rangkuman ide yang tercecer

Sabtu, 08 Maret 2014

Kepemimpinan ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba



Bagian Pertama

Pendahuluan.

Salah satu menu diskusi paling menarik diperbincangkan sepanjang masa ialah tipologi kepemimpinan yang dilakonkan para pemimpin, baik pemimpin formal maupun informal di skop lokal, nasional, ataupun internasional.
Tipologi kepemimpinan memiliki korelasi terhadap martabat, marwah serta jati diri suatu bangsa di mata pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia. Sebab, tipologi kepemimpinan merupakan salah satu energi besar  membangun kebanggaan serta kewibawaan bangsa. Kepemimpinan suatu bangsa  sangat berpengaruh besar membangun  keunggulan dibandingkan bangsa-bangsa  lain, yang ditandai berbagai karya monumental ataupun keunggulan  spesifik  berdaya saing di fora internasional.    
Menurut Wlliam Marston seperti dikutip oleh Bobinski (2000) mengklasifikasikan pemimpin dalam 4 (empat) jenis, yaitu; pemimpin  Dominance, Influencing, Steadiness, dan Compliance. Model kepemimpinan Marston diberi nama model DISC.
Pemimpin tipe D (Dominance) cenderung menguasai situasi, kaya akan inisiatif, suka tantangan, tidak suka status quo, tegas, memiliki hasrat kuat untuk mencapai prestasi tinggi, tidak suka neko-neko, dan lebih berorientasi pada tugas. Pemimpin ini kadang dijuki hawk (elang) atau lion (singa).
Pemimpin tipe I (Influencing) gemar berinteraksi sosial, menghormati sesama, dan suka dihormati, penuh optimisme, masalah apa pun yang dihadapi diyakini dapat diatasinya, rasa humor yang tinggi, dan pasti minta pendapat orang lain sebelum bertindak.
Pemimpin tipe S (Steadiness) bercirikan loyal, suka melayani orang lain, pencinta damai, rileks namun pekerja keras, bertindak atau berkomunikasi tidak langsung, jika tidak setuju ia tidak mengatakannya terus terang, lamban dalam mengambil keputusan, dan tidak suka konfrontasi. Mereka sering dijuki dove (merpati) atau Golden Retriever (memilih mundur daripada konfrontasi).
Pemimpin tipe C (Compliance) selalu berpedoman pada hukum dan prosedur dalam bertindak. Ia takut jika tidak mengikuti prosedur.
Tipe D juga menghindari konflik, bahkan tidak antusias untuk membalas jika ditantang. Ia memiliki penalaran yang tinggi, selalu mencari fakta dan bukti ketika bertindak sehingga ia dijuluki objective thinker. Satu lagi cirinya perfectionist. (Prof. DR. Tjipta Lesmana, MA, 2009).  
Kepemimpinan ialah kemampuan untuk membimbing, mengarahkan, mendorong, membangkitkan, menggerakkan pihak lain mencapai tujuan. Melalui  kepiawian, kemahiran  berkomunikasi efektif mampu memengaruhi orang lain. Melalui kepiawian, kemahiran kepemimpinan setiap orang merasakan sentuhan-sentuhan batiniah antara pemimpin dengan yang dipimpin.
Seorang pemimpin tentu harus memiliki nilai plus dibanding dengan yang dipimpin seperti, kecerdasan, intelektualitas, karakter mental, kejujuran, keberanian, ketegasan, integritas, serta jati diri yang bisa ditiru dan diteladani.
Misalnya, ketika para pemuda memaksa Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia sebelum tanggal 17 Agustus 1945, dimana ketika itu para pemuda memaksa bahkan mengancam Bung Karno supaya segera memproklamasikan kemerdekaan, tapi dengan tegas Bung Karno menyatakan kepada Adam Malik, Chairul Saleh, B.M. Diah, Sukarni, Wikana dan lain-lain. ”Lalu apa ?” Soekarno berteriak sambil melompat dari kursi dalam keadaan sangat marah. ”Jangan coba-coba mengancamku. Jangan kalian berani memerintahku. Justru kalian harus mengerjakan apa yang kuinginkan. Aku tak akan pernah mau dipaksa menuruti kemauan kalian!” (Hendri F. Isnaeni, 2009).   
Makna sejati kepemimpinan ialah kemampuan seorang pemimpin  menghimpun, melindungi, mengayomi, mendorong, membangkitkan, mengarahkan, menggerakkan, serta memberi keteladanan kepada pihak lain untuk  mencapai tujuan yang telah ditetapkan.     
Untuk melakukan hal itu, seorang pemimpin bisa saja menerapkan model kepemimpinan  kerakyatan ataupun kepemimpinan elitis sebagaimana pola-pola kepemimpinan yang kerap dilakukan di berbagai belahan dunia.
Tipologi kepemimpin memiliki perbedaan paradigma tentang bagaimana kepemimpinan itu dilakukan, bagaimana pengaruhnya terhadap rakyat, bangsa maupun negara. Hal inilah yang selalu jadi menu perbincangan hangat serta pemikiran kritis dikala terjadi pemilihan pemimpin (suksesi) dari masa ke masa.
Salah satu esensi kepemimpinan pada komunitas Batak, khususnya Batak-Toba ialah sebutan ”raja atau panggonggomi” yaitu; seseorang yang mampu melindungi, mengayomi, mengarahkan, mendorong, menyemangati, mengendalikan, mencerdaskan, serta menegakkan kebenaran dan keadilan ditengah-tengah masyarakat, bangsa.     
Kepemimpinan merupakan elemen fundamental serta esensial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara sehingga sangat membutuhkan kualitas manajerial istimewa dari seorang pemimpin. Karenanya, tidak sembarang orang bisa di daulat jadi pemimpin.  Seorang pemimpin harus lah orang-orang pilihan memiliki keunggulan, keistimewaan di atas rata-rata kemampuan orang lain. Keunggulan, keistimewaan itu pula lah membedakannya dengan yang dipimpin.      
            Keunggulan, Keistimewaan yang dimaksud lebih berporos pada parameter karakter moral, mental, seperti; kecerdasan, kejujuran, keluhuran, keberanian, kepedulian, kasih,  keadilan, semangat atau spirit (marsahala) dalam menjalankan amanah yang dipercayakan pada dirinya.    
Faktor karakter moral, mental seperti itu merupakan elemen paling dasar  dalam memilih dan/atau menentukan seorang pemimpin pada komunitas Batak-Toba. Sebab, eksistensi pemimpin pada komunitas Batak-Toba yang menganut hukum adat (hukum tak tertulis)  adalah kemampuan menjalankan tugas-tugas kepemimpinan yang dilandasi musyawarah menuju mufakat, termasuk dalam implementasi, menentukan sanksi-sanksi, serta penegakannya sebagai pranata yang  mengatur tata hidup komunal.   
 Paranata hidup itu, selanjutnya dijadikan aturan hukum yang harus dihormati dan dijunjung tinggi seluruh individu masyarakat Batak-Toba dalam hidup sehari-hari.     
            Fondasi dasar kehidupan Batak-Toba ialah falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) yaitu; somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru yang merupakan warisan leluhur. Falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) telah membentuk karakter spesifik, jati diri Batak-Toba dari generasi ke generasi.      
            Esensi kepemimpinan pada suatu masyarakat, bangsa tentu memiliki ciri khas sesuai kearifan lokal yang tumbuh berkembang pada suatu masyarakat, bangsa. Sehingga jenis, macam, ragam, corak kepemimpinan tidak bisa diseragamkan satu sama lain.
Dalam ungkapan Batak-Toba hal itu disebut, “Asing dolok asing do sihaporna, Asing luat asing do nang adatna” atau seperti peribahasa klasik,” lain lubuk lain ikannya” yang menunjukkan bahwa ragam,  jenis, macam, corak  kepemimpinan bisa berbeda-beda pula.      
            Keragaman kearifan lokal yang tumbuh subur di masyarakat, bangsa juga melahirkan berbagai  tipologi kepemimpinan yang belum tentu sesuai dan serasi bila diseragamkan (uniform) ataupun diterapkan pada masyarakat, bangsa yang  berbeda. Aneka ragam kepemimpinan berdasarkan kearifan lokal perlu digali,  didalami, serta dikembangkan sebagai salah satu instrumen penting memformulasi kepemimpinan berbasis kearifan lokal supaya benar-benar menyentuh kehidupan nyata sesuai dengan jati diri bangsa bersangkutan.    
            Nilai-nilai luhur kearifan lokal ditengah-tengah kehidupan masyarakat merupakan elemen dasar parameter menganalisis esensi kepemimpinan,  apakah sesuai dengan nilai-nilai kultur budaya yang masih diakui kebenarannya ditengah-tengah komunitas. Sebab, adakalanya, yang dianggap baik pada masyarakat, bangsa tertentu belum tentu baik pada masyarakat, bangsa lain.     
            Esensi kepemimpinan dari sudut perspektif kearifan lokal atau kultur budaya akan lebih sesuai dan serasi diterapkan pada masyarakat, bangsa bersangkutan sehingga perlu digali, dikembangkan untuk memperluas khasanah kepemimpinan berbasis kearifan lokal.
Sebab, suatu tipologi kepemimpinan tidak terlepas dari nilai kultur budaya yang tumbuh berkembang ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa itu sendiri.    
Nilai-nilai kearifan lokal mewarnai karakter berpikir, bertindak yang tidak mudah dilepaskan dari suatu komunitas karena sudah menjadi jati diri masyarakat, bangsa yang membedakannya dengan komunitas lain.     
            Pada komunitas Batak-Toba kepemimpinan merupakan hal paling penting serta strategis sehingga seorang pemimpin harus mampu memosisikan diri sebagai panutan, tauladan dalam segala hal, sebab seorang pemimpin bukan bagian dari masalah, melainkan solusi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa. Karena itu, seorang pemimpin harus mampu menempatkan diri sebagai public figure yang pantas ditiru, digugu, serta ditauladani oleh seluruh elemen masyarakat, bangsa.    
            Sebagai seorang pemimpin (raja, panggomggomi) harus memiliki kemampuan ”raja urat ni uhum, na mora ihot ni hosa, raja si horus na lobi, sitambai na longa, raja parbahul-bahul na bolon, partataring so ra mintop, paramak so balunon, parsangkalan so mahiang, partogi pangihutan, panungkunan pandapotan, panungkunan ni uhum, pangahitan ni roha, raja na marsahala, na tulut di hata na so lupa di poda, raja singa ni uhum na hot di ruhut-ruhut, pamuro so mantat sior, parmahan so mantat batahi, ompu ni na bisuk na pantas di roha,  parorot so manggotili, parmeme so mambonduti, si pasiang ilu sian mata, si paulak hosa loja, raja parhata siat di tonga ni mangajana, na sintong manimbangi na so siida rupa,  pardasing so ra teleng, parhatian so ra monggal dan lain sebagainya.     
            Keunggulan karakter moral, mental, seperti itu lah yang menjadi parameter kepemimpinan pada komunitas Batak-Toba agar kehadiran seorang pemimpin benar-benar solusi nyata seluruh perikehidupan rakyat dan bangsa.    
            Walaupun kepemimpinan pada Batak-Toba cenderung bersifat non formal, tapi kepemimpinan memiliki peran penting dan strategis menjaga tertib sosial sehingga  kepemimpinan harus dilandasi keunggulan karakter moral agar  diakui, dihormati, dituruti seluruh lapisan masyarakat.   
Pengakuan, penurutan, penghormatan kepada seorang pemimpin pada Batak-Toba didasarkan atas kapabilitas, kredibilitas, integritas, soliditas, serta keistimewaan karakter moral yang pantas ditiru dan ditauladani. Bukan karena paksaan atau berbagai sanksi yang diterapkan.    
 Pada komunitas Batak-Toba kepemimpinan bukanlah kekuasaan territorial (kekuasaan formal) seperti pada sistem kepemimpinan pemerintahan, melainkan kepemimpinan non formal yang berfungsi dan berperan sebagai garda terdepan penjaga nilai-nilai luhur budaya warisan nenek moyang.      
Sebagai garda terdepan menjaga, memelihara nilai kultur budaya, seorang pemimpin harus mampu memosisikan diri perekat seluruh elemen masyarakat. Harus pula difahami paripurna, bahwa penyebutan raja pada Batak-Toba seperti; raja ni hula-hula, raja ni dongan tubu, raja ni boru, raja ni dongan sahuta, raja ni ale-ale, tidak lah indentik dengan sistem kerajaan yang dianut sistem pemerintahan di dunia.
Raja Patik Tampubolon mengatakan, ”Di halak Batak, adong do hata raja di pangke tu ganup horong ima; Raja ni Hula-hula, Raja ni Dongan Tubu dohot Raja ni Boru. Jotjot do diartihon halak ”hata raja” sai songon harajaon pamarentaon, hape ndang apala i na tinuju ni hata i, ai na marlapatan doi tu hatomanon, hasortaon, hahormaton, hasangapon, dohot angka na asing pangalaho na raja.  
Jadi hata raja ima patuduhon ianggo halak Batak ingkon marpangalaho na raja do , ndang songon pangalaho ni hatoban na so marhasangapon di tonga-tonga ni huta dohot mangajana” . (Dalam terjemahan bebas, bahwa pengertian raja pada bangso Batak  bukan raja dalam arti pemerintahan, melainkan kualitas karakter moral, sopan santun, kehormatan, kemuliaan, kewibawaan, dan lain sebagainya. Jadi sebutan raja menunjukkan bahwa bangso Batak harus berperilaku seorang raja, bukan seperti perangai, perilaku budak yang tidak memiliki harga diri, kehormatan sama sekali. Orang yang berperilaku seorang raja akan dihormati ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara).    
Penyebutan predikat raja pada komunitas Batak-Toba lebih menunjuk  sub struktur elemen masyarakat yang setara, sederajat, serta saling menghormati  satu sama lain. Kedudukan atau posisi Hula-hula, Dongan Tubu, Boru adalah setara dan sederajat, hanya fungsi dan tugas lah yang berbeda  di antara ketiga unsur Dalihan Na Tolu (DNT) itu.     
            Dalam demokrasi Dalihan Na Tolu (DNT) yang didasarkan pada kearifan lokal Batak-Toba memosisikan seluruh unsur setara, sederajat dan seimbang dalam hak dan kewajiban masing-masing.
Oleh sebab itu, model kepemimpinan klasik yang telah terbukti mampu menjamin kelanggengan hubungan harmoni komunitas Batak, khususnya Batak-Toba perlu digali dan dikembangkan salah satu model kepemimpinan, baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional.   
            Sehebat, sepesat apa pun capaian kemajuan suatu bangsa, tanpa didasari nilai-nilai luhur kearifan lokal yang telah menjadi identitas atau jati diri bangsa, kemajuan itu hanya lah suatu kemajuan tanpa fondasi kuat.  
Karena itu, kearifan kultur budaya  tidak boleh sekali-sekali disepelekan atau diabaikan dalam proses berbangsa bernegara, sebab nilai-nilai luhur kearifan lokal telah membentuk karakter spesifik bangsa bersangkutan. Bangsa tak berjati diri tak akan pernah tampil menjadi bangsa unggul di percaturan bangsa-bangsa beradab di atas jagat raya ini.  
 Selain daripada itu, harus pula disadari bahwa penyebutan nama suku, bangsa selalu didasarkan atas kearifan lokal bangsa bersangkutan. Misalnya, penyebutan marga pada komunitas Batak, khususnya Batak-Toba didasari adat budaya yang diwariskan para leluhur. Sekalipun pada era belakangan ini, suku-suku lain telah menyandang marga Batak, khususnya Batak-Toba, tetapi penyandangan marga itu  harus lah melalui prosesi adat budaya yang bisa diterima dan diakui komunitas Batak. Tidak boleh asal-asalan, sesuka hati  atau semau gue.   
Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Atau, keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya (KBBI, 2007).  
Budaya (pikiran, akal budi, adat istiadat) tidak mudah dilepaskan dari kepribadian suatu komunitas karena telah mendarah daging atau menjadi jati dirinya. Segala bentuk penyimpangan nilai-nilai budaya yang dianut komunitas merupakan pelanggaran norma-norma hidup yang diakui dan dijunjung tinggi  seluruh elemen masyarakat.  
Oleh karena itu, berbagai kemajuan yang tidak sesuai dengan kultur budaya bangsa belum tentu bisa diterima atau diakui masyarakat, bangsa bersangkutan,  sebab tak  sesuai kultur budaya bangsanya. Misalnya, mode pakaian, gaya bicara, pola tingkah laku, sistem kepemimpinan dan lain sebagainya yang diadopsi dari bangsa lain.   
 Salah satu hal pasti ialah segala sesuatu yang didasarkan atas nilai-nilai hidup atau kultur budaya relatif paling serasi dan efektif karena sesuai dengan jati diri bangsa.
            Selain daripada itu, kemampuan memilih dan/atau menentukan pemimpin negarawan adalah salah satu hal fundamental dalam menentukan arah perjalanan bangsa. Karena hanya ditangan pemimpin berintegritas dan berkepribadian tak tercela dan berkeadilan lah kejayaan bangsa atau negara terjamin.
            Jimly Asshiddiqie mengatakan, ”Negarawan itu orang yang sudah selesai dengan hidupnya, tidak lagi memiliki cita-cita untuk mendapat jabatan lebih tinggi. Tidak lagi punya cita-cita untuk mendapat uang lebih banyak”. (Kompas, 19-02-2014, Hal: 3, Kol: 6).    
            Kehadiran pemimpin negarawan yang mengabdikan seluruh pemikiran dan hidupnya demi kepentingan rakyat salah satu tugas paling dasar, sebab hanya ditangan pemimpin seperti itu lah harapan, cita-cita, dambaan  bisa  suatu kenyataan yakni; kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, serta kebahagiaan seluruh masyarakat, bangsa maupun negara.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.