rangkuman ide yang tercecer

Senin, 25 April 2016

Potensi Korupsi APBD




Potensi Korupsi APBD
Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)
                                          
   

Otonomi Daerah memberi peluang kepada pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota   mengatur kewenangan seluas-luasnya untuk penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk percepatan pembangunan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pemberian kewenangan seluas-luasnya kepada daerah provinsi maupun kabupaten/ kota sebagaimana amanat Ketetapan MPR RI Nomor XV tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggung jawab sebagai koreksi terhadap pemerintahan sentralistik di masa lalu.
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, memungkinkan setiap daerah mampu mempercepat terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat daerah. Apalagi dibarengi dengan langkah-langkah konkrit, kreatif, inovatif, serta akomodatif  menggali seluruh potensi kekayaan daerah dan  kearifan lokal yang ada. 
Akan tetapi, dalam implementasi otonomi daerah justru yang terjadi ialah munculnya peluang-peluang korupsi dipraktekkan “raja-raja kecil” (baca : kepala daerah)  menggunakan kewenangan otonomnya secara bebas mengutak-atik Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memperkaya diri, kelompok, ataupun pihak lain yang ditengarai politik balas budi ataupun  kompensasi dukungan terhadap kepala daerah  berkuasa di saat Pilkada.
Politik akomodasi dan politik balas budi termasuk salah satu pendorong lahirnya peluang korupsi APBD, dimana kepala daerah ingin mengakomodir dan membalas budi para pendukung melalui pemberian kesempatan bagi-bagi proyek APBD.
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme  (KKN) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah hampir tak dapat dihindarkan karena hanya dengan jalan demikianlah dukungan dapat dipertahankan. Penempatan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), pemenang tender proyek, proyek penghunjukan langsung atau PL, serta penempatan pejabat di perusahaan daerah ataupun Badan Layanan Umum (BLU) adalah hal yang kasat mata sarat KKN.    
Banyaknya kepala daerah  didera kasus-kasus korupsi pada 10 tahun belakangan ini menunjukkan betapa kelirunya para kepala daerah memaknai pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber-sumber keuangan daerah yang dijabarkan didalam APBD.
Rodinelli (2001) mengatakan “Tanggung jawab keuangan sebenarnya berada ditengah konsep desentralisasi. Jika desentralisasi dimaksudkan untuk memampukan lembaga-lembaga lokal memberikan pelayanan publik dan infrastruktur  secara efektif, mereka harus memiliki kekuasaan untuk menaikkan sumber pendapatan dan kapasitasnya untuk meningkatkan sumber pendapatan yang lebih banyak dan yang harus dipertahankan” (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum, 2009).
Kewenangan kepala daerah untuk menggali seluruh potensi sumber daerah guna menaikkan Pendapatan Asli  Daerah (PAD)  tentu tidaklah diartikan “kelatahan” atau arogansi  mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) untuk membebani rakyat seperti terbitnya berbagai Perda retribusi mengakibatkan ekonomi biaya tinggi serta menghambat pertumbuhan investasi di daerah adalah suatu kekeliruan dan sesat pikir dalam memaknai otonomi daerah. Peraturan Daerah yang hanya bertujuan menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa dibarengi percepatan  peluang peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah salah satu bukti kekeliruan penerapan  penyelenggaraan otonomi daerah  saat ini. Padahal makna hakiki otonomi daerah sejatinya ialah memperpendek rentang kendali pemerintahan agar dekat kepada rakyat, bukan berarti pemerintah daerah dekat dan mudah untuk “mencekik” rakyatnya. Pemerintah daerah seharusnya berperan aktif seluas-luasnya mendorong percepatan akselerasi pembangunan melalui perpendekan rentang waktu, rentang jarak, serta terserapnya partisipasi rakyat di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
 Terbukanya  Peran serta masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 2, serta PP RI Nomor 68 tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara, pasal 2 dan pasal 3 merupakan salah satu syarat penting berjalannya otonomi daerah sesuai rel ketentuan perundang-undangan yang menjadi pedoman, serta syarat utama menyelenggarakan pemerintahan daerah di era otonomi daerah saat ini.     
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah alat akuntabilitas, menejemen, dan kebijakan ekonomi sebagaimana diamanatkan UU RI No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan PP RI No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Sejalan dengan upaya tersebut, anggaran harus diterapkan secara penuh berbasis kinerja di sektor publik. Perlu dilakukan perubahan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah dimaksudkan untuk memudahkaan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan gambaran yang obyektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah dokumen publik tentang rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan selanjutnya ditetapkan dengan peraturan daerah. Sebagai dokumen publik maka siapapun boleh mengetahui, memperoleh dan memiliki APBD agar pelaksanaannya transparan, partisipatif dan akuntabel.
Keterlibatan pertisipasi masyarakat dalam proses penyusunan, penetapan, pelaksanaan, serta pertanggungjawabannya harus dilakukan secara transparan. Pasal 3 ayat (1) UU RI Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara secara tegas dikatakan, “Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”. Kemudian pada pasal 4 ayat (1) PP RI Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dikatakan,”Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat”.
Dari konteks isi peraturan perundang-undangan  sebagaimana disebutkan diatas tidak ada alasan pemerintah daerah ataupun DPRD merahasiakan APBD kepada masyarakat karena APBD adalah dokumen publik. Bila ada  pemerintah daerah ataupun DPRD berupaya merahasiakan kepada publik berarti telah secara nyata-nyata melanggar perintah Undang-undang yang mewajibkan transparansi anggaran, dan tidak mustahil ketertutupan akses masyarakat terhadap APBD salah satu cara pemerintah daerah ataupun DPRD  untuk melanggengkan “Peluang Korupsi APBD” secara sistematis.
Ketertutupan pemerintah daerah terhadap akses masyarakat membuka peluang untuk melakukan pergeseran mata anggaran, mark up nilai proyek, proyek fiktif serta  pencincangan  pagu proyek menjadi proyek kecil (baca: dibawah Rp 50 juta) agar bisa dilaksanakan melalui Penghunjukan Langsung (PL) sekalipun tidak sesuai dengan kriteria Lampiran Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, seperti dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus. Proyek PL hampir dapat dipastikan merupakan ajang bagi-bagi kesempatan  kepada kroni-kroni serta sarat korupsi karena akses masyarakat untuk mengawasinya tidak ada sama sekali.  
Transparansi APBD.
 Penyusunan, penetapan, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus dilaksanakan secara transparan agar asas pemerintahan yang baik atau Good Governance tidak hanya sebatas retorika. Pasal 18 PP RI Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah secara tegas dan jelas  mengamanatkan, bahwa dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah cukup.
Penganggaran untuk setiap pengeluaran APBD harus didukung dengan dasar hukum yang melandasinya. Artinya, bahwa setiap penerimaan ataupun pengeluaran APBD harus memiliki landasan hukum, tanpa itu, maka diduga telah terjadi pelanggaran hukum.
APBD meliputi pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan). Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus), dan Lain-lain pendapatan daerah yang sah (hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, tuntutan ganti rugi, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah). Disisi lain, Belanja Daerah terdiri dari Belanja Langsung, Belanja Barang/Jasa, dan Belanja Modal. Pembiayaan Daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
Pada pasal 39 PP RI Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dikatakan, bahwa Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kinerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) dengan pendekatan prestasi kerja dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan dari kegiatan dan program termasuk efisiensi dalam pencapaian keluaran dan hasil tersebut.
Penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dimaksudkan dilakukan berdasarkan capaian kerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Sementara pada pasal 17 UU RI Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikatakan, bahwa dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Defisit anggaran dibatasi maksimal 3 % dari Produk Regional Bruto (PRB) daerah yang bersangkutan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimum 60 % dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan. Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antar generasi, sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
Transparansi penyusunan, penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBD memungkinkan terbukanya akses masyarakat seluas-luasnya untuk melakukan pengawasan jalannya pemerintahan daerah secara maksimal.
Dr. Faisal Akbar Nasution SH, M.Hum (2009 ) mengatakan, “Pembuatan peraturan daerah yang berkaitan dengan pungutan seperti pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (5) dan (6) serta pasal 24 ayat (5) dan ayat (6) UU Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas UU Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dikatakan, bahwa sebelum sebuah rancangan peraturan daerah yang berkenaan dengan pajak dan/atau retribusi daerah ditetapkan menjadi peraturan daerah, maka harus terlebih dahulu disosialisasikan  kepada masyarakat luas.
 Sosialisasi sebagai salah satu bentuk partisipasi politik adalah merupakan bagian dari pelaksanaan demokratisasi pemerintahan daerah yang didukung masyarakat daerahnya. Partisipasi demikian kemudian dikuatkan oleh UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU Nomor 32 tahun 2004 yang menyebutkan partisipasi masyarakat baik secara lisan maupun tertulis dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan, apakah dalam rangka penyiapan maupun pembahasan rancangan undang-undang dan atau rancangan peraturan daerah, merupakan keniscayaan bagi setiap pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam proses legislasi tersebut”.
Selanjutnya Ir. Drs. Bonar Simangunsong, MSc.SE dan Ir. Daulat Sinuraya,MM (2004) mengatakan,”Dalam sistem demokrasi Indonesia khususnya Demokrasi Pancasila pemerintah adalah pelayan masyarakat. Birokrasi itu sebagai pelayan masyarakat maka rakyat berperan dalam melahirkan berbagai kebijakan publik. Proses Kebijakan Publik harus menampung aspirasi rakyat yang terkait. Dalam negara demokrasi diperlukan kearifan untuk menentukan Kebijakan Publik, sebab harus dihindari pengkotakan-pengkotakan mayoritas maupun minoritas”.  
Sekalipun perundang-undangan sudah secara terang-benderang mengatur keterlibatan partisipasi masyarakat dalam penyiapan dan pembahasan sebuah Peraturan Daerah (Perda), tetapi masih banyak pemerintah daerah termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang alergi terhadap Peran Serta  Masyarakat dalam pembuatan Perda. Salah satu contoh, Pengusiran terhadap wartawan (ASPIRASI Nomor 277/2009) yang dilakukan anggota DPRD Deli Serdang pada saat pembahasan Kebijakan Umum Anggaran Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) tahun anggaran 2010 lalu adalah salah satu bukti kekeliruan dan ketidakmampuan memahami perintah undang-undang paling memalukan dari pejabat publik.
Sikap arogansi  anggota DPRD Deli Serdang ini mungkin saja mewakili sikap serupa dari pemerintah daerah atau DPRD kabupaten/kota yang “Buta Aksara” membaca kehendak  peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mereka masih  harus belajar banyak, bila perlu belajar di sekolah khusus misalnya “Sekolah Telat Mikir atau Telmi” agar bisa membedakan mana dokumen rahasia, dan  mana pula dokumen publik sesuai perintah undang-undang.   
Sungguh ironis, bila masih ada pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota termasuk DPRD tidak membuka partisipasi masyarakat seluas-luasnya didalam pembuatan Peraturan Daerah (Perda).
Partisipasi masyarakat didalam pembuatan Perda sangat urgen karena masyarakat lah subyek sekaligus obyek Perda tersebut. Pejabat publik yang alergi partisipasi masyarakat justru patut dicurigai, bahwa mereka sedang melakukan “persubahatan ataupun persekongkolan jahat”, konspirasi jahatnya harus ditutup rapat-rapat dari kontrol sosial masyarakat.
Ketertutupan terhadap kontrol publik membuka peluang korupsi terhadap APBD ataupun Kebijakan Publik secara nyaman. Masyarakat dapat memperkarakan pejabat publik yang alergi  terhadap transparansi sebagaimana diatur didalam UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,  UU RI Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU RI Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, PP RI Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, PP RI Nomor 68 tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara, PP RI Nomor 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU RI No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta undang-undang lainnya.   
Penyelenggara pemerintahan memiliki tanggung jawab sebagaimana dikatakan Herbert J. Spiro, Responsibility in Government: Theory and Prctice, 1969, ”Setiap penyelenggara pemerintahan (pemerintah) harus menyadari betul dirinya sebagai manusia yang bertanggung jawab, baik kepada dirinya sendiri (tanggung jawab pribadi), maupun kepada masyarakat (tanggung jawab sosial), dan kepada negara (tanggung jawab kelembagaan), dan yang paling utama kepada Tuhan (tanggung jawab moral) atas segala perilaku dalam pelayanan masyarakat sebagai aparatur pemerintah” (H. Achmad Batinggi & Muhammad Tamar, 2008).
Perbuatan pemerintah yang tidak patut harus dihindarkan seperti penyalahgunaan kekuasaan karena  melanggar etika pemerintahan yang baik. Penyimpangan, pengalihan, pemindahan, penyalahgunaan, serta pemutaran wewenang atau kekuasaan adalah sesuatu tindakan dan perbuatan yang salah serta melanggar hukum  sebagaimana isi sumpah jabatan seorang pejabat publik. Banyak pejabat penyelenggara negara melakukan perbuatan tidak etis dengan berbagai alasan, termasuk akibat keserakahan pejabat publik yang bersangkutan. Mereka lupa, bahwa mereka telah melanggar UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Menurut Nigro dan Nigro (dalam Joko Widodo, 2001) terdapat 8 bentuk penyimpangan/perbuatan tidak etis yang sering dilakukan oleh para penyelenggara negara antara lain; 1), Ketidakjujuran (Dishonesty), 2), Perilaku yang Buruk (Unethical Behaviour), 3), Mengabaikan Hukum (Disregard of The Law), 4), Favoritisme dalam Menafsirkan Hukum, 5), Perlakuan yang Tidak Adil terhadap Pegawai, 6), Inefisiensi Bruto (Gross Inefficiency), 7), Menutup Kesalahan, dan 8), Gagal menunjukkan Inisiatif.
Pola pemerintahan sentralistik yang mengabaikan partisipasi masyarakat harus segera ditinggalkan karena kurang peka terhadap perkembangan ekonomi, sosial, dan politik masyarakat. Seiring dengan menguatnya issu Good Government tahun 1990-an maka tuntutan masyarakat menghendaki antara lain; 1), penyelenggaraan kepemerintahan yang menjamin kepastian hukum, keterbukaan, profesional dan akuntabel, 2), kepemerintahan yang menghormati hak-hak asasi manusia dan pelaksanaan demoktrasi, 3), kepemerintahan yang dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat, dan mengutamakan pelayanan prima kepada masyarakat tanpa diskriminasi, serta 4), kepemerintahan yang mengakomodasi kontrol sosial masyarakat (Djohermasyah Djohan & Milwan, 2008). Jadi sungguh sangat keliru bila pemerintah daerah selalu mendengung-dengungkan Good Governance tetapi super alergi terhadap transparansi dan kontrol sosial masyarakat.
Bentuk-bentuk Potensi Korupsi APBD.
Tata cara pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur didalam Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pelaksanaan APBD diatur antara lain pasal 54 sampai 79. Pasal 54 ayat (1) mengatakan, bahwa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja daerah untuk tujuan yang tidak tersedia anggarannya, dan/atau yang tidak cukup tersedia anggarannya dalam APBD. Ayat (2), Pelaksanaan belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus didasarkan pada prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Namun dalam prakteknya pemerintah daerah masih sering melakukan pengalihan anggaran sekalipun tidak tertampung sebelumnya didalam mata anggaran. Pengalihan mata anggaran tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPRD adalah tindakan menlanggar hukum karena telah mengangkangi hak budgeting DPRD sebagaimana diamanatkan  pasal 18 UU RI Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan PP RI Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 45. Selain daripada itu, masih sering ditemukan anggaran fiktif yaitu pengeluaran APBD untuk kegiatan yang tidak pernah ada wujud nyatanya. Penggelembungan (mark up) proyek yaitu penetapan pagu proyek yang tidak didasarkan dengan standar satuan harga sebagimana diatur pada pasal 41 ayat (3) PP RI Nomor 58 tahun 2005. Pemecahan pagu proyek menjadi proyek kecil-kecil  dibawah Rp 50 juta agar dapat dijadikan proyek Penghunjukan Langsung (PL) walaupun tidak sesuai dengan kriteria yang diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.  
Pada Lampiran Keppres RI Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Bab I huruf A point 3 Penggunaan barang/jasa dilarang: a), memecah pengadaan barang/jasa menjadi beberapa paket dengan maksud untuk menghindari pelelangan;  b), menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di daerah masing-masing;  c), menyatukan/menggabung beberapa paket pekerjaan yang menurut sifat pekerjaan dan besaran nilainya seharusnya dilakukan oleh usaha kecil menjadi satu paket pekerjaan untuk dilaksanakan oleh perusahaan/ koperasi menengah atau besar; dan d), menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif. Selanjutnya pada huruf C point 4 Penghunjukan Langsung (PL) dapat dilaksanakan dalam hal memenuhi kriteria sebagai berikut: a), Keadaan tertentu, yaitu: 1), penanganan darurat untuk pertahanan negara, keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaannya tidak dapat ditunda, atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam, dan/atau, 2), pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan oleh Presiden, dan/atau; 3), pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai maksimum Rp 50 juta dengan ketentuan: a), untuk keperluan sendiri; dan/atau, b), teknologi sederhana; dan/atau, c), resiko kecil; dan/atau, d), dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa usaha perseorangan dan/atau badan usaha kecil termasuk koperasi kecil. Huruf b), Pengadaan barang/jasa khusus yaitu : 1), pekerjaan berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah; atau, 2), pekerjaan/barang spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten; atau, 3), merupakan hasil produksi usaha kecil atau koperasi kecil atau pengrajin industri kecil yang telah mempunyai pasar dan harga yang relatif stabil; atau, 4), pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan atau hanya satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya.
Maraknya proyek-proyek Penghunjukan Langsung (PL) yang biasanya ditampung pada mata anggaran Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) mengindifikasikan terjadinya “Peluang Korupsi APBD”.
Alasan klasik ketiadaan waktu bila melakukan Tender  Lelang Umum perlu dicermati dan disiasati merupakan alibi tanpa payung hukum dan melanggar Keppres Nomor 80 tahun 2003 secara sistematis. Hal paling aneh adalah rendahnya realisasi APBD induk (baca : APBD) dibandingkan realisasi P-APBD adalah sebuah ironi. Mengapa APBD yang memiliki waktu pelaksanaan cukup panjang (9 bulan) tingkat  realisasinya rendah. Tetapi P-APBD yang justru  waktunya hanya 3 (tiga) bulan dapat terealisasi hingga 100 persen, mengindikasikan terjadi peluang korupsi karena proyek PL lebih cenderung sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Salah satu contoh, proyek perbaikan drainase atau perbaikan parit kota Medan sebesar Rp 59 Milyar lebih yang ditampung dalam mata anggaran P-APBD kota Medan tahun anggaran 2009 hanya dilaksanakan dengan “Penghunjukan Langsung” atau PL. Apakah pelaksanaan proyek ini memenuhi kriteria Penghunjukan Langsung atau PL sebagimana diamanatkan Keppres RI Nomor 80 tahun 2003 ?. Menjadi pertanyaan yang sangat serius. Dan bila tidak sesuai dengan ketentuan Keppres maka sebaik apapun, dan sepenting apapun perbaikan drainase atau perbaikan parit di kota Medan tentu terindikasi melanggar hukum dan sarat  terjadi peluang korupsi APBD, dan perlu didalami penegak hukum seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kejaksaan Tinggi, ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kemudian pada pasal 66 ayat (1) PP RI Nomor 58 tahun 2005 dikatakan, bahwa
Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/ atau jasa diterima kecuali ditentukan lain peraturan perundang-undangan. Seluruh penjualan kekayaan milik daerah, semua penerimaan dan pengeluaran pembiayaan daerah harus dilakukan secara transparan serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pemeriksaan keuangan daerah yang dilakukan BPK sering mendapat penilaian “ Disclemer” karena pencatatan aset daerah yang tidak  tertib dan jelas. Misalnya, Temuan Panitia Khusus Asset DPRD Sumatera Utara (Juli 2009) ke berbagai Kabupaten/Kota banyak kejanggalan dan ketidakpastian status Asset.  
Pansus Asset dan Tim Taks Force, sepakat melakukan Pengelompokan Status Asset sebagai berikut : 1), Tanah yang tidak/belum mempunyai sertifikat 2.295 persil, 2), Gedung dan Bangunan tidak/belum memiliki bukti/catatan atas perolehannya 1.477 unit, 3), Tanah digunakan/dimanfaatkan oleh pihak ketiga tanpa izin 30 unit, 4), Gedung digunakan/dimanfaatkan pihak ketiga tanpa izin 30 unit, 5), Tanah dan Gedung diakui sebagai milik pihak ketiga 12 persil, 6), Tanah dan Gedung yang belum terdaftar sebagai Asset Daerah 16 persil dan 77 unit, 7), Asal usul Tanah/Gedung tidak jelas 1 persil dan 4 unit, 8), Izin pemberian pemanfaatan Tanah dan Gedung tidak tertib 110.207.18 Persil, 1.468,5 unit, 9), Gedung tidak dimanfaatkan dan kondisinya Rusak Berat 20 unit, 10), Dokumen Hibah atas Tanah dan Gedung Tidak Jelas 4 Persil dan 8 Unit, dan 11), Penilaian Harga atas Asset tidak Bergerak, tidak wajar dan terlalu rendah 31 Persil dan 60 Unit.
Temuan seperti ini tidak mustahil berpotensi menjadi ajang korupsi pejabat publik atas asset daerah Provinsi Sumatera Utara. Pada Saran   Panitia  Khusus Asset DPRDSU point 12 menyatakan, Agar Pemprovsu secepat mungkin mengusut dan menyelesaikan masalah Asset Tidak Bergerak milik Pemprovsu yang belum jelas, antara lain Tanah seluas 100 Ha eks PT. Pelabuhan Samudra di Belawan, Pengurangan Luas Asset Milik Dinas Kesehatan di Sicanang Kecamatan Medan Belawan yang dulunya 650 Ha dan sekarang tinggal 13 Ha, serta berbagai asset lainnya yang tersebar diberbagai Kabupaten/Kota.   
Pada pasal 35 ayat (2) UU RI Nomor 17 tahun 2003 dikatakan, bahwa Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Selanjutnya pada pasal 101 dan pasal 102 PP RI Nomor 58 tahun 2005 diatur tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD. Selengkapnya pasal 101 menyatakan, Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang  pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan pertanggungjawaban APBD dimaksudkan meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, laporan Arus Kas dan catatan atas laporan keuangan (pasal 100).
Berbagai peluang korupsi APBD sebenarnya bukan saja terjadi pada penggunaan belanja daerah, melainkan peluang korupsi lebih krusial di sektor pendapatan. Sektor pendapatan yang hanya didasarkan atas asumsi semata menjadikan potensi pendapatan sangat tak berkorelasi linier dengan realisasinya.
Menetapkan target realisasi pendapatan atas dasar asumsi belaka tanpa memperhitungkan potensi pendapatan secara akurat membuka peluang korupsi APBD yang dilahirkan kompromi politik antara pemerintah daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang tertuang pada Nota Kesepakatan tanpa mengelaborasi potensi pendapatan secara realistis. Seharusnya DPRD yang memiliki hak konstitusional hak legislasi, hak budgeting, hak pengawasan tidak serta merta menerima rancangan peraturan daerah (Ranperda) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diusulkan pemerintah daerah hanya berdasarkan asumsi semata. Tetapi menggali dan mendasarkan pendapatan daerah berdasarkan potensi pendapatan serta target realisasi melalui riset atau penelitian agar pendapatan daerah tak sekadar asumsi ataupun copy paste anggaran sebelumnya dengan angka kenaikan tak masuk akal.
Harus pula diingat, bahwa korupsi bisa terjadi “by desain” yaitu peluang korupsi yang direncanakan sejak awal dengan asumsi-asumsi rasionalisasi yang menurut Sigmun Freud merupakan siasat jahat dan berbahaya apalagi didukung kekuasaan seperti Nota Kesepakan antara Eksekutif dengan Legislatif melalui peraturan daerah (Perda) tentang APBD sehingga terluput dari jerat hukum.
Oleh sebab itu, peluang korupsi APBD terbesar sejatinya bukanlah pada anggaran belanja, melainkan pada anggaran pendapatan yang masih belum mendetail mengelaborasi potensi pendapatan, target, realisasi realistis, sebab pendapatan masih didasarkan pada asumsi belaka. Capaian target ataupun surplus target pendapatan pada SKPD tertentu belum menunjukkan keberhasilan optimal sebab tidak tertutup kemungkinan capaian target yang didasarkan pada asumsi adalah korupsi “by desain” karena asumsi pendapatan tersebut sangat jauh lebih rendah dari potensi pendapatan yang seharusnya. Inilah salah satu hal yang paling perlu didalami dan diawasi oleh penegak hukum seperti; Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar APBD provinsi, kabupaten/kota semakin berkualitas.   
 Penutup.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah dokumen publik sehingga masyarakat berhak untuk mengakses seluas-luasnya. Pemerintahan yang baik selalu menerapkan Good Governance yang ditandai dengan adanya transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Peluang-peluang korupsi APBD seperti pergeseran pos mata anggaran, mark up proyek, proyek fiktif, penjualan asset daerah secara melanggar hukum, pencincangan pagu proyek menjadi proyek kecil untuk menghindari lelang umum, serta penetapan target pendapatan yang hanya didasarkan pada asumsi bukan berdasarkan realitas lapangan membuka peluang korupsi APBD tersistematis karena terbatasnya akses masyarakat memberikan  second opinion melahirkan kebijakan publik masih setengah hati, bahkan tabu.
Salah satu upaya efektif meminimalisir peluang korupsi APBD adalah membuka Peran Serta Masyarakat melakukan kontrol sosial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh sebab itu, untuk mengukur dan mengevaluasi sejauhmana pelaksanaan APBD terhindar dari korupsi sangat berkorelasi dengan sejauhmana pemerintah daerah membuka akses masyarakat untuk mengetahui, mengawasi, dan mengevaluasi akurasi pelaksanaan  dan pertanggungjawaban APBD.
Sangat disayangkan, bila masih ada pemerintah daerah termasuk DPRD yang alergi terhadap arus transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dan sebagai pejabat publik harus menyadari diri, bahwa seluruh kebijakan yang diambil harus dipertanggungjawabkan kepada publik sebagaimana amanat undang-undang. Ingat ! Korupsi  akan tumbuh subur bila transparansi dibungkam. (25/04/2016).   
                                                                                     
                                                                        
                                                                               

Senin, 14 Maret 2016

Ahok, Daulat Rakyat vs Daulat Partai Politik



Ahok, Daulat Rakyat vs Daulat Partai Politik
Oleh: Thomson Hutasoit

          Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 sepertinya salah satu pemilihan gubernur terseksi di seantero nusantara hingga menyedot perhatian masyarakat luas, baik politisi maupun masyarakat awam di luar DKI Jakarta. Selain Ibukota DKI, Jakarta adalah  Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus pusat penyelenggaraan negara atau pemerintahan menjadikan pemilihan Gubernur DKI Jakarta paling menyedot perhatian di negeri ini. Hal itu pulalah menyebabkan proses suksesi gubernur DKI Jakarta 2017 walau masih satu tahun lagi telah menaikkan asmorfir suhu politik di luar nalar sebagaimana diberitakan media massa di negeri ini.
            Provinsi DKI Jakarta adalah satu dari 34 provinsi yang ada di wilayah Republik Indonesia, tetapi sebagai Ibukota Negara DKI Jakarta menjadi sangat istimewa dan strategis  kancah politik nasional maupun internasional. Sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta proses suksesi kepemimpinan di DKI Jakarta bisa dikatakan hampir sama levelnya dengan suksesi kepemimpinan nasional (pemilihan presiden) sehingga tokoh-tokoh berkaliber nasional tertarik mencalonkan diri menjadi calon gubernur DKI Jakarta dari waktu ke waktu. Demikian juga partai politik di tingkat nasional (dewan pimpinan pusat/DPP) partai politik harus mengkalkulasi cermat, cerdas dan matang siapa bakal calon yang akan diusung dan/atau didukung untuk menduduki kursi DKI 1 dengan berbagai taktik strategi masing-masing.  
            Sekalipun pemilihan gubernur DKI Jakarta masih setahun lagi, suhu politik di DKI Jakarta kini telah memanas, bahkan telah menimbulkan logika-logika aneh di luar logika konstitusi yang berlaku di republik ini. Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok maju mencalonkan diri dari jalur perseorangan atau independen dengan dukungan penggalangan KTP relawan “Teman Ahok” telah menyulut amarah partai politik tak karu-karuan hingga menuding Ahok melakukan “deparpolisasi” yang kemungkinan besar disebabkan faktor “ketakutan” terhadap sosok Ahok yang saat ini Gubernur DKI Jakarta melanjutkan kepemimpinan DKI Jakarta Joko Widodo/Basuki Tjahaja Purnama periode 2012-2017 setelah Joko Widodo atau Jokowi terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia ke tujuh tahun 2014 lalu.
            Sebagaimana telah diketahui publik, keterpilihan Joko Widodo (Jokowi)/Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 lalu sungguh sangat fenomenal, bahkan di luar nalar keperkasaan partai politik, dimana ketika itu pasangan Jokowi/Ahok hanya diusung/didukung minoriti partai politik, yakni; PDI-Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di putaran kedua berhasil meraup suara sebanyak 2.472.130 (53,82 persen), sementara pasangan Fauzi Bowo (Foke)/Nachrowi Ramli yang  notabene petahana (incumbent) serta diusung/didukung mayoriti partai, yakni; Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Hati Nurani Rakyat (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Matahari Bangsa (PMB) hanya mampu meraih suara sebanyak 2.120.815 (46,17 persen) sesuai keputusan KPUD DKI Jakarta tanggal 29 September 2012.  
Sosok Jokowi/Ahok yang datang dari daerah di luar Jakarta, yakni; Walikota Surakarta Solo dan Bupati Belitung Timur dengan rekam jejak kinerja (trackrecord) berhasil memimpin kota dan kabupaten sepertinya belum disadari paripurna oleh elite partai politik dalam mengusung/mendukung pasangan calon kepala daerah di seluruh Indonesia, termasuk DKI Jakarta pada pemilihan 2017 ini. Partai politik masih mengandalkan “keperkasaan dan arogansi” menentukan pasangan calon ketimbang rekam jejak kinerja pada level sebelumnya, dan disinilah bias nyata logika partai politik dengan logika rakyat pemilik hak suara dalam menentukan/memilih kepala daerah.   
            Sebagaimana artikel penulis pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 lalu dengan judul “Jokowi Mengukur Kedewasaan Kebangsaan Indonesia”di SKI ASPIRASI, Deteksinews @ yahoo.com, penulis mengatakan telah muncul kembali “Jolak Komitmen Watak Indonesia/Jokowi” yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika wujud nyata pluralisme, multikultural bangsa Indonesia, sepertinya terulang kembali pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 akan datang. Kedewasaan kebangsaan Indonesia tercermin dari sejauhmana bangsa ini memandang keindonesiaan secara bulat dan utuh diatas fondasi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tungga Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara nyata. Pemilihan pemimpin sejatinya ialah memilih putera/puteri terbaik bangsa berkarakter negarawaan dibuktikan rekam jejak kinerja (trackrecord) yang bisa diukur obyektif, transparan dan akuntabel. Hal-hal bersifat tendensius subyektifitas bernuansa sektarianis-primordial tidak boleh sekali-sekali ukuran layak-tidaknya memilih dan/atau menentukan calon pemimpin di berbagai level kepemimpinan di negeri ini.   
            Setelah mengamati berbagai pemberitaan di media massa tentang proses pemilihan Gubernur DKI Jakarta pasca pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maju melalui jalur perseorangan (independen) yang menimbulkan “kebakan jenggot” elite partai politik, penulis teringat kembali untuk menganalisis makna kata nama mantan Bupati Belitung Timur yang kini Gubernur DKI Jakarta melanjutkan periode Joko Widodo (Jokowi)/Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) periode 2012-2017. Setelah melakukan permenungan serta analisis mendalam, penulis menemukan makna kata AHOK ialah “Anatomi Hayati Otensitas Kepemimpinan” yakni; satu tipikal kepemimpinan berbasis kehendak rakyat (bangsa) Indonesia, bukan kehendak dan/atau  keinginan elite partai politik yang cenderung bias dan berseberangan kehendak rakyat.
            “Anatomi Hayati Otensitas Kepemimpinan atau AHOK” adalah unsur penghayatan sejati keberadaan (otensitas-red) kepemimpinan dilaraskan pada kehendak rakyat dan perintah konstitusi sungguh sangat berkorelasi linier dengan sumpah/janji jabatan yang kerap diingkari dan/atau diabaikan sebahagian besar pejabat publik di republik ini.
Selaku tandem Joko Widodo (Jokowi) pada pemilihan  Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 lalu, Ahok tentu sungguh sangat mengerti dan memahami Pidato perdana Presiden Joko Widodo atau Jokowi di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI 20 Oktober 2014  yang mengantakan, “Hanya tunduk kepada kehendak rakyat dan konstitusi”. Pernyataan ini seharusnya menjadi perhatian serius anak-anak bangsa, termasuk partai politik memilih dan menghadirkan pemimpin era baru di negeri ini.  Namun, tanda-tanda zaman itu nampaknya belum menjadi kesadaran baru sehingga kerap terjadi bias logika politik rakyat dengan logika partai politik dalam menentukan dan/atau memilih calon pemimpin.   
Oligarkhi elite partai politik berseberangan dengan keinginan rakyat menentukan calon pemimpin harus pula disadari mendalam dan mendetail telah melahirkan para pemimpin mengutamakan kepentingan partai politik dibandingkan kepentingan seluruh rakyat dalam menelorkan berbagai kebijakan publik hingga timbul gelombang unjuk rasa di berbagai daerah.
Kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) dikekang dan/atau didikte partai pengusung/ pendukung menjalankan kepemimpinan hingga tak mampu memosikan diri pemimpin publik yang mengayomi seluruh rakyat, tanpa kecuali. Dan hal itu pula tercermin dari rendahnya “mono loyalitas” kepala daerah terhadap pemimpin diatasnya yang notabene berasal dari partai politik berbeda. Padahal, selaku pemimpin publik seorang pemimpin seharusnya tidak boleh sekali-sekali membedakan rakyat yang dipimpin walau dengan alasan apapun.
            Jika partai politik selalu bernafsu mendikte/memaksakan kepentingan partai politik terhadap pemimpin publik maka telah terjadi “Koloni Partai Politik” dengan berbagai kompensasi politik, seperti; mahar politik, kapling jabatan, keberpihakan kebijakan, dan lain sebagainya yang menjadi beban politik bagi kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) kepada partai politik pengusung/pendukung, termasuk tim suksesnya.  
            Anatomi hayati otensitas kepemimpian (Ahok) yang ingin melepaskan ‘koloni partai politik” melalui pencalonan perseorangan (independen) sejatinya bukanlah “deparpolisasi” seperti dilontarkan elite-elite partai politik, sebab pencalonan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) melalui jalur perseorangan (independen) adalah legal menurut undang-undang yang berlaku di republik ini. Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memutuskan maju kandidat gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 para elite partai politik “menuduh/menuding” Ahok melakukan “deparpolisasi” ? Bukankah jalur perseorangan (independen) sah dan konstitusional, dan telah berlangsung pula diberbagai provinsi, kabupaten/kota di seluruh indonesia tidak dipersoalkan, kecuali pencalonan Ahok yang dimotori “Teman Ahok” menjadikan elite partai politik “kehilangan muka” dan merasa “dipermalukan” daulat rakyat non partai politik.
            Sungguh menarik tulisan M SUBHAN SD pada “kolom politik” dengan judul ‘Deparpolisasi’ di Harian Kompas (Sabtu, 12/03/2016), “Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mungkin dianggap “biang kerok” gara-gara memilih jalur perseorangan untuk ikut Pilkada DKI Jakarta 2017, ia dituding melakukan deparpolisasi. Padahal, Ahok bukan orang pertama yang memilih jalur perseorangan. Pada pilkada serentak tahun 2015, menurut data Skala Survei Indonesia ada 35 persen pasangan calon perseorangan. Sebanyak 14,4 persen mereka menang mengalahkan mesin partai politik. Ahok memang apes saja. Namun, ini menunjukkan Ahok ditakuti parpol”.
            Pada era pemilihan langsung, faktor “figur” jadi daya tarik tersendiri. Publik lebih memilih figur lingkaran luar ketimbang elite atau kelompok oligarkis di parpol. Figur Joko Widodo yang sekelas kader justru jadi produk laris manis. PDI-P menang Pemilu 2014, tetapi Jokowi yang jadi presiden. Faktor figur menggerus legitimasi parpol. Tanpa disadari oleh parpol, inilah pintu awal proses deparpolisasi.
            Dalam terminologi politik, parpol punya fungsi-fungsi penting; sarana komunikasi politik, sarana rekrutmen politik, sarana pengelola konflik (Miriam Budiardjo, 1994). Intinya, parpol mustahil ditiadakan dalam pengelolaan negara dan bangsa. Runyamnya, sebahagian parpol bercitra buruk. Banyak kader terjerat korupsi. Politik uang menjadi virus yang menjalari sekujur tubuh parpol-parpol. Survei populi Center, Januari 2015, menunjukkan cuma 12, 5 persen responden yang percaya parpol. DPR, tempat kerja parpol menjadi lembaga terkorup (39,7 persen) diatas Polri (14,2 persen). Distrust terhadap parpol begitu tinggi. Perilaku korup kader justru itulah proses deparpolisasi. Sadarkah mereka ?”.
            Seandainya, partai politik menyadari paripurna fungsi partai politik sebagaimana dikatakan Miriam Budiardjo, yakni; sarana rekrutmen politik dalam mengusung/mendukung calon pemimpin (presiden, gubernur, bupati/walikota) maka partai politik akan melakukan “jemput bola” figur-figur calon pemimpin melalui penelusuran rekam jejak kinerja (trackrecord) seperti; kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, komptensi, serta integritas dibandingkan “transaksi politik”. Berbagai kompensasi politik, seperti; mahar politik, kapling kekuasaan ataupun isinitas (uang-red) yang menjadi rahasia umum, dapat dirasakan sulit dibuktikan dalam pencalonan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) harus pula disadari salah satu penyebab munculnya kandidat kepala daerah dari jalur perseorangan (independen), apalagi jalur perseorangan adalah legal dan absah menurut konstitusi. Jalur perseorangan bukanlah illegal apalagi haram dan dosa dalam pencalonan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) sehingga amat keliru besar serta sesat pikir menuding deparpolisasi.  
            Elite-elite partai politik seharusnya mengaca diri atas ketidakpercayaan (distrust) rakyat pada partai politik yang cenderung “transaksional” ketimbang menuding deparpolisasi kepada calon kepala daerah jalur perseorangan yang diamanahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Jangan seperti menepuk air diatas dulang terpercik muka sendiri. Seharusnya, partai politik berbenah diri dan menyadari habitatnya sarana rekrutmen politik (calon pemimpin-red) agar partai politik mampu meraih kepercayaan (trust) rakyat selaku pilar demokrasi melahirkan pemimpin-pemimpin negarawan mewujudkan kedaulatan di tangan rakyat sesuai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
            Dalam sitem demokrasi langsung seharusnya partai politik menyadari paripurna hak pilih (suara) adalah daulat rakyat, bukan daulat partai politik sehingga keinginan dan kehendak rakyat memilih  pemimpin (presiden, gubernur, bupati/walikota) menjadi acuan dasar bagi partai politik mengusung dan/atau mendukung calon pemimpin. Partai politik dan/atau gabungan partai politik  menurut undang-undang berfungsi dan berperan pengusung dan/atau pendukung calon kepala daerah yang akan dipilih daulat rakyat. Karena itu, jika partai politik keliru atau salah mengusung/mendukung calon kepala daerah akan gagal dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) seperti kegagalan beberapa partai politik pada pemilukada serentak 2015 lalu.
            Jika seandainya nanti pada pemilihan gubernur DKI Jakarta Ahok benar-benar maju melalui jalur perseorangan (independen) maka bangsa ini akan menyaksikan pertandingan “Daulat Rakyat vs Daulat Partai Politik” memberikan pendidikan politik rakyat sangat indah sekaligus  membangun demokrasi substantif di republik ini. “Ahok akan menjadi simbol rivalitas  “koloni partai politik” sekaligus menguji kehendak (daulat) rakyat versus kepentingan (daulat) partai politik memimpin DKI Jakarta lima tahun ke depan.  
            Sebagai sarana pendidikan politik rakyat, para kompetitor tidak boleh sekali-sekali mengangkat isu suku, agama, ras, antargolongan/SARA, sebab memilih kepala daerah adalah memilih pemimpin negarawan terbaik untuk menghadirkan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, tanpa kecuali. Kita saudara sekandung putera/puteri Ibu Pertiwi, memiliki hak dan kewajiban yang sama dan sederajat sebagaimana termaktub pada pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Pemimpin negarawan selalu berpikir dan bertindak demi bangsa dan negara ! (Penulis, Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik/ATRAKTIP) tinggal di Medan-Provinsi Sumatera Utara.
                                                                                                Medan, 12 Maret 2016
                              

Rabu, 10 Februari 2016

APRESIASI PRESIDEN JOKO WIDODO KEMBANGKAN



LSM ATRAKTIP
APRESIASI PRESIDEN JOKO WIDODO KEMBANGKAN DANAU TOBA
Medan,
            Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik Drs. Thomson Hutasoit sangat mengapresiasi tekad kuat Presiden Republik Indonesia ke tujuh Ir. H. Joko Widodo atau Jokowi mengembangkan Danau Toba sebagai destinasi utama pariwisata Indonesia. Pernyataan pengembangan Danau Toba suatu keharusan adalah bukti nyata kejenialan Presiden Joko Widodo melihat potensi sumber kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat sekitar Kaldera Toba yang selama ini terabaikan dalam kebijkan pemerintahan sebelum-sebelumnya. Hal itu dikatakan Thomson Hutasoit kepada wartawan hari Kamis (4/2) lalu di Medan.
            Thomson Hutasoit sungguh sangat berterima kasih serta mengapresisasi niat mulia dan tulus dari Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang telah mendengarkan jeritan Danau Toba, termasuk masyarakat sekitar Kaldera Toba yang selama ini hanya dijadikan wacana dan retorika belaka tanpa tindakan nyata hingga harapan masyarakat sekitar hampir pupus dan tak percaya adanya kebijakan pemerintah, pemerintah daerah untuk mengembangkan Danau Toba salah satu destinasi pariwisata utama di negeri ini.
Kita telah berulang-ulang menyuarakan betapa kelirunya kebijakan pemerintah, pemerintah provinsi Sumatera Utara dan pemerintah daerah sekitar Danau Toba yang tak pernah serius mengurus Danau Toba anugerah Tuhan Yang Maha Esa sumber hidup dan penghidupan bagi masyarakat sekitar, bahkan bagi bangsa Indonesia. Pada tahun 2006 lalu kita telah mengusulkan melalui media daerah maupun media nasional agar dibentuk satu badan otorita untuk mengelola dan mengembangkan Danau Toba sebagai destinasi pariwisata utama di belahan barat Indonesia. Bahkan kita telah meluncurkan artikel berjudul “Tangisan Danau Toba” serta “Ambvalensi Pengelolaan Danau Toba” sebagai koreksi total terhadap kekeliruan  kebijakan pemerintah, pemerintah daerah dalam mengembangkan Danau Toba, danau terbesar ketiga di dunia serta danau vulkanik terbesar pertama di dunia yang memiliki karakter spesifik untuk daya tarik wisatawan, baik domestik maupun internasional.
Terus terang, lanjut Thomson Hutasoit, kita telah berkesimpulan sementara, bahwa Danau Toba sepertinya telah dijadikan “kosmetik politik” bagi calon-calon pemimpin di negeri ini, apakah itu calon presiden, calon gubernur maupun calon kepala daerah di sekitar Danau Toba. Sebab setiap kampanye suksesi kepemimpinan selalu mendengungkan kebijakan pengembangan Danau Toba, tetapi pasca terpilih tidak satupun menjadikan Pengembangan Danau Toba sebagai keharusan, kecuali Presiden Joko Widodo yang menugaskan tidak kurang dari lima (5) menterinya untuk merealisasikan pengembangan Danau Toba secara konkrit mulai tahun anggaran 2016 ini.
            Thomson Hutasoit yang juga penulis buku adat budaya Batak Toba dan Kepemimpinan ditinjau dari kultur budaya Batak Toba meminta dan menghimbau pemerintah Provinsi Sumatera Utara, pemerintah daerah kabupaten sekitar Kaldera Toba, terlebih seluruh masyarakat agar mendukung niat mulia pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mengembangkan Danau Toba salah satu destinasi utama periwisata di Indonesia. Sifat-sifat ego kedaerahan dan perasaan paling memiliki dan paling berhak harus segera dibuang jauh-jauh agar niat tulus Presiden Joko Widodo beserta seluruh menterinya, seperti Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Pariwisata Arief Yahya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimulijono dan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya tidak mengalami kendala semata-mata disebabkan ego masing-masing.
            Seluruh stakeholder Kawasan Danau Toba harus menyadari komprehensif paripurna seindah apapun Danau Toba jika tidak dikelola dengan baik dan benar serta profesional maka seluruh potensi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang dianugerakan Tuhan Yang Maha Esa terhadap bangsa, khususnya masyarakat sekitar Kaldera Toba pasti akan sia-sia, tegas   Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya itu.
            Pemerintah provinsi Sumatera Utara, pemerintah daerah sekawasan Danau Toba serta seluruh masyarakat seharusnya sungguh-sungguh bersyukur dan berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang telah mendengarkan jeritan ketertinggalan pengembangan Danau Toba sebagai destinasi utama pariwisata di daerah ini. Seluruh pihak harus menyadari paripurna bahwa berbagai kebijakan tentang pengembangan Danau Toba selama ini masih sekadar wacana dan retrorika walau berbagai even telah dilakukan dan menghabiskan dana APBD bahkan APBN.  Misalnya; Pesta Danau Toba, Festival Danau Toba dan lain-lain yang sifatnya temporer insidental tanpa menyentuh akar permasalahan seperti pembangunan infrastruktur untuk memperpendek rentang waktu jarak tempuh dari Kota Medan menuju Danau Toba yang menjadi salah satu faktor wisatawan enggan berwisata ke Danau Toba, urai Thomson Hutasoit.
Kita sangat-sangat tak  setuju apabila ada pihak-pihak menjadikan Danau Toba sekadar menu seminar, diskusi apalagi menjadikan proyek (menggarut keuntungan subyektif) tanpa tindak lanjut nyata membangun infrastruktur sebagaimana dirancang pemerintahan Jokowi-JK yang bukan sekadar “omong doang/omdo” seperti dilakonkan pihak-pihak tertentu yang ingin mengekploitasi Danau Toba melalui kebijakan ‘seolah-olah” unutuk menarik manfaat dan keuntungan atas nama pengembangan Danau Toba, pungkasnya.   
            Dia juga menghimbau agar pemerintah daerah sekitar Danau Toba merevitalisasi adat budaya sebagai menu wisata agar wisatawan lebih lama tinggal di kawasan Danau Toba sebagaimana dilakukan pemerintah daerah Bali, Yogyakarta dan lain sebagainya. Sebab apabila hanya mengandalkan keindahan panorama Danau Toba belaka maka wisatawan akan cepat bosan. Karenanya, pemerintah daerah melalui dinas pariwisata harus segera mengindentifikasi, menginventarisasi, memetakan serta membuat matriks-matriks seluruh potensi wisata yang akan ditawarkan kepada wisatawan supaya wisatawan termanjakan dan betah tinggal di kawasan Danau Toba, himbaunya mengakhiri. (M03).