rangkuman ide yang tercecer

Sabtu, 13 Juli 2013

Paradoks Perubahan Paradigma


Paradoks Perubahan Paradigma
Oleh : Thomson Hutasoit

            Salah satu diskusi paling seksi di era millennia adalah lahirnya paradigma baru dalam pola pikir, pola tindak demokratis, transparan, partisipatif serta akuntabel sebagai ciri masyarakat modern yang merupakan titik balik era ketertutupan serba rahasia, tertata kaku, monopoli tafsir kebenaran dari kekuasaan sentralistik otoritarian yang diusung era reformasi di berbagai bangsa atau negara di atas jagat raya ini. Perubahan paradigma yang mengoreksi berbagai tradisi pengaturan super kaku tentu akan berhadapan dengan berbagai kendala yang tidak mudah diselesaikan dengan tuntas sebab para penganut paradigma lama yang telah merasakan manisnya madu ketertutupan serba kaku akan menafsirkan paradigma baru demokratis, transparan, partisipatif, akuntabel telah terlalu jauh mencampuri ranah sakral tradisi monopoli tafsir kebenaran kekuasaan sentralistik otoritarian yang menjadi area absolut pemangku kekuasaan.
            Perubahan paradigma walau segencar apapun diwacanakan tidak berkorelasi dengan kemauan, kerelaan, kesanggupan menerima paradigma baru sehingga munculkan pameo ‘paradigma telah berubah manusianya tidak mau berubah’ akibatnya makna sejati demokrasi yang ditandai transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas menjadi sebuah paradoks. Artinya, pada tataran kata-kata tidak pernah lupa mempropagandakan paradigma baru akan tetapi pada tataran implementatif justru berupaya menjadikan segala sesuatu serba rahasia. Salah satu contoh nyata adalah  tertutupnya akses publik untuk mengetahui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dimana pada rezim pemerintahan sentralistik otoritarian orde baru (Orba) diposisikan “dokumen rahasia negara” sehingga akses publik seluas-luasnya terhadap APBN atau APBD diberangus melalui berbagai legalitas ketat dan kaku. Pandangan sentralistik otoriatarian yang menjadikan APBN atau APBD dokumen rahasia negara di masa era reformasipun masih dipraktekkan penyelenggara negara atau pemerintahan padahal anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) telah menjadi dokumen publik di era reformasi sebagaimana amanah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Undang-undang Nomor 40 tentang Pers, yang kemudian dipertegas Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik disertai sanksi pidana serta denda atas pengabaian amanah peraturan perundang-undangan tersebut.
            Sungguh menarik artikel J Kristiadi di Harian Kompas 2 Juli 2013 dengan ‘judul Menjadikan RUU Ormas sebagai “Memoria Passionis” Spirit yang mengobarkan semangat publik, yang gigih, tanpa lelah, dan pantang menyerah menolak RUU Organisasi Kemasyarakatan, paling mendasar adalah memori terhadap represi penguasa masa lalu yang melumpuhkan masyarakat sipil (civil society) dengan ne-negara-kan mereka. Masyarakat kehilangan ruang publik yang seharusnya jadi ranah untuk mengembangkan kekuatan masyarakat yang demokratis berhadapan dengan (vis a vis) negara. Perilaku otoritas politik yang memonopoli kekuasaan dan kebenaran telah mengakibatkan luka batin mendalam serta trauma politik yang terekam kuat dalam kenangan publik. Memori semacam itu, secara teknis disebut memori statik. Ia adalah ingatan bermuatan kesumat dan siap meledak, baik dalam bentuk perlawanan maupun pembangkangan politik. Padahal, kenangan yang sarat dengan penderitaan masa lalu selalu dapat ditransformasikan menjadi ingatan memuliakan kehidupan. Dengan syarat, ingatan tersebut menjajinkan harapan kehidupan yang lebih baik. Kenangan itu bersifat dinamis, biasa disebut memoria passionis. Ironisnya, negara yang didalamnya terdapat tokoh-tokoh yang mengaku reformis dan bagaimana getirnya kelaliman rezim masa lalu seakan ingin memaksakan RUU yang dikhawatirkan publik menjadi bibit pemasung kebebasan berserikat menjadi regulasi. Memaksakan putusan politik yang merusak memoria passionis adalah tahap awal cara negara menundukkan masyarakat secara absolut”.
            Sekadar memutar ulang memori masa lalu ketika rezim sentralistik otoriter berkuasa di republik ini adalah setiap perbedaan pandangan berbeda dengan pemerintah berkuasa diposisikan perlawanan serta pembangkangan terhadap negara. Pandangan demikian tentu sangat tidak benar sebab pemerintah berkuasa tidaklah indentik dengan negara sebab pemerintah adalah salah satu pilar kekuasaan yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif yang menjadi unsur utama demokrasi apabila ketiga pilar ini setara dan seimbang. Oleh karena itu, pembungkaman, pemberangusan, pemasungan perbedaan pendapat apalagi menerapkan “Kematian Perdata” terhadap masyarakat yang tidak seiring sejalan dengan kebijakan pemerintah berkuasa adalah paradoks demokrasi yang selalu dibangga-banggakan di negeri ini.
            Idiom klasik ‘sejarah selalu berulang kembali’ nampaknya kini sedang membuktikan diri setelah 16 tahun era reformasi (1998) yang dimotori para intelektual muda atau mahasiswa di negeri ini, dimana hakikat reformasi merupakan koreksi total kekeliruan sentralistik otoriter rezim Soeharto memonopoli kekuasaan dan kebenaran  ditopang Golkar dengan tiga jalurnya dengan langgeng menguasai kekuasaan sentralistik otoriter selama ± 32 tahun mempraktekkan demokrasi semu. Kekuatan-kekuatan masyarakat madani dibonsai sedemikian rupa melalui rezim stabilitas hingga pembredelan berbagai media massa, menggebuk dan/atau memasung lawan-lawan politik, serta kematian perdata bagi elemen-elemen masyarakat yang berseberangan dengan rezim berkuasa. Akan tetapi, memori demikian nampaknya telah terlupakan dari memori rezim berkuasa saat ini, walaupun rezim ini sebenarnya dilahirkan era reformasi berdarah-darah 16 tahun silam. Apakah ini merupakan keistimewaan karakter bangsa yang mudah memaafkan kesalahan atau kekeliruan masa lalu, atau justru penanda nyata betapa bangsa ini telah dijangkiti virus amnesia atau lupa ingatan sehingga orang-orang yang menamakan dirinya reformis ingin mengulangi kesalahan yang sama ketiga kalinya dalam berbangsa dan bernegara.
            Sikap inkonsistensi untuk mendorong tumbuhnya kekuatan masyarakat madani yang mengusung paradigma transparansi, partisipasi, akuntabilitas wujud nyata demokrasi substantif tidak terlepas dari masih bertenggernya alumni-alumni rezim sentralistik otoriter di masa lalu. Harus diakui bahwa punggawa-punggawa kekuasaan di era reformasi mayoritas masih berada ditangan generasi-generasi rezim sentralistik otoriter sehingga perubahan paradigma baru masih cenderung retorika serta wacana belaka. Bahkan paradigma transparansi, partisipasi, akuntabilitas dianggap salah satu ancaman kelanggengan kekuasaan sehingga perlu diatur, ditata serta dikendalikan dengan bermacam-macam legalitas sesuai kaca mata kekuasaan. Pandangan seperti itu sangat paradoks dengan wacana membangun masyarakat madani (civil society) yang selalu didengung-dengungkan di republik ini.
            Perubahan paradigma akan mengalami hambatan dikala perubahan itu berpotensi mengusik kemapanan apalagi di struktur kekuasaan masih bertengger rezim-rezim sentralistik otoritarian yang telah mendarah daging mengimplementasikan serba ketertutupan, pengaturan ketat dan kaku sebab yang menamakan diri reformis masih produk masa lalu yang sangat alergi terhadap paradigma baru. Para pemangku kekuasaan di era reformasi masih barang baru stok lama yang sangat asing dengan paradigma baru sehingga perubahan paradigma tidak lain dan tidak bukan hanyalah sekadar wacana ataupun retrorika belaka. Buktinya, transparansi, partisipasi, akuntabilitas penyelenggaraan negara atau pemerintahan masih barang langka di republik ini sekalipun gerakan reformasi telah berusia 16 tahun berlalu. Pemangku kekuasaan masih cenderung memaksakan kehendak terhadap rakyat tanpa membuka ruang partisipasi rakyat melalui public hearing seluas-luasnya sebelum melahirkan kebijakan publik yang muaranya berhubungan dengan kepentingan publik. Malah dari kasus-kasus yang terjadi di era reformasi menunjukkan bahwa pemangku kekuasaan masih memosisikan rakyat berhadap-hadapan secara diameteral sebagai lawan atau musuh sehingga kebijakan publik yang hendak ditelorkan pemangku kekuasaan cenderung ditutup-tutupi. Kondisi ini tentu sangat paradoks dengan paradigma baru penyelenggaraan negara atau pemerintahan good governance and clean governance yang ditandai tumbuhnya transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Tindakan kekerasan yang menimpa para jurnalistik, lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta organisasi kemasyarakatan yang getol mengkristisi karut-marut kebijakan penyelenggara negara atau pemerintahan merupakan salah satu bukti nyata betapa negeri ini belum mampu menerima atau mengimplementasikan paradigma baru secara empirik karena pemangku kekuasaan masih bahagian dari masa lalu yang alergi dengan transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.Bila pemangku kekuasaan telah mengimplementasikan paradigma baru secara nyata kritisi setajam apapun dari media massa, LSM, ormas, penggiat sosial pasti dimaknai wujud nyata partisipasi publik dalam berbangsa dan bernegara. Karena itu, nafsu kekuasaan menelorkan berbagai regulasi yang mengekang ruang partisipasi publik harus pula dipahami sebagai titik balik putaran reformasi 1998 lalu karena pemangku kekuasaan belum berubah dari tabiat-tabiat masa lalu yang super nafsu memasung partisipasi ruang publik.
            Rasa ketakutan terusiknya tahta kekuasaan menjadi salah satu arus utama mengapa pemangku kekuasaan beserta konco-konconya super nafsu melahirkan regulasi-regulasi macam-macam, padahal tanpa diatur, ditata dengan peraturan perundang-undangan bersifat lex specialist pun bisa diselesaikan dengan tuntas apabila pengekan hukum dilaksanakan dengan tegas dan pasti sehingga alasan-alasan rasionalisasi yang dikembangkan pemangku kekuasaan atas penerbitan berbagai regulasi berpotensi memasung partisipasi publik adalah sebuah alibi faktor ketakutan  yang mengusik kelanggengan kekuasaan. Di ruang diskusi, seminar, serta berbagai perhelatan ilmiah lainnya pemangku kekuasaan selalu mempropagandakan betapa pentingnya ruang partisipasi publik, tapi ketika ruang partisipasi publik diimplementasikan media massa, LSM, Ormas, serta para akademisi melalui kritik-kritik keras maka pemangku kekuasaan yang masih bertabiat sentralistik otoriter menjadi lawan atau musuh yang perlu dibungkam melalui rezim regulasi ketat dan kaku. Hal itu tentu sangat berbanding terbalik dengan demokratisasi substansial yang mendorong partisipasi masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Alumni mashab sentralistik otoriter yang masih bercokol di tampuk-tampuk kekuasaan di era reformasi sudah barang pasti sangat alergi dengan era keterbukaan dimotori intelektual muda yang belum berkelindan dengan kekuasaan sentralistik oteriter yang menjadi catatan buram penuh noda di masa lalu.

Era Baru Revolusi Berpikir
            Salah satu langkah fundamental mendorong paradigma baru menuju percepatan demokrasi substansial adalah melakukan revolusi berpikir melalui lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun informal dengan melibatkan intektual-intelektual muda di jajaran pemangku kekuasaan. Regenerasi kepemimpinan sudah seharusnya  didorong maksimal untuk memangku berbagai jabatan strategis termasuk tampuk kepemimpinan nasional maupun daerah yang masih steril dari paradigma sentralistik otoriter. Sebab sulit diterima akal sehat para pelaku paradigma sentralistik otoriter mampu menerima paradigma baru yang sangat asing dengan dirinya. Misalnya, berteriak dengan lantang melakukan pemberantasan korupsi padahal di masa lalu adalah aktor utama pelaku korupsi menggerogoti keuangan negara ditandai dengan imperium harta kekayaan yang sulit diterima akal apabila dikaitkan dengan besaran gaji ketika mengemban amanah atau jabatan. Dorongan media massa, LSM, Ormas, akademisi, cendikiawan dan lain-lain untuk menerapkan pembuktian terbalik untuk mengungkap harta kekayaan para pemangku kekuasaan hingga kini masih mendapat perlawanan keras. Padahal pembuktian terbalik inilah salah satu instrumen untuk mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di republik ini.
            Andaikan benar pemangku kekuasaan berkeinginan kuat mengimplementasikan paradigma baru yakni transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas maka penerapan pembuktian terbalik yang disuarakan elemen-elemen masyarakat pasti mendapat respon positif dari pemangku kekuasaan. Tetapi karena pembuktian terbalik itu akan merembet ke jantung kekuasaan yang penuh karut-marut maka pemangku kekuasaan berupaya mengabaikan atau menolaknya dengan berbagai alibi. Malah mencari argumentasi macam-macam seperti berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) dan lain sebagainya, padahal argumentasi itu hanyalah alibi mengamankan kekuasaan.
            Salah satu kepemimpinan fenomenal di era reformasi ini adalah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang terlahir dari rahim reformasi. Jokowi dan Ahok yang sama-sama berlatar pengusaha di masa reformasi terjun ke dunia politik masing-masing menjadi walikota Solo dan bupati Kartanegara Timur dengan mengukir prestasi sebagai walikota dan bupati terbaik di kancah nasional maupun internasional. Keserdahanaan, kesahajaan, kejujuran, keterbukaan dalam memangku kekuasaan menjadi sangat fenomenal ketika para pemangku kekuasaan di republik ini membangun tembok-tembok besar memisahkan dirinya dengan rakyat. Jokowi dan Ahok telah menjadikan tahtanya tahta rakyat, sifat pangreh paraja menjadi pamong praja (parhobas-red) dengan gaya komunikasi kearifan lokal sehingga mampu mengajak, mengarahkan rakyat yang dipimpinnya ke arah pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara. Keberhasilan kedua pemimpin reformis memimpin kota Solo dan Kertanegara Timur menghantarkan keduanya naik kelas memimpin Provinsi DKI Jakarta yang telah haus merindukan Ali Sadikin muda menata ibu kota negara dengan kesederhanaan, kesahajaan, kejujuran, keterbukaan, ketegasan serta mampu melakukan revolusi berpikir untuk mengangkat potensi bangsanya.
            Jokowi dan Ahok bukanlah alumni kekuasaan sentralistik otoriter melainkan anak reformasi berparadigma baru yang tertanam dalam dirinya transparansi, partisipasi, serta akuntabilitas sehingga gaya kepemimpinannya yang selalu dekat dengan rakyat melalui blusukan hingga ke lorong-lorong kumuh untuk mengetahui secara langsung kondisi empirik rakyatnya menjadi sangat istimewa dan fenomenal ketika rakyat DKI Jakarta khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya merindukan kehadiran si Bung (Bung Karno-red), Bang Ali Sadikin memimpin republik ini. Jokowi, Ahok serta pemimpin reformis lainnya berani mengimplementasikan paradigma baru yakni transparansi, partisipasi, akuntabilitas sebab mereka bukanlah anak zaman ketertutupan serba kaku ataupun alumni rezim sentralistik otoritarian sebagaimana sebahagian besar pemangku kekuasaan yang masih bercokol di tampuk-tampuk kekuasaan saat ini.
            Era baru revolusi berpikir adalah mengubah mindset atau pola pikir dan pola tindak secara total dari era ketertutupan ke era keterbukaan dalam alam nyata, bukan sekadar retorika. Sebab sekadar konsep retorika atau wacana akan melahirkan ilusi ke alam outopis yang tidak pernah membumi. Langkah-langkah konkret implementasi paradigma baru yang mendorong tumbuhnya partisipasi publik dalam menentukan kebijakan negara atau pemerintahan yang dikenal dengan model  bottom-up untuk mendorong keterlibatan publik dalam pembangunan. Keterlibatan dan partisipasi publik seluas-luasnya bukan makhluk asing lagi bagi rakyat Nusantara yang disebut gotong-royong. Model bottom-up adalah kebalikan model Top-down yang diterapkan sistem pemerintahan sentralistik otoritarian dimana pusat-pusat kekuasaan mendiktekan kebijakan publik berdasarkan ilusi, halusinasi pusat kekuasaan itu sendiri. Akibatnya, berbagai kebijakan publik yang muaranya untuk kepentingan publik cenderung bias atau tidak tepat sasaran. Pada model sentralistik otoriter peran partisipasi publik tidak diakomodir secara optimal, bahkan tidak dilibatkan sama sekali padahal publiklah yang mengetahui, merasakan langsung di lapangan. Kalau dianalogikan model top-down mirip dengan orang bodoh menggarami laut atau memberi permata kepada bayi yang tidak tahu arti dan maknanya.
            Bias kebijakan publik yang kerap terjadi di negeri ini adalah akibat kurangnya keterlibatan publik dalam proses pembuatan kebijakan publik sebab pemangku kekuasaan masih cenderung menempuh jalan pintas serta gampangan. Peran masyarakat dibonsai karena pemangku kekuasaan yang diisi barang baru stok lama masih belum berubah dari tradisi ketertutupan yang sudah mengkristal dalam dirinya. Sifat-sifat kepangrehan masih kental melekat pada diri sebahagian besar pemangku kekuasaan sehingga sangat sulit menerima paradigma baru sebagai pamong praja (parhobas-red) sekalipun menyatakan diri abdi negara. Padahal dalam sistem pemerintahan demokratis kedaulatan berada ditangan rakyat. Namun dalam tataran implementatif daulat rakyat tidak pernah maksimal diwujudkan, buktinya peran serta masyarakat melalui public hearing selalu diabaikan dengan berbagai alasan seperti keterbatasan waktu dan lain sebagainya. Public hearing seluas-luasnya adalah salah satu wujud nyata daulat rakyat dalam menentukan kebijakan publik agar rakyat tidak sekadar obyek kebijakan tetapi sekaligus subyek kebijakan, dengan demikian partisipasi publik semakin optimal.
            Salah satu contoh konkret adalah musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) yang masih bersifat elitis serta belum melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya menimbulkan pembangunan tidak tepat sasaran untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, padahal dana yang digelontorkan cukup besar. Andaikan proyek pembangunan yang dilaksanakan didasarkan pada kebutuhan riil maka output, outcome, serta impact pembangunan itu akan nyata mendongkrak percepatan peningkatan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat. Misalnya, peningkatan taraf hidup petani melalui pembangunan sarana irigasi, infrastruktur jalan, pemberian bibit sesuai klimatologi, ketersediaan pupuk serta pestisida, ketersediaan lahan pertanian, jaminan harga hasil pertanian, kredit modal, dan lain sebagainya agar kedaulatan pangan dalam negeri bisa terjamin. Tetapi apa lacur, pemerintah malah menempuh jalan pintas dengan kebijakan sinterklas melalui pemberian beras masyarakat miskin (Raskin) yang tidak pernah sama sekali membangun kemandirian petani. Malah mendorong petani di republik ini fakir miskin yang tergantung pada belas kasihan pemerintah.
            Berbagai argumentasi dilontarkan pemangku kekuasaan disokong pula koloborasi sindikat intektual pesanan untuk menggerogoti keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif negeri dilintasan khatulistiwa ini, diantaranya membangun aksioma-aksioma kebijakan tidak lagi mengandalkan keunggulan sumber daya alam (SDA) pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, nelayan, sementara disisi sebaliknya arus impor beras, jagung, kacang kedelai, ikan, garam, daging, buah-buahan, dan lain-lain menginvasi republik ini dari waktu ke waktu. Kedaulatan rakyat tani, pekebun, nelayan serta ekonomi kerakyatan lainnya hanya sebatas pesta demokrasi atau pemilihan umum (Pemilu), baik pemilihan legislatif (Pileg), pemilihan kepala daerah (Pilkada), maupun pemilihan presiden (Pilpres) selain itu mereka tidak pernah memiliki kedaulatan lagi. Menjadikan rakyat komoditas politik adalah pertanda nyata betapa paradigma baru masih sekadar retorika serta barang langka di negeri ini.
            Paradigma baru demokrasi langsung pasca reformasi yang membuka peluang kehadiran pemimpin dari rahim rakyat masih belum secara nyata mendatangkan kepemimpinan kerakyatan untuk mewujudkan daulat rakyat. Hal itu sebagai akibat gerakan reformasi belum murni diusung generasi reformis. Para musang berbulu ayam, harimau berbulu domba masih bercokol di tampuk-tampuk kekuasaan, dan hal yang sama juga dialami republik ini di masa kemerdekaan silam dimana para antek-antek penjajah kolonial memegang tampuk kepemimpinan setelah merdeka. Akibatnya, karakter-karakter feodal yang mendarah daging dipraktekkan terhadap bangsanya. Bila di masa kolonial penjajahan dilakukan bangsa lain maka di masa kemerdekaan penjajahan sesama anak bangsa dilakukan melalui kebijakan kekuasaan untuk mengeksploitasi kedaulatan dari tangan rakyat. Kekeliruan demi kekeliruan, kesalahan demi kesalahan terulang kembali dalam berbangsa dan bernegara sebab negeri ini lupa membangun karakter bangsa (national character building) sebagaimana dianjurkan Bung Karno pendiri bangsa ini.
            Karena itu, pendidikan karakter bangsa sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus segera dilakukan untuk melahirkan generasi-generasi kepemimpinan berkarakter dan berjati diri merubah karakter feodal sebagai wujud paradigma baru dalam berbangsa dan bernegara. Sifat kepangrehan harus direvolusi segera menjadi kepamongprajaan (parhobahas-red) agar daulat rakyat tidak sekadar wacana atau retorika.
            Salah satu langkah konkret adalah merubah arah kebijakan negara atau pemerintahan yang memprioritaskan kepentingan rakyat dalam politik anggaran, baik anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang hingga kini masih menitik beratkan pemuasan nafsu birahi kekuasaan. Sebab negara akan kuat jika rakyatnya kuat, negara akan berdaulat bila rakyat berdaulat. Bukan sebaliknya, negara akan kuat jika rakyatnya tak berdaya.

Regenerasi Kepemimpinan
            Salah satu indikator keberhasilan bangsa atau negara berlangsungnya regenerasi kepemimpinan dengan baik dan benar yang ditandai tersedianya kader-kader pemimpin bangsa berkarakter negarawan. Mempersiapkan kader bangsa berkarakter negarawan menjadi salah satu perioritas pembangunan bangsa kedepan sebab regenerasi kepemimpinan secara alamiah tidak bisa ditunda oleh kekuatan manapun juga. Regenerasi kepemimpinan alamiah harus dipersiapkan dengan terencana berkesinambungan karena itu pendidikan kader bangsa melahirkan pemimpin negarawan tidak boleh ditunda-tunda. Pembangunan karakter bangsa (national character building) sebagaimana dianjurkan Bung Karno sangat fundamental karena kejayaan bangsa sangat ditentukan kepemimpinan berkarakter berjati diri, ambisius membangun kebanggaan bangsanya. Sehebat apapun pembangunan fisik tanpa dibarengi kepemimpinan berkarakter berjati diri akan sulit diharapkan membawa bangsa Indonesia negara adidaya, malah berpotensi menjadi bangsa bangkrut, bahkan bangsa gagal serta hilang dari percaturan dunia sebagaimana dialami Yugoslavia, Uni Sovyet Rusia (USR) yang tidak mampu mengenal jati dirinya.
            Karena itu, pendidikan kader bangsa harus segera dilaksanakan untuk melahirkan kader-kader kepemimpinan negarawan yang mengenal keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif bangsa Indonesia dilintasan khatulistiwa serta memiliki sumber daya alam (SDA) maha besar untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara yakni masyarakat makmur, sejahtera serta berkeadilan. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) untuk menggali dan mengefektifkan potensi keunggulan bangsa memperkuat daya saing di fora internasional perlu dilaksanakan dengan tetap berlandaskan karakter kebangsaan dan keindonesiaan. Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus terus menerus dibumikan sejak dini melalui lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal. Dengan demikian nasionalisme kebangsaan tidak terdegredasi dari generasi ke generasi sepanjang masa.
            Generasi muda sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa akan menentukan kelanggengan perjalanan bangsa di masa akan datang, karena itu harus dipersiapkan dengan matang agar proses suksesi kepemimpinan berlangsung mulus tanpa gejolak. Defisit kepemimpinan negarawan sebagaimana menjadi kekhawatiran era belakangan ini akan terjawab karena kader-kader pemimpin negarawan akan lahir melalui pembangunan kader bangsa secara berkesinambungan. Selanjutnya, pemimpin-pemimpin lanjut usia (lansia) sudah saatnya mendorong munculnya kader-kader muda berkualitas berkarakter negarawan memegang tampuk kepemimpinan agar regenerasi alamiah tidak stagnan. Pemimpin-pemimpin berusia lanjut sudah perlu memosisikan diri sebagai guru bangsa dan tidak perlu lagi berupaya menghambat atau menjegal kader-kader muda agar stagnasi kepemimpinan di berbagai level tidak terjadi.
            Selain daripada itu, peran partai politik sebagai pemasok kandidat kepemimpinan harus berbenah diri untuk mempersiapkan kandidat pemimpin melalui kaderisasi terencana, berkesinambungan untuk mempersiapkan kandidat pemimpin muda berdasarkan kualitas, kapasitas, kredibilitas, serta berintegritas, bukan  seperti saat ini yang  cenderung didasari politik transaksional maupun politik trah. Rekrut kader harus terbuka seluas-luasnya terlebih intelektual-intelektual muda dari dunia kampus agar kualitas kandidat pemimpin diberbagai level meningkat terus menerus dari waktu ke waktu.
            Pesta demokrasi 2014 merupakan transisi generasi kedua kepada generasi ketiga mengingat usia republik ini telah 68 tahun pasca kemerdekaan. Sekaitan dengan itu pula maka generasi kedua sudah seharusnya legowo dari tampuk-tampuk kepemimpinan nasional maupun daerah supaya stagnasi kepemimpinan tidak terjadi di masa-masa akan datang. Sejarah membuktikan bahwa aruh perubahan selalu dimotori kawula-kawula muda berkualitas sehingga salah satu indikator keberhasilan partai politik sejauhmana partai tersebut mencetak kader-kader muda mumpuni untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan selanjutnya. Hal itulah sebenarnya salah satu kerja politik yang perlu dilakukan optimal bukan hanya perebutan kekuasaan yang penuh kegaduhan. Komunikasi politik sangat rendah, bahkan buruk yang diperlihatkan politisi negeri ini pertanda nyata betapa buruknya kaderisasi yang dilakukan partai-partai politik saat ini. Padahal kepiawian berdiplomasi sangat ditentukan kemampuan komunikasi politik seorang politisi itu sendiri. Argumentasi-argumentasi dangkal serta tak berkualitas acapkali dilontarkan para politisi menambah degradasi kepercayaan (distrust) publik yang ditandai turunnya elektabilitas pemilih.
            Pemilihan legislatif (Pileg), pemilihan presiden (Pilpres) 2014  sudah diambang pintu, bahkan calon legislatif (caleg) serta calon presiden (capres) telah digadang-gadang dengan berbagai kemasan pencitraan sebagai magnit politik untuk meraih simpatik calon pemilih. Barang baru stok lama pun tidak ketinggalan mempropagandakan diri agen perubahan sehingga perubahan paradigma semakin paradoks. Alih-alih rakyat sulit memahami, bahkan bingung tujuh keliling mana sebenarnya paradigma baru, mana pula paradigma lama dikemas atas nama perubahan semakin tak jelas. Kata perubahan memang salah satu kata bahasa politik paling seksi dilontarkan, tapi perubahan dimaksud apakah dari paradigma transparansi, partisipasi, akuntabilitas ke arah serba tertata, serba tertutup, serba rahasia seperti di masa orde baru (Orba) atas nama stabilitas partisipasi publik di bungkam, atau sebaliknya, meningkatkan demokrasi prosedural ke arah demokrasi substansial membangun masyarakat madani. Inilah pekerjaan rumah (PR) seluruh rakyat bangsa ini agar pesta demokrasi 2014 benar-benar mampu melahirkan pemimpin berparadigma baru untuk mengusung bangsa menepati janji Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia mewujudkan masyarakat makmur, sejahtera, serta berkeadilan.
            Harapan bangsa yang sempat pudar atas kepemimpinan kembali bergelora lagi dengan munculnya putra-putra bangsa berkarakter berjati diri dengan kualitas kepemimpinan teruji, misalnya Joko Widodo (Jokowi), Mahfud MD, Anis Baswedan, Dahlan Iskan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan lain-lain dari generasi kedua dan ketiga. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah rakyat Indonesia benar-benar menginginkan perubahan paradigma dengan memberi kepercayaan terhadap mereka sebagai pimpinan nasional untuk mengusung paradigma baru di republik ini. Pemimpin-pemimpin demikianlah tumpuan harapan menuju Indonesia jaya, tetapi bila tidak maka paradoks perubahan paradigma lah yang masih berlangsung di republik ini.
                                                                                                                        Medan, 3 Juli 2013

                                                                                                                        Thomson Hutasoit.
Penulis : Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Pengusaha Kontraktor Indonesia (DPD GABPKIN) Provinsi Sumatera Utara 2008-2012, Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, Staf Ahli salah satu Fraksi di DPRD  Kota Medan 2006-2009 dan 2011-2014, penulis buku Indikator Bangsa Bangkrut, Potret Retak Berbangsa Bernegara, Misteri Negara Salah Urus, Keluhuran Budaya Batak-Toba, Meneropong serta Mengamati Visi-Misi Gubernur Sumatera Utara ‘Rakyat Tidak Lapar, Rakyat Tidak Bodoh, Rakyat Tidak sakit, serta Punya Masa Depan’, serta ± 250 artikel di berbagai media massa, tinggal di Medan.      

              
                      
                     
                      
                                                       
                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.