rangkuman ide yang tercecer

Rabu, 24 Juli 2019

REVITALISASI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI).

REVITALISASI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI).
Oleh : Drs. Thomson Hutasoit.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan tegas menyatakan, Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik (pasal 1 ayat 1 UUD RI 1945).
Pada Penjelasan UUD RI 1945 BAB I BENTUK KEDAULATAN NEGARA pasal 1 dikatakan, “Menetapkan bentuk Negara Kesatuan dan Republik, mengandung isi pokok pikiran kedaulatan rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah penyelenggara negara yang tertinggi. Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara”.
Selanjutnya, BAB I BENTUK DAN KEDAULATAN NEGARA pasal 1 dikatakan, “Menetapkan bentuk Negara Kesatuan dan Republik, mengandung isi pokok pikiran kedaulatan rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara”.
Pasal 18 UUD RI 1945 ayat (1) “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Ayat (2) “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut otonomi dan tugas pembantuan”. Ayat (6) “Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
BAB VI PEMERINTAHAN DAERAH pasal 18 angka I Penjelasan UUD RI 1945 dengan tegas dikatakan, “Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenbeidstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah-daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena itu di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan”.
Dari uraian pasal-pasal tersebut diatas eksistensi pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) seluruh wilayah Indonesia adalah pembagian wilayah administratif yang tak bisa dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk hak menetapkan peraturan daerah (Perda) dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Segala bentuk peraturan daerah (Perda) serta peraturan-peraturan lainnya tidak boleh sekali-sekali menyimpang dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 serta Undang-Undang Republik Indonesia lainnya.
Pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) tidak boleh sekali-sekali memosisikan diri Negara dalam Negara. Melainkan daerah bersifat administratif belaka tak boleh sekali-sekali terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus menjadi dasar hukum pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) dalam menetapkan peraturan daerah (Perda), peraturan-peraturan lainnya, serta kebijakan pemerintahan daerah untuk menjamin kepastian hukum berbangsa dan bernegara.
Pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) tidak boleh bertentangan, apalagi melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang notabene pemerintahan diatasnya dalam penyelenggaraan negara sebagaimana amanat konstitusi. Segala bentuk arogansi pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) terhadap pemerintah harus dimanaknai pelanggaran etika pemerintahan yang baik dan benar, yiatu “Perbuatan yang baik, perbuatan yang etis, perbuatan yang wajib dan seharusnya dilakukan adalah perbuatan yang sesuai dengan kebiasaan, adat, aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”. (Milwan, 2008).
Penyimpangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jika diperhatikan cermat dan seksama, pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) sepertinya telah menafsirkan otonomi daerah secara keliru dan sesat pikir. Pemerintahan daerah yang bersifat administratif belaka, telah dimaknai kewenangan mutlak absolut tanpa batas menetapkan peraturan daerah (Perda) serta peraturan-peraturan lain menciderai, mendelegitimasi peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Berbagai peraturan daerah (Perda) diskriminatif serta menciderai hak-hak sipil kerap dilakukan atas nama fanatisme-fanatisme buta yang sangat bertentangan dengan prinsip equality before the law sebagaimana diamanatkan pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Bahkan ada pula daerah (provinsi, kabupaten dan kota) merasa dan memosisikan diri Negara Federal sehingga menetapkan peraturan daerah (Perda) serta peraturan-peraturan lainnya berdasarkan fanatisme sektarian-primordial sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang jelas-jelas dan terang-benderang menciderai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasar Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika.
Kamil dkk, (2007) mengatakan, “Yang menarik dicermati adalah bahwa legislasi Islam melalui perda adalah gejala baru. Para penyokong syariah Islam terpaksa menempuh cara ini setelah gagal menjadikannya sebagai agenda nasional, yaitu melalui amandemen pasal 29 (2002). Kita sering menyebutnya sebagai gejala simbolisasi atau formulasi agama. Gejala ini juga bisa disebut politisasi agama, suatu gejala politik simbol. Dalam hal ini, jargon, retorika, dan simbol agama digunakan sebagai bentuk artikulasi politik simbolis, secara khas dan berani. Gejala kembalinya syariah dalam ranah publik menandai revitalisasi politik syariah di Indonesia.
Politik syariah Islam berfungsi dengan cara memaksakan agar syariah masuk ke ruang publik melalui gerbong otonomi daerah. Meski dalam jangkauan dan skala yang terbatas, perda-perda syariah bermunculan segera setelah lahirnya Undang-Undang No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hingga kini tercatat lebih dari 50 kabupaten/kota yang mempunyai perda syariah Islam. Meski publik Muslim yang mendukung penerapan syariah cukup signifikan secara kuantitatif, namun banyak pihak masih mempersoalkan legitimasinya sebagai kebijakan publik. Selain rendahnya keterlibatan masyarakat (public engagement) dalam proses penerapannya, sejumlah aturan yang dikandungnya cenderung mengancam hak-hak sipil, hak-hakm perempuan, dan hak-hak minoritas. Apalagi, dalam prakteknya, warga masyarakat dipaksa tunduk pada kebijakan publik yang secara eksklusif bersumber dari nilai-nilai Islam. Ini sangat mungkin memicu ketegangan dalam masyarakat, karena selain diskriminatif terhadap warga Negara lainnya, khususnya minoritas non-Muslim, perda-perda tersebut juga cenderung mengabaikan hak-hak perempuan Muslim dan juga hak-hak warga Muslim lainnya yang mungkin menganut keyakinan/pandangan yang berbeda dengan aturan-aturan syariah yang dikandung perda-perda tersebut”.
Kamil dkk mengatakan lebih lanjut, “PBB telah menetapkan the International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) pada tahun 1966, atau terhitung 18 tahun setelah lahirnya Deklarasi HAM.
ICCPR pada dasarnya mengatur bagaimana membatasi kewenangan negara. ICCPR mencakup sejumlah hak-hak negatif dan positif. Hak-hak negatif adalah hak-hak dan kebebasan yang dijamin dapat terpenuhi, apabila negara tidak melakukan tindakan yang merugikan warganya, seperti penyiksaan. Umumnya, hak-hak sipil dan politik dilihat sebagai hak-hak negatif dimana negara tidak dimungkinkan untuk melakukan tindakan-tindakan partikular. Sedangkan hak-hak positif mengandaikan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak-hak partikular, seperti hak hidup berkeluarga (rights to family life). Namun secara keseluruhan, hak-hak positif lebih merupakan kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Biasanya disingkat ICESCR). Hak-hak positif menuntut peran negara yang tinggi untuk melindunginya. Negara, bahkan, dituding melanggar hak-hak yang dijamin ICESCR, jika mengabaikannya”.
Perlu diketahui, ICCPR telah mengatur hak-hak antara lain; Pertama, hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak absolut yang harus dijamin kelangsungannya dalam kondisi apapun. Hak-hak yang termasuk dalam jenias ini adalah: (i) hak hidup (rights of life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (iii) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subyek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan agama. Pelanggaran terhadap hak-hak ini tergolong sebagai pelanggaran serius HAM (gross violation of human rights). Kedua, hak-hak derogable, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Yang termasuk dalam kategori ini adalah: (i) hak berkumpul secara damai; (ii) hak berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan (iii) hak menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima, dan memlberikan informasi dan segala macam gagasan, tanpa memperhatikan batas (baik lisan maupun tulisan).
Ruang publik Indonesia yang terbuka terhadap berbagai identitas membuat penerapan syariah Islam secara paksa ataupun persuasive oleh pemerintah daerah tak urung menimbulkan persoalan mendasar. Yang paling utama adalah pelanggaran hak-hak sipil (civil rights) termasuk di dalamnya kebebasan menyatakan pendapat (berekspresi), hak-hak kaum perempuan, dan hak-hak minoritas non-Muslim, seperti dilaporkan The Wahid Institute”. Menurut John Locke, tujuan negara yang mutlak adalah melindungi dan membela kebebasan sipil warganya.
Eforia Otonomi Daerah serta tafsir keliru kewenangan pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) pasca terbitnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah melahirkan ratusan, bahkan ribuan peraturan daerah (Perda) serta aturan peraturan lainnya yang menyimpang, menyalahi, menciderai, mendegradasi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masalah krusial berbangsa-bernegara. Hal itu, tentu harus lah menjadi perhatian serius dari seluruh anak bangsa agar keutuhan bangsa dan negara bisa dijamin sebagaimana amanat konstitusi.
Bagaimana Pemerintah Meluruskan Penyimpangan NKRI….???
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait Pembatalan Perda oleh Gubernur dan Menteri. Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 yang diterbitkan 5 April 2017, dalam Putusannya disebutkan, bahwa pasal 251 ayat 2,3, dan 4 Undang-Undang Pemda sepanjang mengenai Perda Kabupaten/Kota bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam putusan itu Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan demi kepastian hukum dan sesuai UUD 1945 menurut Mahkamah, pengujian atau pembatalan Perda menjadi ranah kewenangan Mahkamah Agung.
Adapun alasan Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan peraturan daerah (Perda) antara lain; 1). Keberadaan judicial review di dalam suatu negara hukum, merupakan salah satu syarat tegaknya hukum itu sendiri, sebagaimana tersurat dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Peraturan perundang-undangan hanya layak diuji lembaga justisi. 2). Menurut UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, Perda jelas disebut sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dengan hierarki di bawah Undang-undang. Maka sebagaimana ditentukan oleh pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, pengujiannya hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, bukan lembaga lain. (3). Eksekutif bisa membatlkan Perda menyimpangi logika dan bangunan negara hukum Indonesia sebagaimana amanah pasal 1 ayat (3) UUD 1945 juga menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU in casu Perda Kabupaten/Kota sebagaimana ditegaskan dalam pasal 24 A ayat (1) UUD 1945. (4). Ekses dari produk hukum pembatalan Perda dalam lingkup eksekutif dengan produk hukum ketetapan gubernur sebagaimana ditentukan pasal 251 ayat (4) UU Pemda berpotensi menimbulkan dualisme Putusan Pengadilan jika kewenangan pengujian atau pembatalan Perda terdapat pada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. (5). Jika peraturan daerah itu sudah mengikat umum, maka sebaiknya yang mengujinya adalah lembaga peradilan sebagai pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dalam proses pembentukan peraturan daerah yang bersangkutan sesuai dengan sistem yang dianut dan dikembangkan menurut UUD 1945 yakni “centralized model of judicial review”, bukan “decentralized model”, seperti ditentukan dalam pasal 24 A ayat (1) dan pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.(sumber: detiknews, 20/06/2017).
Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tidak berhak dan berwewenang mencabut peraturan daerah (Perda) provinsi, kabupaten dan kota sekalipun peraturan daerah (Perda) itu telah menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Nah, sekarang timbul pertanyaan. Apa langkah-langkah pemerintah meluruskan penyimpangan peraturan daerah (Perda) yang menyimpang dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)….???
Pertama, Pemerintah (Presiden) selaku pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (pasal 4 ayat 1) mengatur dan mengendalikan penerbitan atau penetapan peraturan daerah (Perda) dengan sebuah sistim kendali E-Perda konsisten dan konsekuen. Pemerintah harus memastikan sebelum Perda ditetapkan pemerintah daerah telah diteliti, dikaji komprehensif paripurna agar tidak menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kedua, Pemerintah selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi mendorong pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) untuk merevisi ataupun mencabut dan membatalkan peraturan daerah (Perda) yang menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ketiga, Pemerintah mendorong partisipasi publik melakukan uji materi (judicial review) peraturan daerah (Perda) menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke Mahkamah Agung.
Keempat, Pemerintah segera membentuk badan pengkajian hukum untuk mengidentifikasi, menginventarisasi, serta memetakan peraturan daerah (Perda) menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar tidak lahir lagi Perda-Perda sejenis.
Langkah-langkah riil seperti itu akan lebih arif dan bijaksana dibanding berpolemik saling menyalahkan satu sama lain dalam berbangsa-bernegara.
Medan, 24 Juli 2019.
Salam NKRI…….!!! MERDEKA……!!!
Penulis: Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Wapemred. SKI ASPIRASI, Medan.     
 
   

Selasa, 09 Juli 2019

PEMASTIAN EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA).

PEMASTIAN EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA).
Oleh: Drs. Thomson Hutasoit.
    “Katanya” hukum dasar Negara Republik Indonesia adalah hukum dasar tertulis (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945) dan hukum dasar tak tertulis (hukum adat). Mengapa digunakan kata “katanya” ?
Hal itu menunjukkan bentuk kekecewaan amat sangat dalam di hati pikiran Masyarakat Hukum Adat (MHA) selama tujuh dekade pasca kemerdekaan republik yakni Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, eksistensi dan legalitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) belum secara nyata diakui dan dihormati di negeri tercinta ini.
Hal itu lah menimbulkan pertanyaan paling fundamental tentang arti hakiki kemerdekaan, kedudukan hukum adat pada struktur hukum nasional, serta tanggung jawab negara terhadap rakyatnya pasca kemerdekaan bangsa ini.
Masyarakat Hukum Adat (MHA) belum secara nyata merdeka di tanah leluhurnya sekalipun penjajah kolonial telah hengkang dari bumi Ibu Pertiwi. Bahkan sebaliknya, Masyarakat Hukum Adat (MHA) tidak pernah berdaulat diatas tanah leluhurnya, sekalipun disebut-sebut Hukum Adat adalah hukum dasar tertinggi tak tertulis di republik ini.
Rakyat pemegang hak purba belum menjadi prioritas dalam penguasaan dan/atau pengusahaan tanah dan hutan sebagai wujud nyata kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (pasal 1 ayat 2 UUD RI 1945).
Menurut Maria Soemardjono mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), “Komunitas masyarakat hukum adat berhak menuntut setiap pemerintah daerah masing-masing untuk menetapkan wilayah adat mereka. Sebab, perlindungan negara terhadap entitas masyarakat hukum adat sudah diberikan melalui Peraturan menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”. Penetapan wilayah adat memiliki tiga syarat, antara lain; ada anggota masyarakat, suatu wilayah dengan batas-batas yang jelas, dan ada pranata sosial yang masih hidup/berlangsung. Pranata sosial bisa berupa kewenangan menjalankan hukum dan sanksi. Saat sudah ada dua contoh peraturan daerah menetapkan dan mengatur wilayah adat yaitu bagi masyarakat hukum adat Lundayah, dan masyarakat adat Baduy di Lebak, Banten. Yang perlu didorong adalah partisipasi politik masyarakat adat mau mendorong setiap pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah guna melindungi eksistensi masyarakat adat (Kompas, 23/7/2007).
Pada pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) III di Pontianak, Kalimantan Barat (17/3/2007) Raja Devasish Roy Perwakilan Masyarakat Internasional mengatakan, “Penguatan kembali hak atas tanah adat beserta hukum adat diyakini mampu menopang kelangsungan pengelolaan sumber daya alam untuk pertumbuhan ekonomi secara nasional. Untuk mewujudkannya, kemitraan masyarakat adat yang diperkirakan kini masih mencapai 70 juta jiwa di Indonesia dengan pemerintah sekarang mutlak diperjuangkan. Saya mendorong masyarakat adat di Indonesia untuk terus memperjuangkan dan mendiskusikan kepada pemerintah perlunya penguatan kembali hak atas tanah-tanah adat, hukum-hukum masyarakat adat, dan ekonomi” (Kompas, 18/3/2007).
Selanjutnya, AR Mecer, Ketua Presidium Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat mengatakan, “Tantangan mewujudkan transformasi sosial yang lebih adil dan sejahtera saat ini adalah rehabilitasi dan pemulihan tatanan sosial politik serta tatanan ekologis. Demokratisasi politik melalui otonomi daerah tidak cukup kalau belum dibarengi dengan pemberian otonomi komunitas masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki hak-hak yang dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, usaha revitalisasi, pengayaan, dan penguatan terhadap pranata masyarakat adat meliputi aturan kelembagaan, dan metode masyarakat adat tidak boleh ditunda lagi”. Bahkan, Direktur Eksekutif Institut Dayakologi John Bamba mengatakan, “Dengan alasan keseragaman langkah pembangunan, pranata sosial masyarakat adat saat ini sedang dihancurkan”.
Menurut Mina Susan Setra Wakil Ketua I Kongres Masyarakat Adat Nusantara III, “Penindasan secara politis bagi masyarakat adat masih terjadi di sejumlah wilayah yang tereksploitasi sumber daya alamnya dan masyarakat adat kurang diperhatikan kepentingannya. Eksploitasi pihak luar itu sering menimbulkan kerusakan alam yang akhirnya merugikan masyarakat adat”.
Sonny Keraf Wakil Ketua komisi VIII DPR RI yang membidangi lingkungan mengatakan, “Pelibatan masyarakat adat lokal penting agar mereka menerima manfaat langsung. Selama ini mereka lebih sering menjadi korban, termasuk pencemaran lingkungan dari aktivitas usaha”. Kurangnya kepedulian pemerintah terhadap lingkungan hidup tercermin pada lambannya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Sumber Daya Alam. Seretnya penanganan RUU sekaligus cerminan adanya perbedaan sikap tentang masyarakat adat. Pembahasan lebih dari tiga tahun tentang RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang tak kunjung usai, diwarnai tarik ulur pengaturan hak masyarakat adat dan kelembagaannya. Departemen Kehutanan bahkan mempersoalkan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat adat, sedangkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mengkhawatirkan eksploitasi hutan oleh masyarakat adat akan dicampuri pihak lain” (Kompas, 17/3/2007).
Dari berbagai uraian diatas betapa belum terperhatikan eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) di republik ini sekalipun sering disebut-sebut Hukum Dasar Tertinggi adalah Hukum Dasar Tertulis (UUD RI 1945) dan Hukum Dasar Tak Tertulis (Hukum Adat)  menjadi dasar dari segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam berbangsa dan bernegara.
Hiruk-pikuk politik pertarungan suksesi kepemimpinan nasional maupun daerah (presiden/wakil presiden, gubernur, bupati/walikota) telah berlangsung beberapa kali sepertinya belum nyata-nyata menjadikan “Eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA)” prioritas visi-misi secara riil. Akibatnya, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) serta Perlindungan Hak Keperdataannya menjadi kasus klasik tak pernah tuntas. Sementara, Masyarakat Hukum Adat (MHA) telah menjadi korban ketidakadilan sangat memilukan di republik ini. Salah satu contoh konkrit, permasalahan hutan masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, dan lain sebagainya.
Kasus-kasus Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah permasalahan paling menonjol serta klasik di hampir seluruh wilayah Indonesia sepanjang perjalanan bangsa ini. Walau demikian, penyelesaian kasus-kasus Masyarakat Hukum Adat (MHA) belum perioritas dalam arah kebijakan nasional maupun pemerintahan daerah hingga kini.
Kealpaan Pemerintah Daerah.
Pengakuan, pengukuhan, pemastian, perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang harus dilaksanakan oleh penyelenggara negara atau pemerintahan, terutama pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota dalam menerbitkan peraturan daerah (Perda) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 67 selengkapnya berbunyi;
Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih adadan diakui keberadaannya berhak:
melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang;
mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengakuan, pengukuhan, pemastian perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) dengan tegas diamanahkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 18B berbunyi; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya, pasal 28 I ayat (3) berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal 3 dan pasal 5 selengkapnya berbunyi;
Pasal 3 Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pasal 5 Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsure-unsur yang berdasar pada hukum agama. Penjelasan pasal 3 dan pasal 5 dapat dilihat selengkapnya pada Penjelasan Umum (II angka 3) dan Penjelasan Umum (III angka 1) Undang_Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Demikian juga Undang-Undang republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, pasal 9 ayat (2) menegaskan, “dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 tertanggal 16 Mei 2013 atas yudisial rewiew pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah menegaskan, “Hutan Adat termasuk Hutan Hak” Bukan “Hutan Negara”. Mahkamah Konstitusi memutuskan, “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, bukan sebagaimana mengartikan “hutan adat” adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final and binding ini menjadi dasar fundamental tak bisa diabaikan dan dikesampingkan pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah (Perda)  pengakuan, pengukuhan, pemastian eksistensi dan perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA), tanpa alasan apapun. Tapi sungguh disayangkan dan disesalkan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) sepertinya “Alpa” melaksanakan perintah konstitusi sehingga eksistensi dan perlindungan hak masyarakat hukum adat belum menjadi perhatian serius di negeri ini. Bahkan, daerah kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara yang disebut-sebut daerah Masyarakat Hukum Adat (MHA) masih belum menerbitkan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian serta perlindungan hak masyarakat hukum adat menjamin legalitas formal berbangsa dan bernegara hingga saat ini.
Pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) wajib hukumnya menetapkan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA) sebagaimana ditegaskan pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebab, Eksistensi masyarakat hukum adat (MHA) beserta hak-hak keperdataannya ditetapkan berdasarkan peraturan daerah (Perda).
Peraturan daerah (Perda) diusulkan eksekutif atau hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, kabupaten/kota sesuai prosedur penerbitan peraturan daerah (Perda). Sehingga belum terbitnya peraturan daerah (Perda) merupakan kelalaian dan/atau pengabaian serta pembangkangan kolektif pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) terhadap konstitusi secara telanjang, terang-benderang.
Berbagai regulasi dasar penerbitan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA) sebagaimana telah diuraikan diatas serta peraturan perundang-undangan lainnya anatara lain; Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015, Nomor 88 Tahun 2017, Nomor 86 tahun 2018 terkait dengan Reforma Agraria, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 32/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Hutan Hak, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21/MENLHK-SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Hukum Adat dan Hutan Hak pada tanggal 29 April 2019, SK. 347/MENLHK/PSKL/PKTHA/KUM. 1/5/2019 tentang Perpanjangan Kelompok Kerja Percepatan Penetapan Hutan Adat, dan lain-lain.
Bila pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota), termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kertekad kuat memberi kepastian hukum terhadap Eksistensi serta Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan tidak mengabaikan perintah konstitusi maka tak ada alasan tidak menerbitkan dan menetapkan peraturan daerah (Perda) di daerah masing-masing.
Apakah Pemerintah Daerah Mengabaikan Legalitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) ?
Apakah Pemerintah Daerah Melakukan Pembangkangan terhadap Konstitusi ?
Bangga kah menyebut diri Masyarakat Hukum Adat (MHA) tanpa Pengakuan, Pengukuhan, Pemastian Perlindungan Hak Keperdataannya ?
Apakah benar Negara telah melaksanakan kewajibannya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…dst dengan membiarkan Masyarakat Hukum Adat (MHA) tanpa kepastian hukum di negeri ini ? 
Inilah jeritan hati nurani serta penderitaan klasik Masyarakat Hukum Adat (MHA) perlu segera disikapi Pemerintahan Joko Widodo-KH. Ma’ruf Amin periode 2019-2024 agar tercatat tinta emas pemimpin pro rakyat mewujudkan “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Medan, 9 Juli 2019
Salam NKRI…….!!! MERDEKA…….!!!