rangkuman ide yang tercecer

Jumat, 27 September 2019

MEMINIMALISASI RESISTENSI PENOLAKAN PRODUK LEGISLASI.

MEMINIMALISASI RESISTENSI PENOLAKAN PRODUK LEGISLASI.
Oleh: Drs. Thomson Hutasoit.

Mencermati gelombang unjuk rasa atau demonstrasi penolakan beberapa rencana undang-undang (RUU) antara lain; RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, Revisi UU KPK, dan lain-lain dimotori unjuk rasa (unras) atau demonstrasi mahasiswa, pelajar, kelompok masyarakat dengan skala massif di berbagai daerah belakangan ini, perlu diurai, dikaji, dianalisis obyektif, terbuka, transparan, partisipatif, akuntabel, mendalam dan mendetail agar bisa dijadikan pelajaran berharga melahirkan produk legislasi, baik produk legislasi nasional (Prolegnas) maupun produk legislasi daerah (Prolegda) ke depan.
Peristiwa menegangkan dan mencemaskan  di akhir periode Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Pemerintahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) 2014-2019 tinggal menghitung hari, sungguh disayangkan dan disesalkan timbulnya suhu politik memanas mengakibatkan timbulnya  kecemasan dan kekhawatiran ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara semata-mata dipicu polemic dan polarisasi persepsi atas produk legislasi di injury time periodisasi suksesi kekuasaan di negeri tercinta ini.
Harus dimengerti, dipahami paripurna, di alam demokrasi sedang berkembang di republik ini, tuntutan transparansi, partisipasi, akuntabilitas sebagai wujud nyata penyelenggaraan negara atau pemerintahan demokratis serta good goverment and clean governance segala sesuatu kebijakan publik tidak bisa lagi dilakukan tertutup dari akses publik seluas-luasnya sebagaimana dipraktekkan pada masa diktator otoritarian orde baru (Orba) rezim Soeharto demokrasi semu memasung ruang partisipasi publik.
Segala kebijakan publik yang muaranya diperuntukkan bagi seluruh perikehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa lagi didasarkan pada selera pemangku kekuasaan, termasuk pembuat kebijakan publik itu sendiri. Saluran aspirasi publik harus benar-benar dibuka seluas-luasnya untuk menampung dan mengakomodir aspirasi melalui public hearing agar kebijakan publik tidak bias dan menyimpang dari kebutuhan riil berbangsa dan bernegara.
Ketersumbatan saluran (bottle neck) aspirasi melalui lembaga-lembaga negara resmi (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) akan memunculkan gelombang parlemen jalanan (demonstrasi) untuk menerobos ketersumbatan sesuai amanat Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Konsideran Menimbang UU No. 9 Tahun 1998 tentang Keterbukaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum berbunyi selengkapnya;
bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.
bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan wujud demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
bahwa untuk membangun negara demokratis yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib dan damai.
bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
….dst.
Untuk menjamin penyampaian pendapat di muka umum tentu haruslah mengikuti koridor-koridor hukum, norma, etika sosial, norma adat budaya, sehingga penyampaian pendapat di muka umum tetap mencerminkan keadaban serta menjunjung harkat, martabat kemanusiaan. Hal itu selanjutnya diatur tegas, terang-benderang pada pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998, berbunyi; warga negara yang menyampaikann pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggungjawab untuk:
menghormati hak-hak orang lain.
menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum.
menaati hokum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, dan
menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Bangsa Indonesia telah berketetapan hati dan berkomitmen kuat memilih sistem pemerintahan demokratis pasca reformasi 1998 untuk mewujudkan good goverment and clean governance dengan prinsip transparan, partisipatif, akuntabel dalam pengelolaan dan/atau penyelenggaraan negara  atau pemerintahan. Hal itu dibuktikan dengan berbagai peraturan perundang-undangan seperti; Pasal 28F UUD RI 1945, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dll.
Pasal 28F UUD RI 1945 (Amandemen) “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Pasal 28F UUD RI 1945 (Amandemen) ditindaklanjuti Undang_Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan maksud dan tujuan, antara lain:
menjamin hak warga negara untuk mengethaui rencana program, proses, serta latar belakang pembuatan sebuah kebijkan publik yang memengaruhi kepentingan masyarakat.
mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik (bottom up).
mewujudkan tata kelola negara yang transparan dan akuntabel.
mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
mendorong peningkatan kapasitas pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik.
menjamin kepastian hukum masyarakat dalam memperoleh informasi.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, disebutkan antara lain:
Partisipasi masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebut Partisipasi Masyarakat adalah peran serta masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran, dan kepentingannya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Masyarakat adalah orang perseorangan warga negara Indonesia,  kelompok masyarakat, dan/atau organisasi kemasyarakatan.
Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Organisasi Kemasyarakatan.
Konstruksi peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan kadangkala dikangkangi dan diabaikan dalam melahirkan produk legislasi. Akibatnya, muncul resistensi penolakan produk legislasi, baik Prolegnas maupun Prolegda sebagaimana gelombang unjuk rasa atau demonstrasi memakan korban nyawa manusia menolak berbagai RUU belakangan ini.
Bukankah telah diatur tahapan proses legislasi pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tegas, terang-benderang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan…..???????
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU NO. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan telah tegas diatur tahapan harus dipenuhi dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, antara lain:
Perencanaan Peraturan Perundang-undangan.
Perencanaan penyusunan peraturan perundang-undangan dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistim hukum nasional.
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
Rancangan Peraturan Perundang-undangan dapat berasal dari eksekutif atau legislatif.
Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-undang.
Pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan oleh eksekutif bersama legislatif.
Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang telah disetujui bersama oleh legislatif dan eksekutif disampaikan kepada pimpinan eksekutif untuk disahkan menjadi undang-undang.
Pengundangan.
Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
Penyebarluasan.
Penyebarluasan dilakukan DPR, Pemerintah sejak Penyusunan Prolegnas, Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan, hingga Pengundangan Undang-undang.
Penyebarluasan dilakukan untuk memberi informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta pemangku kepentingan.
Hal yang sama berlaku pada Tahapan Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) antara lain:
Perencanaan Peraturan Daerah (Perda).
Penyusunan Peraturan Daerah (Perda).
Pembahasan Peraturan daerah (Perda).
Pengesahan atau Penetapan Peraturan Daerah (Perda).
Pengundangan Peraturan Daerah (Perda).
Penyebarluasan Peraturan Daerah (Perda).
Jika seluruh tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, peraturan daerah (Perda) dilakukan dengan baik dan benar, serta membuka ruang public hearing and public participation seluas-luasnya bisa dipastikan tidak ada resistensi penolakan publik terhadap produk legislasi di republik ini. Akan tetapi, ketentuan peraturan perundang-undangan, peraturan daerah (Perda) sering dikangkangi ataupun diabaikan dalam melahirkan sebuah produk legislasi. Kejar tayang, kejar target, sim sala bim kerap terjadi dengan berbagai alibi berakibat fatal resistensi penolakan publik.
Sekalipun ruang jalur konstitusi terbuka untuk mengoreksi ataupun membatalkan produk legislasi melalui pintu yudicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), legislative review ke DPR, eksecutive review dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang oleh Presiden terhadap sebuah undang-undang atas penolakan publik. Sesungguhnya, hal itu sebuah cermin nyata betapa rendah dan buruk  kualitas sebuah produk legislasi dilahirkan pembuat undang-undang. Sama halnya dengan produk legislasi daerah atau peraturan daerah (Perda) yang dapat diajukan yudicial review ke Mahkamah Agung (MA) juga mencerminkan kualitas rendah dan buruk produk legislasi daerah.
Harus disadari paripurna, prestasi pembentuk atau pembuat undang-undang, peraturan daerah (Perda) tidak ditentukan kuantitas undang-undang, peraturan daerah (Perda) dilahirkan, melainkan kualitas undang-undang, Perda berguna dan bermanfaat bagi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Resistensi Penolakan Publik.
Terlepas dari berbagai berbagai kepentingan politik di belakang penolakan publik terhadap beberapa rancangan undang-undang (RUU) di injury time DPR RI dan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) periode 2014-2019 sungguh amat sangat menarik mengelaborasinya, khususnya Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP).
Sebagaimana diketahui, Kitab Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini adalah KUHP bersumber dari hukum warisan kolonial Belanda yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie, pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad tahun 1915 Nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 januari 1918. KUHP 1915 sumber utamanya ialah WvS Belanda pada tahun 1881 pasca bebasnya negeri Belanda dari Prancis.
Selaku Negara merdeka dan berdaulat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) produk kolonial Belanda, seharusnya tidak berlaku lagi untuk memidanakan rakyat Indonesia merdeka. Hal itu, sesuai dengan bunyi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang menyatakan, “…Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya”. Tetapi harus diakui dan disadari, ketika Indonesia diproklamasikan perangkat undang-undang yang mengatur tatanan berbangsa dan bernegara belumlah tersedia saat itu. Bahkan, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia merdeka baru ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menjadi Hari Konstitusi diperingati setiap tahun saat ini.
Karena itulah para pendiri bangsa (founding fathers) membuat Aturan Peralihan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk mengisi kekosongan hukum, terutama pada pasal 1 dan 2 berbunyi selengkapnya;
Pasal 1. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia.
Pasal 2. Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.
Kemudian, lahir lah Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang menyatakan berlakunya KUHP 1915 dengan berbagai perubahan. Pada bagian akhir undang-undang itu dikatakan akan segera disusun KUHP baru.
Menurut catatan, Perubahan KUHP tidak kurang dari 82 kali sejak 1918, dan ketika Indonesia merdeka tidak kurang dari 12 kali perubahan telah dilakukan terhadap KUHP. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 dan kemudian UU No. 73 Tahun 1958, nyatalah bahwa, bahasa resmi dari KUHP Indonesia masih bahasa Belanda dengan berbagai perubahan, sebagian masih bahasa Belanda dan sebagian bahasa Indonesia.
Upaya keras dan komitmen kuat menerbitkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karya anak bangsa sesuai amanat pasal 2 Aturan Peralihan UUD RI 1945, dan UU No. 1 Tahun 1946 telah dilakukan pemerintahan di republik ini. Tapi apa lacur, hingga 74 tahun pasca kemerdekaan belum terealisasi dengan nyata hingga saat ini.
Seluruh anak bangsa harus mengerti dan menyadari paripurna, melahirkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karya anak bangsa adalah perintah konstitusi, sekaligus pembuktian riil kemampuan anak bangsa melahirkan karya monumental berhukum di negara merdeka dan berdaulat.
Apakah Negara Republik Indonesia berdasarkan hukum telah benar-benar merdeka dan berdaulat ketika seluruh rakyatnya tunduk dan terpidana dibawah produk hukum penjajah kolonial Belanda….???
Inilah permenungan mendalam dan mendetail dari seluruh anak bangsa yang menyatakan diri berjiwa kebangsaan keindonesiaan sejati. Berbagai kelemahan, kekurangan yang terdapat pada Rancangan Undang_Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang ditunda pengesahan dan penetapannya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus disadari paripurna sebuah karya monumental tertunda tonggak sejarah berbangsa dan bernegara.
RUU KUHP tidak boleh “dibunuh atau dimatikan” oleh siapapun di negeri ini. Bila terdapat kelemahan, kekuarangan, sebaiknya dibuka ruang dialog ataupun ruang perdebatan ilmiah  melibatkan ruang partisipasi publik seluas-luasnya dalam kurun waktu tidak terlalu lama supaya  tidak ada lagi anak negeri terpidana dengan hukum penjajah kolonial Belanda sudah out of date, serta mengabaikan perintah konstitusi. 
Para pakar hukum, elemen masyarakat serta pembentuk peraturan perundang-undangan hendaknya mengedepankan jiwa nasionalisme kebangsaan Indonesia memikirkan perlu pentingnya kehadiran KUHP karya anak bangsa sesuai perintah konstitusi. Hilangkan ego sektoral masing-masing untuk menghadirkan karya monumental (KUHP) warisan generasi sepanjang masa.
Bersatu kita teguh, Bercerai kita runtuh.
Salam NKRI……..!!! MERDEKA…….!!!
Medan, 27 September 2019
Penulis: Penasehat Dewan Pimpinan Cabang Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (DPC ISRI) Kota Medan (pendapat pribadi). .


 

  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.