangsa Indonesia adalah negara persatuan maka seluruh insan di negeri ini harus menyadari komprehensif paripurna tentang arti dan makna persatuan itu sendiri. Tak ada satu pihak pun merasa diri di atas pihak lain, tak ada merasa di atas hukum, tak ada satu lembaga/instansi pun merasa superior dibanding lembaga/instansi lain sesuai hak dan kewenangan yang diatur konstitusi negara.  
Budaya Saling Menghargai.
            Penginderaan Presiden Jokowi atas menipisnya budaya saling menghargai sungguh cerdas dan jenial serta faktual sebab persatuan tak akan pernah terwujud dengan nyata jika individu, masyarakat, kelompok maupun golongan tidak saling menghargai satu sama lain dalam perbedaan, keragaman, kemajemukan. Jika masing-masing merasa diri paling superior atas nama apapun maka akan terjadi diskriminasi ataupun ketidakadilan ditengah masyarakat, bangsa maupun negara. Egoisme “ke-Aku-an” akan memunculkan arogansi terhadap pihak lain. Merevolusi mental ke-Aku-an, ke-Kami-an menjadi ke-Kita-an adalah langkah konkrit menghilangkan “Rivalitas” antar lembaga/institusi yang menjadi sumber prahara berbangsa dan bernegara selama ini.
 Kunci pertama dan utama menumbuhkembangkan ‘persatuan’ ialah membangun kesadaran ke-Kita-an bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama pada penyelenggara negara atau pemerintahan supaya setiap orang, lembaga/institusi mengerti dan memahami bahwa apapun yang dikerjakan, dilaksanakan ditujukan kepada kepentingan seluruh rakyat dan negara. Karena itu, sungguh tepat apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo pada Pidato Kenegaraan 14 Agustus 2015 di depan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-70 selaku Kepala Negara Republik Indonesia. “Menipisnya budaya saling menghargai dan tenggang rasa tidak hanya terjadi di masyarakat, tetapi juga di institusi resmi, seperti lembaga penegak hukum, organisasi kemasyarakatan, media, dan partai politik. Kondisi ini membuat bangsa terjebak pada lingkaran ego masing-masing, dan akhirnya menghambat pembangunan, budaya kerja, gotong royong dan karakter bangsa. Tanpa kesantunan politik, tata krama hukum dan ketatanegaraan, serta kedisiplinan ekonomi, kita akan kehilangan optimism dan lamban mengatasi persoalan-persoalan lain, termasuk tantangan ekonomi”.(Kompas, 15/08/2015).
            Selaku Kepala Negara Presiden Joko Widodo telah menunjukkan keteladanan kepemimpinan kepada seluruh rakyat Indonesia, pimpinan lembaga-lembaga negara, elite partai politik, terutama kepada para pakar politik yang cenderung nyeleneh mempersoalkan atau menolak Presiden sebagai Kepala Negara yang menimbulkan kegaduhan dalam sistem ketatanegaraan presidensial. Rakyat lelah dan letih mempersaksikan para elite “sok di atas hukum, sok pintar, sok hebat, sok benar, sok paling berjasa” menjadi sumber prahara dalam berbangsa dan bernegara.  
            Seharusnya para elite politik di negeri ini menyadari bahwa Bangsa Indonesia tak akan pernah lahir jika para pendiri bangsa (founding fathers) gagal membangun persatuan rakyat bumi nusantara dengan segala perbedaan, keragaman, kemajemukan saling menghargai, menghormati, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi yang merupakan kearifan budaya rakyat bumi nusantara sejak dahulukala. Kearifan budaya rakyat nusantara inilah yang terkikis dari para elite-elite politik yang beradagium “tidak ada lawan abadi, kepentingan politiklah abadi” yang sangat berbanding terbaik dengan kearifan budaya nusantara.
Salah satu contoh konkrit ialah “terbelahnya Gedung DPR RI” atas Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengusung pasangan calon presiden 2014 lalu tidak serta merta berlanjut pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) 09 Desember 2015 akan datang. Sebab fakta membuktikan partai politik kelompok KMP dengan KIH berkolaborasi mengusung pasangan calon kepala daerah asal cocok dengan kepentingan partai politik. Padahal, perseteruan KMP dan KIH di DPR RI Senayan Jakarta telah menimbulkan kekhawatiran, ketakutan rakyat atas kelanggengan perjalanan bangsa ini ke depan.  
            Para elite politik seharusnya menyadari, bahwa rakyat Indonesia masih banyak berpikir lurus, lugu dan polos, bukan seperti cara berpikir elite politik sulit ditebak, sebab sulit membedakan antara sungguh-sungguh dengan berpura-pura, antara setuju dengan tidak, antara mendukung dengan menolak, antara jujur dan munafik, antara jelas dengan tak jelas sulit diprediksi sebelum palu diketukkan. Belum lagi kemahiran, kepiawian memainkan kata-kata bersayap yang sulit dicerna rakyat belum mahir intrik politik para elite politik piawi melakukan politik cuci tangan ala Pontius Piltus pada zaman penyaliban Tuhan Yesus 2.000-an tahun silam.
            Koreksi total terhadap karakter munafik, sok di atas hukum, tidak menghargai pihak lain, individualistis, hedonisme, komsumerisme, tak solider, menyelengkan amanah dan aji mumpung adalah sasaran sejati dari “Revolusi Mental” agenda Presiden Joko Widodo selaku Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan perlu didukung optimal anak-anak Ibu Pertiwi supaya negeri ini bangkit sebagai raksasa dunia.
Api semangat “Persatuan” adalah energi maha dahsyat membangun Indonesia yang diwariskan para pendiri bangsa sejak Gerakan Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang mempersatukan ke-Bhinnekaan bumi nusantara dalam “Rumah Besar Bangsa Indonesia” taman sari bangsa bagaikan pelangi indah di ufuk biru tanda perjanjian Tuhan Yang Maha Esa kelangsungan alam semesta. Karena itu, ketika bangsa-bangsa lain menyangsikan dan tidak percaya kelanggengan negara-bangsa Indonesia yang mempersatukan perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme, multikuturalisme, justru bangsa ini patut bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan PANCASILA ideologi Bangsa Indonesia salah satu keajaiban dunia.
            Pancasila yang dilahirkan Bung Karno 1 juni 1945 harus benar-benar landasan berpikir, bertindak seluruh rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara agar keberlangsungan perbedaan, keragaman, kemajemukan, pluralisme, multikulturalisme di bumi nusantara abadi sepanjang masa.
            Persatuan merupakan kearifan budaya nusantara adalah energi pembangunan bangsa harus digelorakan kembali bukan hanya sekadar retorika melainkan kesadaran sejati seluruh rakyat Indonesia, sebab tanpa persatuan mustahil membangun Indonesia sejak dari Sabang sampai ke Merauke.
            Harus disadari pula, bahwa persatuan hanya bisa terwujud jika seluruh anak-anak bangsa saling menghargai, menghormati dalam kesederajatan, kesetaraan sebagaimana termaktub pada pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
            Karena itu, sudah saatnya menghentikan pertentangan atas nama perbedaan, keragaman, kemajemukan, pluralisme, multikulturalisme dari pihak manapun juga, dan menyadari komprehensif paripurna bahwa pikiran, tindakan seperti itu adalah kekeliruan besar serta sesat pikir yang mengancam keutuhan dan kelanggengan bangsa Indonesia  berdasarkan Pancasila.
            Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Merdeka !
                                                                                                            Medan, 18 Agustus 2015
                                                                                                            Thomson Hutasoit.
(Alumni Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Bagi Kalangan Birokrat, Akademisi, Tokoh Masyarakat, Tkoh Agama, Tokoh Adat dan Tokoh Pemuda di Provinsi Sumatera Utara, Nomor:064/IX/2014) tinggal di Medan.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.