rangkuman ide yang tercecer

Minggu, 08 Maret 2015

Mangalusi Soara Na Jou-jou Sian Tano Tipang



Mangalusi Soara Na Jou-jou
Sian Tano Tipang
Bona Pasogit
Borsak Bimbinan Hutasoit
“Pature Bona Pasogit Mi”

Pendahuluan.
            Sesungguhnya, Pomparan Borsak Bimbinan Hutasoit dimana pun berada amat sangat merindukan Bona Pasogit Tano Tipang, bahkan setelah mengetahui, bahwa Bona Pasogit Borsak Bimbinan Hutasoit adalah Tano Tipang telah banyak yang datang maupun berkeinginan kuat untuk menginjakkan kaki ke Tano Tipang, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Tidaklah terlalu disalahkan jika banyak generasi (pomparan) Borsak Bimbinan Hutasoit selama ini belum mengetahui secara pasti Bona Pasogitnya, terutama generasi-generasi yang lahir di perantauan (diaspora).
            Generasi (pomparan) Borsak Bimbinan Hutasoit yang saat ini sudah generasi 20-an (sundut 20) dan berasal dari berbagai daerah yang kemungkinan besar belum memperoleh penjelasan utuh dari para orang tuanya tentang Bona Pasogit Borsak Bimbinan Hutasoit adalah Tano Tipang kemungkinan besar bertanya-tanya dimana sebenarnya Bona Pasogit Borsak Bimbinan Hutasoit. Sebab, dari berbagai diskusi dan perbincangan hingga kini masih banyak belum mengetahui dimana letak Tano Tipang Bona Pasogit Borsak Bimbinan Hutasoit.
            Mars Borsak Bimbinan yang digubah Bapak Gr. T. Richard Hutasoit (Op. Sabar Doli) dengan judul “BORSAK BIMBINAN MARS” yang kerap dinyanyikan ketika pesta adat Pomparan Borsak Bimbinan di Kota Medan Sekitarnya maupun di daerah-daerah lain sungguh menyentuh hati sanubari generasi Borsak Bimbinan Hutasoit, apalagi jika dihayati sungguh-sungguh ajakan syair Mars tersebut.
            Untuk mengingatkan kembali serta mengetuk hati sanubari, membuka pikiran seluruh POMPARAN BORSAK BIMBINAN HUTASOIT untuk menghayati  sungguh-sungguh dalamnya pesan (tona) “BORSAK BIMBINAN MARS” yaitu:
1.    Hutasoit Hutasoit Borsak Bimbinan i, anak ni Toga Sihombing, ima siampudan i. Tano Tipang parserahan ni sude pinompar mi. Rodi desa naualu na torop pinompar mi. Sahat ma, sahat ma, sai manumpak ma Tuhanta sahat ma pinompar mi.
2.    Hutasoit nang Sigumpar, Siborong-borong i, nang di Butar Huta Julu tung torop pinompar mi. Nang luat pangarantoan di luat na dao i. Di Sumatera di Jawa sahat tu Irian i. Gabe ma, gabe ma, sai manumpak ma Tuhanta, gabe ma pinompar mi.
3.    Pinompar ni Hutasoit naung parjabatan i, songoni nang pengusaha angka naung mamora i. Sotung lupa ho manogu angka na umposo i. Asa sai marudut-udut angka parjabatan i. Togu ma, togu ma, Sotung lupa ho manogu Boru, Haha Anggimi.
Pesan “BORSAK BIMBINAN MARS” ini sungguh amat dalam, sebab Mars ini  menggambarkan “Napak Tilas” daerah domisili (parserahan) Pomparan Borsak Bimbinan Hutasoit hingga penjuru dunia. Selanjutnya, mengajak dan  menghimbau supaya seluruh generasi Borsak Bimbinan Hutasoit saling dukung-mendukung, topang-menopang, bahu-membahu untuk menggapai kemajuan di dalam segala segmen kehidupan berbangsa maupun bernegara.
“BORSAK BIMBINAN MARS” telah memotret cermat dan cerdas berbagai kemajuan yang telah dicapai generasi Borsak Bimbinan Hutasoit seperti rohaniawan (Eporus, Pendeta, Sintua dan lain-lain), pejabat eksekutif (menteri, petinggi perbankan dan keuangan), pejabat legislatif  (DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), pejabat di yudikatif (hakim, jaksa, polri dan TNI) petinggi Partai Politik, Intelektual dan Akdemisi, Pengusaha, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda dan lain sebagainya mengangkat harkat dan martabat Borsak Bimbinan Hutasoit ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Berbagai capaian prestasi, prestise keturunan Borsak Bimbinan Hutasoit hendaknya dijadikan modal awal memperkuat, mempererat “Tali Persaudaraan” membangun persatuan-kesatuan POMPARAN BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dimana pun berada, termasuk mendorong terwujudnya “PEDULI BONA PASOGIT” untuk menjawab “SOARA NA JOU-JOU SIAN TANO TIPANG BONA PASOGIT BORSAK BIMBINAN HUTASOIT” sebagaimana dikumandangkan 10 September 2013 lalu.
Harus diakui bahwa capaian prestasi dan prestise keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT masih upaya dan kerja keras individu belum atas dukungan, sokongan persatuan dan kesatuan keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT sebagaimana yang telah dilakukan marga-marga lain. Karena itu, sudah waktunya mempertajam visi-misi setiap persatuan (punguan) BORSAK BIMBINAN HUTASOIT, BORU, BERE untuk menjabarkan langkah-langkah konkrit meraih sukses kolektif sesuai pesan (tona) nenek moyang yakni; sisada anak sisada boru, sisada las ni roha sisada arsak ni roha, sisada lulu di anak sisada lulu di boru, tolong menolong, bahu membahu, topang menopang dalam meraih sukses ditengah-tengah kehidupan bermasyarat, berbangsa maupun bernegara.  
Untuk itulah langkah awal (starting point)  membangun dan memperkuat visi-misi kolektif Keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT melalui sosialisasi PEDULI TANO TIPANG BONA PASOGIT BORSAK BIMBINAN HUTASOIT  ke seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dimana pun berada, termasuk seluruh tano parserahan (diaspora)  merupakan syarat mutlak agar Tano Tipang yang merupakan asal usul (bona pasogit) BORSAK BIMBINAN HUTASOIT diketahui, didukung seluruh generasi dimanapun berada.
Punguan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT, BORU, BERE dimana pun berada perlu membicarakan dan memusyarahkan langkah-langkah konkrit untuk menjawab SOARA NA JOU-JOU SIAN TANO TIPANG BONA PASOGIT BORSAK BIMBINAN HUTASOIT “PATURE BONA PASOGIT MI” sebagai simbol hasadaon, martabat dan harga diri seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT sepanjang masa.
Membicarakan, memugar dan/atau membangun situs sejarah Bona Pasogit BORSAK BIMBINAN HUTASOIT tentu saja haruslah melibatkan seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dimanapun berada sebagaimana pesan (tona) nenek moyang mengatakan “Ndang boi ripe-ripe gabe pangumpolan, ndang boi pangumpolan jadi ripe-ripe”. Oleh karena itu, diperlukan musyawarah mufakat seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT untuk menentukan langkah-langkah berikutnya.
Membentuk Panitia (Tim) Penggagas/Pemrakarsa.
            Sebagai perhelatan akbar (Ulaon godang) yang meliputi puluhan generasi tentu haruslah melibatkan seluruh rumpun ompu yang merupakan representasi (mewakili) tiap-tiap ompu keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT. Hal itu bertujuan agar seluruh keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT terlibat secara keseluruhan.
            Panitia atau Tim Penggagas/Pemrakarsa bertugas untuk mempersiapkan agenda-agenda kerja (program) yang akan dibicarakan, dimusyawarakan dan disefakati pada suatu rapat kerja yang dihadiri perwakilan seluruh daerah, baik di bona pasogit maupun daerah perantauan (tano parserahan) dimanapun berada.
            Rapat kerja selanjutnya memusyawarahkan dan memufakati agenda-agenda yang telah dipersiapkan Panitia atau Tim Penggagas/Pemrakarsa untuk disosialisasikan di tiap-tiap daerah masing-masing. Dengan demikian, tiap-tiap daerah terlibat dan berpartisipasi aktif untuk menyukseskan agenda-agenda yang telah disefakati tersebut.
            Oleh sebab itu, langkah awal paling fundamental yang harus dilakukan bukanlah berfokus pada pembangunan situs sejarah warisan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT melainkan kesefakatan bersama (hasadaon ni roha) untuk membentuk visi-misi bersama seluruh keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT memperkuat persatuan dan kesatuan ke depan. Membangun situs-situs sejarah secara fisik adalah wujud nyata terbangunnya HASADAON seluruh keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT.
            Sebab, bila seluruh keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT telah memiliki visi-misi bersama membangun BONA PASOGIT asal-usul sejarah bukanlah hal sukar dan sulit untuk dikerjakan. Melibatkan seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT di bona pasogit dan perantuan (tano parserahan) adalah hal paling dasar dan fundamental hingga terjalin ikatan batin diikat tali darah (na niihot ni mudar) semakin melekat dan terpatri di dalam hati sanubari untuk mewujudkan ajakan, seruan MARS BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dalam wujud nyata di masa akan datang.
            Inilah salah satu inti sari pertemuan hari Sabtu, 27 Pebruari 2014 di Tano Tipang yang dihadiri rombongan dari Kota Medan Sekitarnya, Kota Pematang Siantar, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan yang saat itu dihadiri langsung Ketua DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Manaek Hutasoit beserta istri.
            Dalam pertemuan itu juga Manaek Hutasoit diamanahkan untuk mempersiapkan pembentukan dan memfasilitasi pertemuan (rapat) di Kabupaten Humbang Hasundutan melibatkan daerah-daerah perantuan dalam waktu dekat.
            Kesediaan Manaek Hutasoit mempersiapkan pertemuan (rapat) di sela-sela kesibukannya selaku Ketua DPRD Humbang Hasundutan demi persatuan dan kesatuan Pomparan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT sudah selayaknya menggugah hati sanubari seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT untuk berpartisipasi aktif menyukseskan agenda besar HASADAON NI ROHA untuk memperkuat dan mempererat persatuan dan kesatuan Pomparan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT ke depan.
            Kita patut bersyukur seruan SOARA NA JOU-JOU SIAN TANO TIPANG BONA PASOGIT BORSAK BIMBINAN HUTASOIT ”PATURE HUTAMI” telah sampai ke seluruh penjuru dunia serta mendapat respon positif dari generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dimanapun berada dan akan terjawab secara nyata melalui rencana aksi (action plan) pertemuan-pertemuan terencana, terprogram, terpadu dan terkoordinasi antara bona pasogit dan perantauan.
            Akhirnya, songon umpasa ni sijolo-jolo tubu na mandok; “Tampulan ni sibaganding di dolok ni pangiringan, Horas ma Pomparan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT tongtong ma hita marsipairing-iringan”.
“Mual ni Borsak Bimbinan pasombu uas ni natorop, Horas gabe ma pomparan sahata satahi jala satolop”.
“Balittang ma pagabe tumundalhon sitadoan, Horas ma luhut Pomparan ni Borsak Bimbinan, tongtong ma hita masipaolooloan”.     
            Horas ! Horas ! Horas !
                                                                                                            Medan, 3 Maret 2015

                                                                                                            Thomson Hutasoit.
(Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit Kota Medan Sekitarnya).   
             
               
             
  

     

Kedudukan Hak Waris Batak Toba



Kedudukan Hak Waris Batak Toba
Oleh: Thomson Hutasoit

Pendahuluan.
            Batak adalah bangso (suku-red) yang menganut sistem keturunan atau kekerabatan garis bapa (patrilineal) sehingga meletakkan hak waris penuh pada anak laki-laki. Salah satu hak waris paling dasar bagi suku Batak, khususnya Suku Batak Toba adalah garis silsilah (Tarombo) yang diwariskan turun-temurun pada anak laki-laki. Sementara anak perempuan (boru-red) tak pernah dijadikan penerus garis silsilah (tarombo) sebab anak perempuan (boru) akan mewarisi garis silsilah (tarombo) suaminya pasca perkawinan.  
            Warisan paling dasar dan fundamental bagi Batak Toba adalah mewarisi garis silsilah, bukan harta kebendaan sebagaimana sering dipersengketakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan atas harta peninggalan orang tua.
            Jika diperhatikan cermat dan seksama, bahwa penyelesaian sengketa warisan peninggalan orang tua antara anak laki-laki (baoa-red) dengan anak perempuan (boru-red) pasca Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 tanggal 1 November 1961 yang memutuskan Kedudukan Laki-laki dan Perempuan Batak sama dalam Warisan, Yurisprudensi MA itu sepertinya tidak secara utuh bisa dijadikan memberi kedudukan sama antara laki-laki dengan perempuan terlebih pada warisan dasar silsilah (tarombo) hingga saat ini.
            Penulisan silsilah (tarombo) pada Batak Toba sebagai simbol keturunan (sundut-red) selalu didasarkan pada anak laki-laki yang mewarisi marga bapaknya bukan marga ibu seperti yang diwarisi sistem garis keturunan matrilineal. Padahal, garis silsilah (tarombo) inilah warisan paling dasar bagi Batak Toba sepanjang masa, bukan pemilikan harta benda dari orang tua yang telah meninggal.
            Karena itu, Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 belum secara penuh dan bulat menyelesaikan sengketa waris pada Batak Toba, apalagi pasca penyelesaian sengketa warisan melalui peradilan negara akan berimplikasi terputusnya hubungan persaudaraan (Hula-hula dan Boru-red) yang sangat kontradiksi dengan falsafah Dalihan Na Tolu (DNT); somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru.
            Pengadilan Negara yang mengadili sengketa Harta Warisan sejatinya hanyalah terbatas pada harta benda fisik an sich, sementara warisan non fisik seperti silsilah (tarombo) tidak pernah tersentuh Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang merupakan hak waris fundamental tradisional berdasarkan kultur budaya Batak Toba. Sehingga pilihan penyelesaian sengketa warisan Batak Toba perlu dipertimbangkan matang, seksama dan hati-hati sebab bisa menimbulkan terputusnya hubungan kekerabatan (marhula-hula marboru-red) pasca putusan pengadilan.
Hak Waris Mutlak Absolut.
            Bangso (Suku-red) Batak yang menganut sistem keturunan patrilineal (laki-laki) meletakkan garis keturunan mutlak absolut pada laki-laki. Garis keturunan itu pada Batak dikenal garis Silsilah (Tarombo) yang diwariskan turun-temurun sejak dari nenek moyang Batak.
            Pada Batak, khususnya Batak Toba tidak pernah dituliskan anak perempuan (boru) di garis Silsilah atau Tarombo hingga saat ini. Garis Silsilah atau Tarombo selalu diletakkan pada anak laki-laki. Senadainya pun ditemukan nama anak perempuan (boru) tertulis di dalam Tarombo, hal itu hanyalah nama melekat pada bapaknya atau ompungnya saja. Bukan berarti, bahwa si anak perempuan (boru) itu melanjutkan garis silsilah atau tarombo kerabatnya. Karena itu, di daerah Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan masih bisa ditemukan prosesi adat “Ganti Nama” dari anak perempuan (boru) kepada itonya (laki-laki) untuk dilekatkan menjadi sebutan “pahompu panggoran” bagi ompungnya. Tetapi di daerah-daerah lain prosesi adat seperti itu bisa saja tidak dilembagakan lagi pada masa-masa belakangan ini. Walau demikian, penerus silsilah atau tarombo tetap hak waris mutlak absolut anak laki-laki.
            Hak waris mutlak absolut (Silsilah atau Tarombo) adalah konsekwensi pilihan garis keturunan laki-laki yang dianut Bangso (Suku) Batak sejak dari leluhur.
            Harus pula diingat dan dipahami, bahwa sistem garis keturunan yang ada di atas jagat raya ini ada tiga macam, yakni; garis keturunan patrilineal (laki-laki), garis keturunan matrilineal (perempuan), dan garis keturunan parensial (laki-laki, perempuan) sehingga pemberian atau peletakan hak warisan mutlak absolut pada anak laki-laki pada Batak, khususnya Batak Toba adalah konsekuensi pilihan hukum garis keturunan patrilineal.
            Hak waris paling fundamental bagi Batak adalah garis Silsilah atau Tarombo secara turun-temurun, bukan hak waris kebendaan (harta benda) seperti kasus-kasus hukum yang sering diajukan ke meja pengadilan oleh generasi Batak Toba belakangan ini.
            Berbagai kasus tuntutan hak waris Batak Toba yang diselesaikan melalui pengadilan negara belakangan ini perlu dipikirkan mendalam dan mendetail melalui pengertian, pemahaman komprehensif paripurna hak waris sejati dalam sistem garis keturunan patrilineal yakni garis Silsilah atau Tarombo Batak Toba dari generasi ke generasi. Sebab garis keturunan bapak bagi Batak, khususnya Batak Toba telah menjadi tatanan baku dalam sistem kekerabatan (Partuturan) secara universal. Sementara perebutan harta warisan hanyalah bersifat kasuistik diantara bersaudara satu bapak (marhaha maranggi, mariboto na marsaama) dalam pembagian harta warisan peninggalan orang tua.
            Pengertian, pemahaman kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan berdasarkan kultur budaya Batak, khususnya Batak Toba yang menganut sistem garis keturunan patrilineal, anak laki-laki ialah penerus garis Silsilah atau Tarombo bapaknya merupakan ketentuan baku dalam penulisan garis Silsilah atau Tarombo terlembagakan sejak zaman nenek moyang hingga saat ini. Sedangkan anak perempuan (boru) yang akan kawin ke laki-laki lain akan mewarisi garis Silsilah atau Tarombo suaminya sehingga dikenal ungkapan Batak Toba “Boru patimbo parik ni halak”. Artinya, marga suaminyalah menjadi garis Silsilahnya pasca perkawinan, bukan lagi marga bapaknya. Dan disinilah titik episentrum mengapa bangso Batak, khususnya Batak Toba amat sangat bersedih apabila tidak mempunyai keturunan anak laki-laki (marurat) yang akan berkonsekuensi terputus penulisan garis Silsilah atau Tarombo di kerabat (marga) nya.
            Pandangan serta pemahaman bangso Batak, khususnya Batak Toba, bahwa manusia ciptaan Tuhan di atas bumi ini ada beberapa macam ditilik dari keturunan (parianakhonon) yakni; Na Gabe, Na Marurat, Na Marbulung, Na Purpur.
            Na Gabe ialah seseorang yang mempunyai keturunan anak laki-laki (lahi-lahi, baoa) dan anak perempuan (boru). Dan menurut pandangan serta pemahaman Batak orang seperti inilah yang paling diidam-idamkan dalam hidup bangso Batak. Penulisan garis Silsilah atau Tarombo terhadap orang ini berjalan secara berkesinambungan karena mempunyai keturunan anak laki-laki sebagai penerus garis Silsilah atau Tarombo.   
            Na Marurat ialah seseorang yang hanya mempunyai keturunan anak laki-laki sehingga selalu menginginkan (manarihon) kehadiran seorang anak perempuan (boru). Penulisan garis Silsilah atau Tarombo terhadap orang ini berjalan secara berkesinambungan karena mempunyai keturunan anak laki-laki sebagai penerus garis Silsilah atau Tarombo, walaupun tidak mempunyai anak perempuan (boru).
            Na Marbulung ialah seseorang yang hanya mempunyai keturunan anak perempuan (boru). Penulisan garis Silsilah atau Tarombo akan terhenti atau terputus, walaupun mempunyai anak perempuan (boru) karena penerus garis Silsilah atau Tarombo hanya terletak pada anak laki-laki.
            Na Purpur ialah seseorang yang tidak mempunyai keturunan anak laki-laki maupun anak perempuan (baoa manang boru). Penulisan garis Silsilah atau Tarombo akan terhenti atau terputus.
            Inilah klasifikasi umum dan terlembagakan dalam adat budaya Batak, khususnya Batak Toba yang merupakan warisan leluhur dan pada fakta empirik masih ditemukan dilaksanakan dan dijunjung tinggi sebagai landasan fundamental baku dalam penulisan garis Silsilah atau Tarombo hingga saat ini. Sebab bukti dan fakta dalam penulisan garis Silsilah atau Tarombo bangso Batak, khususnya Batak Toba hingga saat ini “TIDAK PERNAH” menuliskan anak perempuan (boru) dalam Silsilah atau Tarombo.      
            Pengertian, pemahaman kedudukan laki-laki (lahi-lahi, baoa) dan perempuan (boru) komprehensif paripurna dalam sistem kekerabatan Batak Toba akan meminimalisasi perkara pembagian harta warisan yang diajukan ke meja pengadilan di masa-masa mendatang.
            Oleh sebab itu, peletakan hak waris mutlak absolut yakni penerus garis Silsilah atau Tarombo pada anak laki-laki harus pula dipahami merupakan hak waris fundamental dan sejati bagi bangso Batak, khususnya Batak Toba sebagai konsekuensi pilihan sistem garis keturunan patrilineal, bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
            Untuk itu, perlu dilakukan kajian-kajian hukum tentang Hak Waris bangso Batak, khususnya Batak Toba secara komprehensif paripurna agar tidak tergesa-gesa menyimpulkan, bahwa perbedaan hak waris laki-laki dengan perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Hak Waris Limitatif.  
            Jika diperhatikan cermat dan seksama berbagai kasus-kasus sengketa Hak Warisan yang diajukan generasi-generasi Batak, khususnya Batak Toba ke pengadilan negara belakangan ini bisa dikatakan hanya sekitar sengketa Hak Warisan Harta Kebendaan yang dimiliki seseorang orang tua meninggal oleh para putera-puterinya (anak laki-laki dan anak perempuan-red) an sich. Kemudian, Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 tanggal 1 November 1961 yang memutuskan Kedudukan Laki-laki dan Perempuan Batak sama dalam Warisan juga tidak secara utuh dan terang-benderang meletakkan kedudukan sama antara laki-laki dengan perempuan di dalam hak warisan dasar sebagai penerus Silsilah  atau Tarombo.
 Hak Waris fundamental dan sejati bagi Batak, khususnya Batak Toba ialah  penerus garis Silsilah atau Tarombo, bukanlah hak waris harta kebendaan fisik sebagaimana sering dipersengketakan pada masa belakangan ini.
Jika putusan pengadilan negara mampu memberikan kedudukan sama (hak waris) antara laki-laki dengan perempuan dalam pembagian harta kebendaan orang tua meninggal, justru pasca putusan pengadilan negara timbul ekses negatif dalam struktur kekerabatan seperti terputusnya hubungan bersaudara (marhaha maranggi, mariboto-red) dikemudian hari. Padahal, falsafah Dalihan na Tolu yakni; Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu, Elek Marboru bagi orang Batak, khususnya Batak Toba tidak bisa terlepas sepanjang hayat.
Karena itu, putusan pengadilan negara ( Yurisprudensi Mahkamah Agung) tidak pernah mampu menyelesaikan sengketa hak warisan orang Batak, khususnya Batak Toba, kecuali hak warisan limitatif (hak waris harta kebendaan) semata. Pengadilan negara tidak berkewenangan memutuskan hak waris tradisional yaitu hak waris penerus garis Silsilah atau Tarombo berdasarkan garis keturunan patrilinial.
Oleh karena itu, patut dimengerti dan dipahami, bahwa Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 tanggal 1 November 1961 yang memutuskan Kedudukan Laki-laki dan Perempuan Batak sama dalam Warisan hanyalah bersifat limitatif yakni terbatas hanya pada hak waris harta kebendaan an sich.  Dan itu pulalah sebabnya hingga saat ini mayoritas orang Batak, khususnya Batak Toba masih memilih dan menggunakan hukum adat tradisional (kearifan leluhur) dalam pembagian harta warisan orang tua.
Hak waris limitatif bisa juga dianologikan dengan Undang-Undang No. 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dimana pada pasal 7 ayat (2) Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya Peraturan ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus (7 + ½) – waktu berlangsung hak gadai : 7 x uang gadai, dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen. Ayat (3) Ketentuan dalam ayat (2) pasal ini berlaku juga terhadap hak gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya Peraturan ini.
Menurut yurisprudensi tetap Mahkamah Agung ketentuan pasal 7 ini bersifat “memaksa”. (Putusan No. 420/K/Sip/1968 dan No. 810/K/Sip/1970). Kemudian Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. Sk. 10/Ka/1963 tentang Penegasan Berlakunya Pasal 7 Undang-Undang No. 56/1960 Bagi Gadai Tanaman Keras pada konsideran Menimbang: (a) bahwa untuk menghilangkan unsur-unsur yang bersifat pemerasan daripada gadai, Undang-Undang No. 56 Prp tahun 1960 (L.N. tahun 1960 No. 174) menentukan dalam pasal 7, bahwa tanah-tanah pertanian yang sudah digadai selama 7 tahun atau lebih harus dikembalikan kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar tebusan; (b) bahwa ketentuan tersebut sub a itu berdasarkan kenyataan, bahwa sebenarnya hasil tanah yang diterima oleh pemegang gadai tanah pertanian jauh melebihi bunga yang layak daripada uang yang diterima oleh yang empunya tanah; (c) bahwa kenyataan tersebut sub b berlaku juga bagi tanaman-tanaman keras, sebagai pohon kelapa, pohon buah-buahan dan sebagainya, yang digadaikan berikut atau tidak berikut tanahnya dan karena itu ketentuan tersebut sub a seharusnya berlaku juga bagi gadai tanaman keras.
Memutuskan: Pertama: Menegaskan, bahwa mengingat tujuan dan jiwa ketentuan gadai dalam pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp tahun 1960 (L.N. tahun 1960 No. 174), ketentuan tersebut berlaku juga bagi tanaman-tanaman keras yang digadaikan, berikut atau tidak berikut tanahnya; Kedua: Keputusan ini mulai berlaku pada hari ditetapkan dan mempunyai kekuatan surut hingga tanggal 1 Januari 1961.
Selanjutnya, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 Tahun 1963 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Gadai, pada pasal 4 ayat (1) Jika didalam menyelesaikan gadai yang diadakan sebelum tanggal 1 Januari 1961 terjadi sengketa antara fihak-fihak yang berkepentingan, maka (a) pada tingkat pertama penyelesaiannya supaya diusahakan secara musyawarah antara penggadai dan pemegang gadai, dengan disaksikan oleh Kepala Desa/Panitia Landreform Desa tempat letak tanah atau tanaman yang bersangkutan; (b) jika tidak dapat dicapai penyelesaiannya secara tersebut di atas, maka soalnya diajukan kepada Panitia Lendreform Daerah Tingkat II melalui Panitia Lendreforma Kecamatan, untuk mendapat keputusan, Panitia Landreform Kecamatan memberi pertimbangan kepada Panitia Lendreform Tingkat II; (c) jika salah satu atau kedua fihak tidak dapat menerima keputusan Panitia Landreform Tingkat II, maka fihak yang bersangkutan dipersilahkan untuk mengajukan soalnya kepada Pengadilan Negeri untuk mendapat keputusan.
Putusan Mahkamah Agung No. 2422/Sip/1981: Dengan membiarkan sawah/kebun sengketa tidak ditebus selama 40 tahun maka penggugat dianggap telah melepaskan haknya untuk menebus sawah/kebun tersebut. (lihat; Prof. Boedi Harsono SH, 1989).      
Yang menjadi pertanyaan, mengapa Undang-Undang ini tidak dijadikan orang Batak, khususnya Batak Toba untuk penyelesaian Hak Gadai secara maksimal ? tentu jawabannya, bila Undang-Undang ini dilakukan akan berpotensi menimbulkan gesekan dan keretakan kekerabatan pada Batak, khususnya Batak Toba yang notabene pemegang hak gadai adalah keluarga, kerabat ataupun sanak famili.  
Inilah potret hak-hak menurut hukum negara atau Undang-Undang tidak secara otomatis diterapkan pada masyarakat hukum adat seperti Batak, khususnya Batak Toba hingga saat ini. Jadi sekalipun menurut hukum negara diatur kesamaan hak waris laki-laki dan perempuan, tapi dalam implementasinya masih lebih cenderung menggunakan hak waris menurut Batak, khususnya Batak Toba yang merupakan tatanan berhukum sejak nenek moyang hingga saat ini.
Apakah tabu menyelesaikan sengketa hak waris (waris kebendaan-red) pada Batak, khususnya Batak Toba melalui Pengadilan Negara (Pengadilan Negeri) ? tentu jawabannya “tidak”. Tetapi harus diingat dan dicamkan, bahwa penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri akan berpotensi menimbulkan keretakan hubungan kekeluargaan atau kekerabatan sebagaimana makna hakiki falsafah Dalihan Na Tolu yang dihormati, dijunjung tinggi bangso Batak sepanjang masa.   
                                                                                                Medan, 16 Pebruari 2015
                                                                                                Thomson Hutasoit.
(Penulis: Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya, penulis buku).

Selasa, 10 Juni 2014

JASMERAH

JASMERAH
Oleh: Thomson Hutasoit

    Bung Karno mengatakan, “Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah/JAS MERAH”. Wejangan Sang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang juga Presiden pertama Repubilk Indonesia itu kadangkala tidak dipahami, dilupakan, diabaikan sebahagian orang di republik ini sehingga bukti, fakta sejarah perjalanan bangsa dari waktu ke waktu cenderung dimanipulasi demi kepentingan politik temporer.
    Padahal, bukti, fakta sejarah perjalanan bangsa dari masa ke masa adalah salah satu instrumen penting dan fundamental mengetahui, memahami, menganalisis, serta mengevaluasi berbagai kelemahan, kekeliruan, kesalahan yang telah terjadi di masa lalu untuk selanjutnya melakukan perbaikan-perbaikan atas segala kelemahan, kekeliruan, kesalahan yang pernah terjadi dalam berbangsa dan bernegara.
    Sejarah adalah saksi nyata di masa lalu yang didasarkan atas bukti-bukti, fakta-fakta sehingga sejarah adalah potret nyata masa lalu yang menggambarkan segala hal ikhwal rekam jejak (track record) pelaku-pelaku sejarah yang terlibat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan di masa lalu. Karena merupakan rekam jejak pelaku-pelaku penyelenggara negara atau pemerintahan maka penulisan sejarah haruslah obyektif tanpa manipulasi bukti-bukti, fakta-fakta agar sejarah tidak hanya sekadar kosmetik politik rezim penguasa yang sangat tidak berkorelasi linier dengan fakta empirik.
    Sejarah adalah laman-laman potret perikehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak boleh sekali-sekali dilupakan, diabaikan, apalagi dimanipulasi walau dengan alasan apapun. Sebab, apabila terjadi manipulasi bukti, fakta sejarah akan sama artinya mewariskan kebohongan, pembodohan, kepalsuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, amat sangat benar dan bagus apa yang dilakukan komunitas masyarakat yang menamakan diri “Gerakan Melawan Lupa” yang merupakan salah satu wujud nyata “Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah/JASMERAH” yang dikatakan Bung Karno.
    Sadar atau tidak rekam jejak (track record) seseorang pelaku sejarah di masa lalu hanya bisa diketahui, dipahami generasi-generasi berikutnya dari rekam-rekam jejak yang telah dilakukan di masa lalu, bukan apa yang akan dilakukan di masa mendatang, sehingga amat sangat keliru besar serta sesat pikir bila masa lalu seseorang tidak dijadikan salah satu indikator atau parameter karakter seseorang di masa depan. Meminjam istilah Stephen P Robbins PhD (2009), “Prediktor terbaik seseorang di masa depan ialah perilakunya di masa lalu”. Dan inilah sejatinya makna rekam jejak (track record) yang sering dilontarkan para orang-orang pintar di negeri ini.
    Salah satu hal yang sering terlupakan, terabaikan dalam memilih, mendaulat seorang pemimpin di masyarakat, bangsa maupun negara adalah melacak rekam jejak seseorang di masa lalu. Padahal, pelacakan rekam jejak seseorang di masa lalu sangat berperan besar menganalisis kecenderungan di masa depan. Selain daripada itu, rekam jejak seseorang juga akan menggambarkan karakter kepribadian seperti; apakah seseorang konsisten atau inkonsisten, jujur atau pembohong, berani atau penakut, keastria atau pengecut, tegas atau ragu-ragu, bertanggung jawab atau melarikan diri dari tanggung jawab, nasionalis atau kolaborator, kompradator, pro rakyat atau penindas rakyat, dan lain sebagainya.
    Bukti-bukti, fakta-fakta  perilaku seseorang di masa lalu seperti itulah yang amat sangat perlu dilacak komprehensif paripurna dari diri seorang calon pemimpin supaya tidak terjebak politik penciteraan, kosmetik politik para calon pemimpin sehingga terhindar dari rayuan gombal, rayuan maut, serta jual kecap yang selalu kualitas nomor satu.
    Kearifan lokal Batak, khususnya Batak-Toba untuk melacak rekam jejak (track record) seseorang ialah “tarida do gaja sian bogas ni patna, tarida do imbo sian soarana, tarida do hau sian parbuena, tarida do jolma sian pangalahona”. Artinya, gajah ketahuan dari jejak kakinya, mawas ketahuan dari soarannya, pohon ketahuan dari buahnya, manusia dicerminkan perilakunya.
    Oleh karena itu, tidaklah terlalu sulit untuk mengetahui karakter mental, moral, apakah seseorang layak dipercaya atau tidak mengemban amanah atau kepercayaan melalui membuka laman-laman rekam jejak (track record) seseorang di masa lalu. Karena amat sangat sulit diterima akal sehat para penindas rakyat di masa lalu memproklamerkan diri pembela rakyat, pelaku korupsi di masa lalu menyatakan diri garda terdepan memberantas korupsi, pelanggar hukum di masa lalu berteriak lantang menyatakan diri menegakkan hukum, mengutamakan kepentingan partisan di masa lalu menyatakan diri nasionalis, pelaku rezim pemerintahan diktator otoritarian di masa lalu berteriak lantang garda masyarakat madani, dan lain sebagainya.
    Perilaku tak terpuji serta paling memalukan ialah sikap dan sifat inkonsisten seperti peribahsa klasik “menelan muntah sendiri”. Sebaliknya, sikap dan sifat konsisten adalah kesatria sebab tangan mencincang bahu memikul. Dan kepribadian seperti itulah yang pantas dan layak diberi amanah atau kepercayaan kepemimpinan ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
    Jika dicermati seksama perilaku-perilaku yang menyatakan diri tokoh di negeri ini, terutama di masa proses suksesi kepemimpinan nasional, baik pemilihan legislatif (Pileg) maupun pemilihan presiden (Pilpres) 2014 perilaku-perilaku inkonsisten yang sangat memalukan dipertunjukkan terang-benderang, serta telanjang. Mungkin para tokoh-tokoh yang selama ini dianggap paling hebat dan paling lantang meyuarakan koreksi kekeliruan, kesalahan rezim pemerintahan masa lalu kini berubah haluan mendewa-dewakan penguasa yang pernah dilengserkan. Apakah ini penanda nyata bahwa selama ini mereka-mereka sejatinya bukanlah reformer sejati atau telah terjangkit penyakit “agnosia” masih perlu dielaborasi mendalam dan mendetail untuk mengungkap siapakah sebenarnya tokoh-tokoh sejati yang ingin memperbaiki negeri ini. Sebab, orang-orang yang menyatakan diri tokoh-tokoh reformasi telah menunjukkan sikap, sifat inkonsisten terhadap tujuan reformasi tahun 1998 lalu.
    Bahkan yang disebut-sebut tokoh reformasi tahun1998 lalu telah melakukan blunder politik dan memecah belah keutuhan bangsa melalui stemen politik tak bermutu semata-mata demi kepentingan partisan. Pemilihan presiden (Pilpres) adalah  kontestasi sesama anak bangsa untuk memilih putera/puteri terbaik memegang tampuk kepemimpinan nasional atau presiden/wakil presiden sehingga amat sangat keliru besar serta sesat pikir bila dijadikan “perang” sesama anak bangsa. Dan disinilah penanda nyata kekeliruan, kesalahan paling memalukan dari orang-orang yang menyatakan diri tokoh di republik ini, padahal dirinya sendiri tak pernah mengetahui, memahami paripurna berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
    Pemilihan presiden (Pilpres) 2014 adalah kontestasi, kompetisi sesama anak bangsa untuk memilih putera/puteri terbaik untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan nasional sehingga sangat keliru besar dan sesat pikir jika ada yang berpikir pemilihan presiden (Pilpres) sebagai “perang badar”. Bukankah stetmen politik seperti itu akan merobek, mengoyak keutuhan bangsa dan negara yang menjadi salah satu musuh laten keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, ke-Bhinnekaan atau Pluralisme di negeri ini.
    Oleh sebab itu, sangat disayangkan proses suksesi kepemimpinan nasional alamiah sekali lima tahun yang seyogiyanya pesta atau festival memilih presiden/wakil presiden dimaknai sebuah perang oleh orang-orang tak bertanggung jawab semata-mata dibutakan, ditulikan kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan merusak makna sejati pemilihan umum atau pesta rakyat memilih pemimpinnya. Siapapun yang berpikir dan bertindak merusak makna sejati pemilihan presiden (Pilpres) 2014 tidak pantas dan layak menyandang predikat tokoh masyarakat, bangsa maupun negara. Malah sebaliknya, lebih layak disebut perusak bangsa dan negara yang tidak pantas menyandang predikat ketokohan dalam bentuk apapun.
    Inilah bukti, fakta yang perlu dicatat dan dituliskan dalam sejarah perjalanan bangsa dan negara yang bisa dibuka dari generasi ke generasi sepanjang masa di republik ini. Pelaku-pelaku sejarah harus menyadari paripurna bahwa apa yang dilakukan di masa lalu, masa kini, merupakan laman-laman sejarah yang akan dibuka generasi akan datang, termasuk mereka-mereka yang belum lahir saat ini.
    Karena itulah, Bapak Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia Ir Soekarno atau Bung Karno menganjurkan dan mengingatkan kepada seluruh anak-anak bangsa “Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah atau JASMERAH” agar bangsa ini bukan bangsa pikun, agnosia, memori pendek, lupa diri, dan tak tahu sejarah perjalanan bangsanya dari waktu ke waktu.
    Mengingat sejarah bukan memelihara dan melestarikan dendam masa lalu, tetapi catatan perjalanan bangsa dan negara yang ditulis berdasarkan bukti dan fakta agar tidak terjadi pembohongan, pemutar balikan bukti, fakta sejarah terhadap generasi mendatang supaya tidak keliru memberi tanda-tanda jasa dan bintang kehormatan di masa akan datang. Karena amat sangat keliru besar memberi tanda jasa dan bintang kehormatan terhadap pengkhianat bangsa atau negara, award anti korupsi terhadap pelaku koruptor, dan lain sebagainya. Sementara putera/puteri terbaik anak bangsa yang telah menunjukkan perjuangannya demi bangsa dan negara tidak mendapat tanda jasa dan bintang kehormatan karena melupakan sejarah perjuangan mereka.
    Bangsa yang besar tak pernah lupa dari sejarahnya, dan rangkaian perjalanan sejarah merupakan elemen fundamental membangun semangat perjuangannya menuju cita-cita yang hendak dicapai.
    Jangan tulis sejarah melalui manipulasi, pembelokan, penyelundupan bukti, fakta agar tidak mewariskan kebohongan terhadap generasi-generasi berikutnya.  Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah atau JASMERAH agar tidak membohongi diri sendiri dengan orang lain. Sebab, sejarah adalah catatan obyektif, bukti dan fakta diam yang laman-lamannya bisa dipelajari, dianalisa, serta disimpulkan siapa pun untuk mengungkap perilaku masa lalu. (Penulis buku: Kepemimpinan Ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba).
Medan, 7 Juni 2014
 Thomson Hutasoit.