rangkuman ide yang tercecer

Minggu, 08 Maret 2015

Pembuktian Janji Presiden Jokowi



Pembuktian Janji Presiden Jokowi “Hanya Tunduk Konstitusi dan kehendak Rakyat”
Oleh : Thomson Hutasoit  
Pendahuluan.
            Ketika presiden/wakil presiden Joko Widodo (Jokowi)/ H.M. Jusuf Kalla (JK) menucapakan Sumpah/Janji di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 20 Oktober 2014 lalu, Jokowi dengan tegas dan lantang mengatakan “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” tentu diingat dan dicatat rakyat republik ini sebagai parameter mengukur konsistensi pemerintahan Jokowi/JK untuk lima tahun ke depan.
            Mungkin bagi sebahagian pihak di negeri ini pernyataan Jokowi itu dianggap hanya sekadar jargon politik, bahkan lips service belaka bercermin pada statement-statement politik pemerintahan sebelum-sebelumnya yang sangat berbanding terbalik antara pernyataan atau janji-jani dengan fakta empirik implementasi di lapangan. Bahkan, di masa pemerintahan otoritarian orde baru (Orba) rezim Soeharto rakyat harus pintar membaca makna terbalik dibalik pernyataan pemerintahan ketika itu. Berbagai jargon politik seperti menyesuaikan harga yang memiliki makna sama dengan kenaikan harga, dan lain-lain amat sangat banyak diproduksi untuk “mengelabui” berbagai kebijakan keliru pemerintahan. Rakyat diposisikan sebagai “mahluk bodoh” yang tidak mampu sama sekali mengerti dan memahami pengelolaan tata pemerintahan yang baik dan benar. Dan jika ada yang berani melakukan penolakan dan parotes terhadap pemerintah berkuasa siap-siap dijadikan musuh negara dengan diberi label “PKI (Partai Komunis Indonesia)” yang merupakan momok paling menakutkan pada zaman itu. Bahkan banyak rakyat yang kritis terhadap pemerintahan mengalami “kematian perdata” tanpa pernah mengetahui pelanggaran hukum apa yang telah dilakukan.
            Penolakan terhadap kebijakan pemerintah berkuasa diotomatisasi sebagai penolakan terhadap negara. Padahal, pemerintahan berkuasa (eksekutif) tidaklah sama dan indentik dengan negara yang menurut para ahli tata negara, bahwa negara terdiri dari pemerintahan yang sah, rakyat, wilayah dan pengakuan internasional. Sehingga amat keliru besar apabila menyamakan pemerintah berkuasa (eksekutif/presiden) dengan negara.
            Sekalipun secara tegas, jelas, terang-benderang dalam konstitusi dinyatakan, bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan hukum tetapi dalam kenyataannya hukum cenderung dijadikan alat kekuasaan. Bahkan banyak peraturan perundang-undangan diproduksi semata-mata alat kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan itu sendiri. Akibatnya, ketundukan terhadap hukum dan konstitusi tergantikan masif dan absolut ketundukan pada kekuasaan. Karena itu, muncul pameo di ruang publik “segudang kebenaran segenggam kekuasaan, kekuasaan lah menentukan atau pemenang”. Pameo ini tentu sangatlah berbahaya dan mengancam eksistensi negeri ini sebagai negara hukum.
            Karena itu, pernayataan Jokowi di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia ketika dirinya resmi secara de facto dan de jure sebagai presiden Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sungguh fundamental, cerdas dan jenial untuk mengembalikan rel manajemen pengelolaan negara yang hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat sebagai wujud nyata negara hukum dan demokrasi.
            Pernyataan kenegaraan yang dikumandangkan Presiden Jokowi kepada seluruh rakyat Indonesia, bahkan ke seluruh penjuru seantero jagat raya kemungkinan besar terluput dari pantauan pihak-pihak tertentu karena ketika itu ada yang dimabuk eforia kemenangan dan adapula yang masih dirundung kekalahan sehingga pernyataan sang presiden yang sedemikian esensial terluput pula dari perhatian sungguh-sungguh atas statement politik pemerintahan Jokowi-JK lima tahun ke depan.
            Seandainya, setiap orang, elite politik di negeri ini mengerti, memahami dan menyadari arti dan makna pernyataan Presiden Jokowi komprehensif dan paripurna maka tak perlu heran dan terperanjat atas langkah kebijakan Jokowi dalam menyelesaikan berbagai kisruh politik yang terjadi di republik ini, termasuk penyelesaian kisruh Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dipicu pengajuan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selanjutnya oleh Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dinyatakan tidak sah dan tidak mengikat secara hukum.
            Dalam situasi kegaduhan dan kisruh politik yang sedemikian sulit dan pelik Presiden Jokowi dipaksa dan ditekan dari berbagai kutub kepentingan politik seperti partai politik pendukung yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yakni; PDI-Perjuangan, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP kubu Romi), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP-Indonesia). Partai oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yakni; Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) Partai Demokrat (PD), Partai Bulan Bintang (PBB). Koalisi masyarakat sipil penggiat anti korupsi, pakar hukum, akademisi, dan kelompok masyarakat lainnya yang kadangkala “merasa di atas hukum” memaksakan kehendak masing-masing dengan berbagai argumentasinya.
            Menghadapi kisruh dan kegaduhan politik itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan jiwa kenegarawanan yang sangat luar bisa dengan mengeluarkan statement  politik “Jangan ada sok di atas hukum”. Pernyataan ini tentu terasa menohok bagi pihak-pihak yang selama ini “paling hebat, paling top, paling benar. paling suci, paling pintar, paling berkuasa” di negeri ini.
            Pernyataan itu sebenarnya adalah sebuah sinyal sikap politik Presiden Jokowi sebagaimana telah diucapkan di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia 20 Oktober 2014 “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat”.


Tunduk pada Konstitusi.
            Bagi sebahagian orang Sumpah/Janji Jabatan mungkin dipandang hanya sekadar upacara seremonial belaka. Tapi bagi Presiden Jokowi yang mengawali karier politik dari Walikota Surakarta Solo, Gubernur DKI Jakarta selanjutnya Presiden Republik Indonesia adalah Sumpah/Janji yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum, moral dan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga Sumpah/Janji Jabatan itu adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar dengan alasan apapun juga.
            Pada pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan tegas dikatakan, bahwa Sebelum memangku jabatanya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana termaktub pada  Sumpah Presiden (Wakil Presiden): “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
            Bila diperhatikan dan dicermati seksama lafal Sumpah Presiden (Wakil Presiden) pada pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 maka pernyataan Presiden Jokowi “Hanya Tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” adalah wujud nyata Negara Republik Indonesia (NRI) sebagai negara hukum.
 Walaupun presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tidak boleh sekali-sekali mempertontonkan kekuasaan “di atas hukum (konstitusi)”. Sebab kekuasaan presiden bukan tak terbatas. Jika presiden memosisikan diri di atas hukum bukan tunduk kepada konstitusi maka presiden telah menjadikan dirinya diktator otoriter sebagaimana rezim pemerintahan Soeharto yang ditumbangkan reformasi 1998 lalu.    
            Sekalipun Joko Widodo (Jokowi) kader PDI-Perjuangan serta didukung partai pengusung yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dia sadar sesadar-sadarnya begitu mengucapkan Sumpah Presiden dirinya “hanya tunduk kepada konstitusi dan kepentingan Nusa dan Bangsa” bukan lagi tunduk pada kepentingan partai politik pengusungnya apalagi masih menjadikan dirinya petugas partai yang notabene partisan.
Batas Jokowi petugas partai berhenti dan berakhir ketika Joko Widodo (Jokowi) mengucapkan Sumpah Presiden di hadapan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia, kemudian sejak detik itu Jokowi telah memangku Jabatan Presiden Republik Indonesia milik seluruh rakyat Indonesia, bukan presiden partai politik tertentu.   
            Sebagai milik seluruh rakyat Indonesia, baik yang berpartai politik maupun non partai politik Jokowi harus memosisikan diri “hanya tunduk pada konstitusi” bukan lagi tunduk kepada partai politik. Pertanyaannya ialah apakah Jokowi telah “mengkhianati atau mbalelo” terhadap partai politik pengusungnya ? Tentu tidak ! Justru partai politik pengusungnyalah yang tidak memahami, menyadari arti dan makna Sumpah Presiden (Wakil Presiden) secara baik dan benar sehingga masih ingin “mendikte dan memaksakan” kepentingan partai politiknya kepada kader partai yang telah memangku jabatan publik yang memikul kewajiban mengayomi, melindungi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Kekeliruan pengertian, pemahaman demikianlah memicu  kecenderungan ketua atau petinggi partai politik berusaha sekuat tenaga dan pemikiran menjadi calon presiden, gubernur, bupati/walikota di negeri ini.
            Pada sistem pemerintahan parlementer ketua atau petinggi partai politik menjadi presiden/wakil presiden, gubernur, bupati/walikota adalah hal wajar, tetapi pada sistem pemerintahan presidensial hal seperti itu harus dipahami suatu kekeliruan luar biasa sebab presiden adalah pilihan rakyat langsung.
            Sekalipun calon presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota diusung partai politik tetapi menentukan keterpilihan tetap berada di tangan rakyat, bukan di tangan partai politik. Buktinya, calon presiden, gubernur, bupati/walikota dengan pasangannya yang didukung partai politik besar ataupun koalisi partai-partai tidak otomatis memenangi pemilihan yang digelar. Partai politik atau koalisi partai politik yang merupakan “makhluk aneh” pada sistem pemerintahan presidensial sejatinya hanya berfungsi dan berperan memasok dan mengajukan kader-kader terbaiknya untuk dipilih rakyat pada pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-undang Pemilihan Umum, Undang-Undang Partai Politik, dan lain sebagainya.     
            Kekeliruan semacam inilah yang ingin diperbaiki dan diluruskan Presiden Jokowi yang diawali statement  politik kenegaraan pada detik-detik awal memangku presiden periode 2014-2019 di depan Sidang Paripurna MPR RI 20 Oktober 2014 lalu. Sikap politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) “hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” sepertinya belum bisa diterima para elite politik yang selama ini telah “merampas dan mengkudeta” kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik. Sikap politik Presiden Jokowi yang seiring sejalan dengan amanah konstitusi telah dianggap para “oportunis” politik sebagai “pengkhianatan atau sikap mbalelo” Jokowi pada partai pengusung serta terancamnya kepentingan partai dalam pemerintahan Jokowi-JK lima  tahun ke depan.
            Statement keras tak luput dilontarkan di ruang publik, bahkan niatan-niatan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak mengajukan pendapat sebagai cermin kekecewaan atas sikap politik Jokowi, sadar atau tidak sadar memperjelas kekeliruan mengerti dan memahami sistem pemerintahan presidensial sejati para elite politik di republik ini. Untunglah, kecerdasan politik rakyat di negeri ini telah jauh menembus “kelicikan” pencundang-pecundang politik yang bertengger dipusaran epicentrum partai politik saat ini.    
            Tunduk pada konstitusi bukan sekadar retorika dan penghias bibir (lips service) tetapi upaya nyata melandaskan kebijakan publik beralaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 beserta seluruh peraturan perundang-undangan seadil-adilnya, selurus-lurusnya tanpa intervensi pihak manapun. Inilah wujud ketegasan seorang negarawan sejati, bukan para oportunis politik,  “sok di atas hukum” yang merasa diri paling hebat dan paling berjasa di negeri ini.  
            Berbagai pihak berteriak lantang tentang kepastian hukum tetapi jika diperhatikan dengan cermat dan seksama tidak sedikit pula mereka mempertontonkan perilaku ambivalen, ambigu ketika bersinggungan dengan kepentingan politiknya sendiri. Bahkan tidak sedikit pula menjalankan hukum sebagai alat kekuasaan yang ujung-ujungnya merusak tatanan hukum di republik ini berakibat negara hukum tanpa kepastian hukum. Fenomena yang terjadi belakangan ini hukum tunduk di bawah tekanan “unjuk rasa/demonstrasi ataupun politik” karena merasa “Sok di atas hukum”.   
            Kesadaran Presiden Jokowi memosisikan diri “Tunduk pada konstitusi” ketika kekuasaan digenggam adalah suatu hal langka dan istimewa di belantara haus kuasa yang selalu memosisikan diri di atas hukum patut dimaknai oase di gurun pasir kekacauan berhukum di negeri ini.
Jika makna sejati kehadiran hukum untuk membatasi arogansi kekuasaan terhadap pihak lemah maka sepanjang sejarah perjalanan republik ini justru sebaliknya hukum menjadi alat kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan itu sendiri. Disinilah bukti nyata, bahwa pemangku kekuasaan “Tidak pernah nyata-nyata hanya tunduk pada konstitusi” sebagaimana sikap tegas Presiden Jokowi yang berkehendak kuat menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara baik dan benar supaya republik ini benar-benar negara hukum.   
            Oleh sebab itu, pernyataan tegas Presiden Jokowi “hanya tunduk konstitusi” harus dijadikan kesadaran baru untuk menghentikan dan mengakhiri segala bentuk intervensi hukum dalam bentuk apapun agar republik ini mampu menyongsong hari depan lebih baik.
Tunduk pada kehendak rakyat.  
             Pernyataan “tunduk pada kehendak rakyat” adalah cerminan nyata menghormati, menjunjung tinggi daulat rakyat yang memilih Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 melalui pemilhan umum 2014 lalu.
            Jokowi menyadari sesadar sadarnya, bahwa keterpilihannya sebagai presiden dan H.M. Jusuf Kalla wakil presiden tidak lain dan tidak bukan hanyalah kehendak rakyat semata. Partai politik pengusung adalah kendaraan atau sarana pencalonan yang diamanahkan konstitusi. Keterpilhan pasangan calon presiden, gubernur, bupati/walikota bukan ditentukan partai politik, tetapi pilihan (suara) rakyat terhadap sosok (figur) calon pemimpin yang dikehendaki rakyat itu sendiri.
            Harus disadari pula, bahwa keterpilihan presiden, gubernur, bupati/walikota dalam sistim pemilihan langsung ditentukan suara rakyat bukan suara partai politik. Karena itulah presiden hanya tunduk pada kehendak rakyat yang memilihnya, bukan partai politik pengusungnya. Rakyat lah yang berdaulat untuk memilih dan menentukan pemimpinnya (presiden/wakil presiden), sementara partai politik hanya berhak mengajukan atau mengusung calon presiden, gubernur, bupati/walikota dalam pemilihan umum.
            Ketegasan sikap politik Jokowi yang “hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” adalah wujud nyata jiwa kenegarawanan sejati yang mengerti dan memahami komprehensif paripurna sistem pemerintahan presidensial murni yang dibelokkan pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
            Pergantian rezim pemerintahan sejak republik ini merdeka belum secara nyata-nyata memperkuat sistem pemerintahan presidensial harus pula dimaknai sebagai akibat kekeliruan pemahaman tentang sistem pemerintahan yang diamanahkan konstitusi. Kekeliruan pemahaman itulah yang ingin diperbaiki dan diluruskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diawali sikap politiknya “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia 20 Oktober 2014 lalu.
            Sikap politik yang ingin mengembalikan “Kedaulatan di tangan rakyat” bukan di tangan partai politik seharusnya dimaknai seluruh rakyat Indonesia sebagai “Tonggak Sejarah Baru” kembalinya republik ini pada cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers) yang diproklamerkan 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti ditegaskan pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” (Asli), selanjutnya diamandemen pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
            Selanjutnya, pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”; dan seterusnya.
            Dari amanah konstitusi ini jelaslah, bahwa sikap politik Presiden Jokowi adalah seiring sejalan, senafas dan sejiwa dengan amanah konstitusi sehingga sangat tidak beralasan bila ada partai politik ingin memakzulkan (impeachment) Jokowi karena tidak “tunduk” pada garis partai politik pengusungnya.
            Presiden Jokowi berkeinginan kuat untuk menegakkan, menjunjung tinggi  konstitusi dengan baik dan benar, sebaliknya partai politik ingin membelokkan, mengkhianti konstitusi demi kepentigan partai. Kisruh, karut marut peta politik pasca pelantikan Presiden Jokowi/Wakil Presiden JK mempertegas kekeliruan pemahaman sistem pemerintahan presidensial selama ini.  Presiden Jokowi ingin meluruskan, mengembalikan sistem pemerintahan presidensial yang baik dan benar, sementara partai politik pungusung tak rela melepaskan cengkraman politiknya terhadap presiden/wakil presiden karena tetap masih beranggapan/berasumsi presiden adalah “petugas partai”.
            Sikap politik Jokowi “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” tidak boleh kendur sebab sikap dan jiwa kenegarawanan seperti itulah dambaan seluruh rakyat di negeri ini untuk mengembalikan “kedaulatan ditangan rakyat” secara nyata.
            Maju terus, rakyat berada dibelakang pemerintahan Jokowi-JK.
                                                                                                            Medan, 8 Maret 2015
(Penulis: Alumni Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat Tokoh Pemuda di Provinsi Sumatera Utara tahun 2014).      

Mangalusi Soara Na Jou-jou Sian Tano Tipang



Mangalusi Soara Na Jou-jou
Sian Tano Tipang
Bona Pasogit
Borsak Bimbinan Hutasoit
“Pature Bona Pasogit Mi”

Pendahuluan.
            Sesungguhnya, Pomparan Borsak Bimbinan Hutasoit dimana pun berada amat sangat merindukan Bona Pasogit Tano Tipang, bahkan setelah mengetahui, bahwa Bona Pasogit Borsak Bimbinan Hutasoit adalah Tano Tipang telah banyak yang datang maupun berkeinginan kuat untuk menginjakkan kaki ke Tano Tipang, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Tidaklah terlalu disalahkan jika banyak generasi (pomparan) Borsak Bimbinan Hutasoit selama ini belum mengetahui secara pasti Bona Pasogitnya, terutama generasi-generasi yang lahir di perantauan (diaspora).
            Generasi (pomparan) Borsak Bimbinan Hutasoit yang saat ini sudah generasi 20-an (sundut 20) dan berasal dari berbagai daerah yang kemungkinan besar belum memperoleh penjelasan utuh dari para orang tuanya tentang Bona Pasogit Borsak Bimbinan Hutasoit adalah Tano Tipang kemungkinan besar bertanya-tanya dimana sebenarnya Bona Pasogit Borsak Bimbinan Hutasoit. Sebab, dari berbagai diskusi dan perbincangan hingga kini masih banyak belum mengetahui dimana letak Tano Tipang Bona Pasogit Borsak Bimbinan Hutasoit.
            Mars Borsak Bimbinan yang digubah Bapak Gr. T. Richard Hutasoit (Op. Sabar Doli) dengan judul “BORSAK BIMBINAN MARS” yang kerap dinyanyikan ketika pesta adat Pomparan Borsak Bimbinan di Kota Medan Sekitarnya maupun di daerah-daerah lain sungguh menyentuh hati sanubari generasi Borsak Bimbinan Hutasoit, apalagi jika dihayati sungguh-sungguh ajakan syair Mars tersebut.
            Untuk mengingatkan kembali serta mengetuk hati sanubari, membuka pikiran seluruh POMPARAN BORSAK BIMBINAN HUTASOIT untuk menghayati  sungguh-sungguh dalamnya pesan (tona) “BORSAK BIMBINAN MARS” yaitu:
1.    Hutasoit Hutasoit Borsak Bimbinan i, anak ni Toga Sihombing, ima siampudan i. Tano Tipang parserahan ni sude pinompar mi. Rodi desa naualu na torop pinompar mi. Sahat ma, sahat ma, sai manumpak ma Tuhanta sahat ma pinompar mi.
2.    Hutasoit nang Sigumpar, Siborong-borong i, nang di Butar Huta Julu tung torop pinompar mi. Nang luat pangarantoan di luat na dao i. Di Sumatera di Jawa sahat tu Irian i. Gabe ma, gabe ma, sai manumpak ma Tuhanta, gabe ma pinompar mi.
3.    Pinompar ni Hutasoit naung parjabatan i, songoni nang pengusaha angka naung mamora i. Sotung lupa ho manogu angka na umposo i. Asa sai marudut-udut angka parjabatan i. Togu ma, togu ma, Sotung lupa ho manogu Boru, Haha Anggimi.
Pesan “BORSAK BIMBINAN MARS” ini sungguh amat dalam, sebab Mars ini  menggambarkan “Napak Tilas” daerah domisili (parserahan) Pomparan Borsak Bimbinan Hutasoit hingga penjuru dunia. Selanjutnya, mengajak dan  menghimbau supaya seluruh generasi Borsak Bimbinan Hutasoit saling dukung-mendukung, topang-menopang, bahu-membahu untuk menggapai kemajuan di dalam segala segmen kehidupan berbangsa maupun bernegara.
“BORSAK BIMBINAN MARS” telah memotret cermat dan cerdas berbagai kemajuan yang telah dicapai generasi Borsak Bimbinan Hutasoit seperti rohaniawan (Eporus, Pendeta, Sintua dan lain-lain), pejabat eksekutif (menteri, petinggi perbankan dan keuangan), pejabat legislatif  (DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), pejabat di yudikatif (hakim, jaksa, polri dan TNI) petinggi Partai Politik, Intelektual dan Akdemisi, Pengusaha, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda dan lain sebagainya mengangkat harkat dan martabat Borsak Bimbinan Hutasoit ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Berbagai capaian prestasi, prestise keturunan Borsak Bimbinan Hutasoit hendaknya dijadikan modal awal memperkuat, mempererat “Tali Persaudaraan” membangun persatuan-kesatuan POMPARAN BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dimana pun berada, termasuk mendorong terwujudnya “PEDULI BONA PASOGIT” untuk menjawab “SOARA NA JOU-JOU SIAN TANO TIPANG BONA PASOGIT BORSAK BIMBINAN HUTASOIT” sebagaimana dikumandangkan 10 September 2013 lalu.
Harus diakui bahwa capaian prestasi dan prestise keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT masih upaya dan kerja keras individu belum atas dukungan, sokongan persatuan dan kesatuan keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT sebagaimana yang telah dilakukan marga-marga lain. Karena itu, sudah waktunya mempertajam visi-misi setiap persatuan (punguan) BORSAK BIMBINAN HUTASOIT, BORU, BERE untuk menjabarkan langkah-langkah konkrit meraih sukses kolektif sesuai pesan (tona) nenek moyang yakni; sisada anak sisada boru, sisada las ni roha sisada arsak ni roha, sisada lulu di anak sisada lulu di boru, tolong menolong, bahu membahu, topang menopang dalam meraih sukses ditengah-tengah kehidupan bermasyarat, berbangsa maupun bernegara.  
Untuk itulah langkah awal (starting point)  membangun dan memperkuat visi-misi kolektif Keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT melalui sosialisasi PEDULI TANO TIPANG BONA PASOGIT BORSAK BIMBINAN HUTASOIT  ke seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dimana pun berada, termasuk seluruh tano parserahan (diaspora)  merupakan syarat mutlak agar Tano Tipang yang merupakan asal usul (bona pasogit) BORSAK BIMBINAN HUTASOIT diketahui, didukung seluruh generasi dimanapun berada.
Punguan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT, BORU, BERE dimana pun berada perlu membicarakan dan memusyarahkan langkah-langkah konkrit untuk menjawab SOARA NA JOU-JOU SIAN TANO TIPANG BONA PASOGIT BORSAK BIMBINAN HUTASOIT “PATURE BONA PASOGIT MI” sebagai simbol hasadaon, martabat dan harga diri seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT sepanjang masa.
Membicarakan, memugar dan/atau membangun situs sejarah Bona Pasogit BORSAK BIMBINAN HUTASOIT tentu saja haruslah melibatkan seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dimanapun berada sebagaimana pesan (tona) nenek moyang mengatakan “Ndang boi ripe-ripe gabe pangumpolan, ndang boi pangumpolan jadi ripe-ripe”. Oleh karena itu, diperlukan musyawarah mufakat seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT untuk menentukan langkah-langkah berikutnya.
Membentuk Panitia (Tim) Penggagas/Pemrakarsa.
            Sebagai perhelatan akbar (Ulaon godang) yang meliputi puluhan generasi tentu haruslah melibatkan seluruh rumpun ompu yang merupakan representasi (mewakili) tiap-tiap ompu keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT. Hal itu bertujuan agar seluruh keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT terlibat secara keseluruhan.
            Panitia atau Tim Penggagas/Pemrakarsa bertugas untuk mempersiapkan agenda-agenda kerja (program) yang akan dibicarakan, dimusyawarakan dan disefakati pada suatu rapat kerja yang dihadiri perwakilan seluruh daerah, baik di bona pasogit maupun daerah perantauan (tano parserahan) dimanapun berada.
            Rapat kerja selanjutnya memusyawarahkan dan memufakati agenda-agenda yang telah dipersiapkan Panitia atau Tim Penggagas/Pemrakarsa untuk disosialisasikan di tiap-tiap daerah masing-masing. Dengan demikian, tiap-tiap daerah terlibat dan berpartisipasi aktif untuk menyukseskan agenda-agenda yang telah disefakati tersebut.
            Oleh sebab itu, langkah awal paling fundamental yang harus dilakukan bukanlah berfokus pada pembangunan situs sejarah warisan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT melainkan kesefakatan bersama (hasadaon ni roha) untuk membentuk visi-misi bersama seluruh keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT memperkuat persatuan dan kesatuan ke depan. Membangun situs-situs sejarah secara fisik adalah wujud nyata terbangunnya HASADAON seluruh keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT.
            Sebab, bila seluruh keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT telah memiliki visi-misi bersama membangun BONA PASOGIT asal-usul sejarah bukanlah hal sukar dan sulit untuk dikerjakan. Melibatkan seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT di bona pasogit dan perantuan (tano parserahan) adalah hal paling dasar dan fundamental hingga terjalin ikatan batin diikat tali darah (na niihot ni mudar) semakin melekat dan terpatri di dalam hati sanubari untuk mewujudkan ajakan, seruan MARS BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dalam wujud nyata di masa akan datang.
            Inilah salah satu inti sari pertemuan hari Sabtu, 27 Pebruari 2014 di Tano Tipang yang dihadiri rombongan dari Kota Medan Sekitarnya, Kota Pematang Siantar, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan yang saat itu dihadiri langsung Ketua DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Manaek Hutasoit beserta istri.
            Dalam pertemuan itu juga Manaek Hutasoit diamanahkan untuk mempersiapkan pembentukan dan memfasilitasi pertemuan (rapat) di Kabupaten Humbang Hasundutan melibatkan daerah-daerah perantuan dalam waktu dekat.
            Kesediaan Manaek Hutasoit mempersiapkan pertemuan (rapat) di sela-sela kesibukannya selaku Ketua DPRD Humbang Hasundutan demi persatuan dan kesatuan Pomparan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT sudah selayaknya menggugah hati sanubari seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT untuk berpartisipasi aktif menyukseskan agenda besar HASADAON NI ROHA untuk memperkuat dan mempererat persatuan dan kesatuan Pomparan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT ke depan.
            Kita patut bersyukur seruan SOARA NA JOU-JOU SIAN TANO TIPANG BONA PASOGIT BORSAK BIMBINAN HUTASOIT ”PATURE HUTAMI” telah sampai ke seluruh penjuru dunia serta mendapat respon positif dari generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dimanapun berada dan akan terjawab secara nyata melalui rencana aksi (action plan) pertemuan-pertemuan terencana, terprogram, terpadu dan terkoordinasi antara bona pasogit dan perantauan.
            Akhirnya, songon umpasa ni sijolo-jolo tubu na mandok; “Tampulan ni sibaganding di dolok ni pangiringan, Horas ma Pomparan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT tongtong ma hita marsipairing-iringan”.
“Mual ni Borsak Bimbinan pasombu uas ni natorop, Horas gabe ma pomparan sahata satahi jala satolop”.
“Balittang ma pagabe tumundalhon sitadoan, Horas ma luhut Pomparan ni Borsak Bimbinan, tongtong ma hita masipaolooloan”.     
            Horas ! Horas ! Horas !
                                                                                                            Medan, 3 Maret 2015

                                                                                                            Thomson Hutasoit.
(Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit Kota Medan Sekitarnya).   
             
               
             
  

     

Kedudukan Hak Waris Batak Toba



Kedudukan Hak Waris Batak Toba
Oleh: Thomson Hutasoit

Pendahuluan.
            Batak adalah bangso (suku-red) yang menganut sistem keturunan atau kekerabatan garis bapa (patrilineal) sehingga meletakkan hak waris penuh pada anak laki-laki. Salah satu hak waris paling dasar bagi suku Batak, khususnya Suku Batak Toba adalah garis silsilah (Tarombo) yang diwariskan turun-temurun pada anak laki-laki. Sementara anak perempuan (boru-red) tak pernah dijadikan penerus garis silsilah (tarombo) sebab anak perempuan (boru) akan mewarisi garis silsilah (tarombo) suaminya pasca perkawinan.  
            Warisan paling dasar dan fundamental bagi Batak Toba adalah mewarisi garis silsilah, bukan harta kebendaan sebagaimana sering dipersengketakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan atas harta peninggalan orang tua.
            Jika diperhatikan cermat dan seksama, bahwa penyelesaian sengketa warisan peninggalan orang tua antara anak laki-laki (baoa-red) dengan anak perempuan (boru-red) pasca Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 tanggal 1 November 1961 yang memutuskan Kedudukan Laki-laki dan Perempuan Batak sama dalam Warisan, Yurisprudensi MA itu sepertinya tidak secara utuh bisa dijadikan memberi kedudukan sama antara laki-laki dengan perempuan terlebih pada warisan dasar silsilah (tarombo) hingga saat ini.
            Penulisan silsilah (tarombo) pada Batak Toba sebagai simbol keturunan (sundut-red) selalu didasarkan pada anak laki-laki yang mewarisi marga bapaknya bukan marga ibu seperti yang diwarisi sistem garis keturunan matrilineal. Padahal, garis silsilah (tarombo) inilah warisan paling dasar bagi Batak Toba sepanjang masa, bukan pemilikan harta benda dari orang tua yang telah meninggal.
            Karena itu, Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 belum secara penuh dan bulat menyelesaikan sengketa waris pada Batak Toba, apalagi pasca penyelesaian sengketa warisan melalui peradilan negara akan berimplikasi terputusnya hubungan persaudaraan (Hula-hula dan Boru-red) yang sangat kontradiksi dengan falsafah Dalihan Na Tolu (DNT); somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru.
            Pengadilan Negara yang mengadili sengketa Harta Warisan sejatinya hanyalah terbatas pada harta benda fisik an sich, sementara warisan non fisik seperti silsilah (tarombo) tidak pernah tersentuh Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang merupakan hak waris fundamental tradisional berdasarkan kultur budaya Batak Toba. Sehingga pilihan penyelesaian sengketa warisan Batak Toba perlu dipertimbangkan matang, seksama dan hati-hati sebab bisa menimbulkan terputusnya hubungan kekerabatan (marhula-hula marboru-red) pasca putusan pengadilan.
Hak Waris Mutlak Absolut.
            Bangso (Suku-red) Batak yang menganut sistem keturunan patrilineal (laki-laki) meletakkan garis keturunan mutlak absolut pada laki-laki. Garis keturunan itu pada Batak dikenal garis Silsilah (Tarombo) yang diwariskan turun-temurun sejak dari nenek moyang Batak.
            Pada Batak, khususnya Batak Toba tidak pernah dituliskan anak perempuan (boru) di garis Silsilah atau Tarombo hingga saat ini. Garis Silsilah atau Tarombo selalu diletakkan pada anak laki-laki. Senadainya pun ditemukan nama anak perempuan (boru) tertulis di dalam Tarombo, hal itu hanyalah nama melekat pada bapaknya atau ompungnya saja. Bukan berarti, bahwa si anak perempuan (boru) itu melanjutkan garis silsilah atau tarombo kerabatnya. Karena itu, di daerah Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan masih bisa ditemukan prosesi adat “Ganti Nama” dari anak perempuan (boru) kepada itonya (laki-laki) untuk dilekatkan menjadi sebutan “pahompu panggoran” bagi ompungnya. Tetapi di daerah-daerah lain prosesi adat seperti itu bisa saja tidak dilembagakan lagi pada masa-masa belakangan ini. Walau demikian, penerus silsilah atau tarombo tetap hak waris mutlak absolut anak laki-laki.
            Hak waris mutlak absolut (Silsilah atau Tarombo) adalah konsekwensi pilihan garis keturunan laki-laki yang dianut Bangso (Suku) Batak sejak dari leluhur.
            Harus pula diingat dan dipahami, bahwa sistem garis keturunan yang ada di atas jagat raya ini ada tiga macam, yakni; garis keturunan patrilineal (laki-laki), garis keturunan matrilineal (perempuan), dan garis keturunan parensial (laki-laki, perempuan) sehingga pemberian atau peletakan hak warisan mutlak absolut pada anak laki-laki pada Batak, khususnya Batak Toba adalah konsekuensi pilihan hukum garis keturunan patrilineal.
            Hak waris paling fundamental bagi Batak adalah garis Silsilah atau Tarombo secara turun-temurun, bukan hak waris kebendaan (harta benda) seperti kasus-kasus hukum yang sering diajukan ke meja pengadilan oleh generasi Batak Toba belakangan ini.
            Berbagai kasus tuntutan hak waris Batak Toba yang diselesaikan melalui pengadilan negara belakangan ini perlu dipikirkan mendalam dan mendetail melalui pengertian, pemahaman komprehensif paripurna hak waris sejati dalam sistem garis keturunan patrilineal yakni garis Silsilah atau Tarombo Batak Toba dari generasi ke generasi. Sebab garis keturunan bapak bagi Batak, khususnya Batak Toba telah menjadi tatanan baku dalam sistem kekerabatan (Partuturan) secara universal. Sementara perebutan harta warisan hanyalah bersifat kasuistik diantara bersaudara satu bapak (marhaha maranggi, mariboto na marsaama) dalam pembagian harta warisan peninggalan orang tua.
            Pengertian, pemahaman kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan berdasarkan kultur budaya Batak, khususnya Batak Toba yang menganut sistem garis keturunan patrilineal, anak laki-laki ialah penerus garis Silsilah atau Tarombo bapaknya merupakan ketentuan baku dalam penulisan garis Silsilah atau Tarombo terlembagakan sejak zaman nenek moyang hingga saat ini. Sedangkan anak perempuan (boru) yang akan kawin ke laki-laki lain akan mewarisi garis Silsilah atau Tarombo suaminya sehingga dikenal ungkapan Batak Toba “Boru patimbo parik ni halak”. Artinya, marga suaminyalah menjadi garis Silsilahnya pasca perkawinan, bukan lagi marga bapaknya. Dan disinilah titik episentrum mengapa bangso Batak, khususnya Batak Toba amat sangat bersedih apabila tidak mempunyai keturunan anak laki-laki (marurat) yang akan berkonsekuensi terputus penulisan garis Silsilah atau Tarombo di kerabat (marga) nya.
            Pandangan serta pemahaman bangso Batak, khususnya Batak Toba, bahwa manusia ciptaan Tuhan di atas bumi ini ada beberapa macam ditilik dari keturunan (parianakhonon) yakni; Na Gabe, Na Marurat, Na Marbulung, Na Purpur.
            Na Gabe ialah seseorang yang mempunyai keturunan anak laki-laki (lahi-lahi, baoa) dan anak perempuan (boru). Dan menurut pandangan serta pemahaman Batak orang seperti inilah yang paling diidam-idamkan dalam hidup bangso Batak. Penulisan garis Silsilah atau Tarombo terhadap orang ini berjalan secara berkesinambungan karena mempunyai keturunan anak laki-laki sebagai penerus garis Silsilah atau Tarombo.   
            Na Marurat ialah seseorang yang hanya mempunyai keturunan anak laki-laki sehingga selalu menginginkan (manarihon) kehadiran seorang anak perempuan (boru). Penulisan garis Silsilah atau Tarombo terhadap orang ini berjalan secara berkesinambungan karena mempunyai keturunan anak laki-laki sebagai penerus garis Silsilah atau Tarombo, walaupun tidak mempunyai anak perempuan (boru).
            Na Marbulung ialah seseorang yang hanya mempunyai keturunan anak perempuan (boru). Penulisan garis Silsilah atau Tarombo akan terhenti atau terputus, walaupun mempunyai anak perempuan (boru) karena penerus garis Silsilah atau Tarombo hanya terletak pada anak laki-laki.
            Na Purpur ialah seseorang yang tidak mempunyai keturunan anak laki-laki maupun anak perempuan (baoa manang boru). Penulisan garis Silsilah atau Tarombo akan terhenti atau terputus.
            Inilah klasifikasi umum dan terlembagakan dalam adat budaya Batak, khususnya Batak Toba yang merupakan warisan leluhur dan pada fakta empirik masih ditemukan dilaksanakan dan dijunjung tinggi sebagai landasan fundamental baku dalam penulisan garis Silsilah atau Tarombo hingga saat ini. Sebab bukti dan fakta dalam penulisan garis Silsilah atau Tarombo bangso Batak, khususnya Batak Toba hingga saat ini “TIDAK PERNAH” menuliskan anak perempuan (boru) dalam Silsilah atau Tarombo.      
            Pengertian, pemahaman kedudukan laki-laki (lahi-lahi, baoa) dan perempuan (boru) komprehensif paripurna dalam sistem kekerabatan Batak Toba akan meminimalisasi perkara pembagian harta warisan yang diajukan ke meja pengadilan di masa-masa mendatang.
            Oleh sebab itu, peletakan hak waris mutlak absolut yakni penerus garis Silsilah atau Tarombo pada anak laki-laki harus pula dipahami merupakan hak waris fundamental dan sejati bagi bangso Batak, khususnya Batak Toba sebagai konsekuensi pilihan sistem garis keturunan patrilineal, bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
            Untuk itu, perlu dilakukan kajian-kajian hukum tentang Hak Waris bangso Batak, khususnya Batak Toba secara komprehensif paripurna agar tidak tergesa-gesa menyimpulkan, bahwa perbedaan hak waris laki-laki dengan perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Hak Waris Limitatif.  
            Jika diperhatikan cermat dan seksama berbagai kasus-kasus sengketa Hak Warisan yang diajukan generasi-generasi Batak, khususnya Batak Toba ke pengadilan negara belakangan ini bisa dikatakan hanya sekitar sengketa Hak Warisan Harta Kebendaan yang dimiliki seseorang orang tua meninggal oleh para putera-puterinya (anak laki-laki dan anak perempuan-red) an sich. Kemudian, Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 tanggal 1 November 1961 yang memutuskan Kedudukan Laki-laki dan Perempuan Batak sama dalam Warisan juga tidak secara utuh dan terang-benderang meletakkan kedudukan sama antara laki-laki dengan perempuan di dalam hak warisan dasar sebagai penerus Silsilah  atau Tarombo.
 Hak Waris fundamental dan sejati bagi Batak, khususnya Batak Toba ialah  penerus garis Silsilah atau Tarombo, bukanlah hak waris harta kebendaan fisik sebagaimana sering dipersengketakan pada masa belakangan ini.
Jika putusan pengadilan negara mampu memberikan kedudukan sama (hak waris) antara laki-laki dengan perempuan dalam pembagian harta kebendaan orang tua meninggal, justru pasca putusan pengadilan negara timbul ekses negatif dalam struktur kekerabatan seperti terputusnya hubungan bersaudara (marhaha maranggi, mariboto-red) dikemudian hari. Padahal, falsafah Dalihan na Tolu yakni; Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu, Elek Marboru bagi orang Batak, khususnya Batak Toba tidak bisa terlepas sepanjang hayat.
Karena itu, putusan pengadilan negara ( Yurisprudensi Mahkamah Agung) tidak pernah mampu menyelesaikan sengketa hak warisan orang Batak, khususnya Batak Toba, kecuali hak warisan limitatif (hak waris harta kebendaan) semata. Pengadilan negara tidak berkewenangan memutuskan hak waris tradisional yaitu hak waris penerus garis Silsilah atau Tarombo berdasarkan garis keturunan patrilinial.
Oleh karena itu, patut dimengerti dan dipahami, bahwa Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 tanggal 1 November 1961 yang memutuskan Kedudukan Laki-laki dan Perempuan Batak sama dalam Warisan hanyalah bersifat limitatif yakni terbatas hanya pada hak waris harta kebendaan an sich.  Dan itu pulalah sebabnya hingga saat ini mayoritas orang Batak, khususnya Batak Toba masih memilih dan menggunakan hukum adat tradisional (kearifan leluhur) dalam pembagian harta warisan orang tua.
Hak waris limitatif bisa juga dianologikan dengan Undang-Undang No. 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dimana pada pasal 7 ayat (2) Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya Peraturan ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus (7 + ½) – waktu berlangsung hak gadai : 7 x uang gadai, dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen. Ayat (3) Ketentuan dalam ayat (2) pasal ini berlaku juga terhadap hak gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya Peraturan ini.
Menurut yurisprudensi tetap Mahkamah Agung ketentuan pasal 7 ini bersifat “memaksa”. (Putusan No. 420/K/Sip/1968 dan No. 810/K/Sip/1970). Kemudian Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. Sk. 10/Ka/1963 tentang Penegasan Berlakunya Pasal 7 Undang-Undang No. 56/1960 Bagi Gadai Tanaman Keras pada konsideran Menimbang: (a) bahwa untuk menghilangkan unsur-unsur yang bersifat pemerasan daripada gadai, Undang-Undang No. 56 Prp tahun 1960 (L.N. tahun 1960 No. 174) menentukan dalam pasal 7, bahwa tanah-tanah pertanian yang sudah digadai selama 7 tahun atau lebih harus dikembalikan kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar tebusan; (b) bahwa ketentuan tersebut sub a itu berdasarkan kenyataan, bahwa sebenarnya hasil tanah yang diterima oleh pemegang gadai tanah pertanian jauh melebihi bunga yang layak daripada uang yang diterima oleh yang empunya tanah; (c) bahwa kenyataan tersebut sub b berlaku juga bagi tanaman-tanaman keras, sebagai pohon kelapa, pohon buah-buahan dan sebagainya, yang digadaikan berikut atau tidak berikut tanahnya dan karena itu ketentuan tersebut sub a seharusnya berlaku juga bagi gadai tanaman keras.
Memutuskan: Pertama: Menegaskan, bahwa mengingat tujuan dan jiwa ketentuan gadai dalam pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp tahun 1960 (L.N. tahun 1960 No. 174), ketentuan tersebut berlaku juga bagi tanaman-tanaman keras yang digadaikan, berikut atau tidak berikut tanahnya; Kedua: Keputusan ini mulai berlaku pada hari ditetapkan dan mempunyai kekuatan surut hingga tanggal 1 Januari 1961.
Selanjutnya, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 Tahun 1963 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Gadai, pada pasal 4 ayat (1) Jika didalam menyelesaikan gadai yang diadakan sebelum tanggal 1 Januari 1961 terjadi sengketa antara fihak-fihak yang berkepentingan, maka (a) pada tingkat pertama penyelesaiannya supaya diusahakan secara musyawarah antara penggadai dan pemegang gadai, dengan disaksikan oleh Kepala Desa/Panitia Landreform Desa tempat letak tanah atau tanaman yang bersangkutan; (b) jika tidak dapat dicapai penyelesaiannya secara tersebut di atas, maka soalnya diajukan kepada Panitia Lendreform Daerah Tingkat II melalui Panitia Lendreforma Kecamatan, untuk mendapat keputusan, Panitia Landreform Kecamatan memberi pertimbangan kepada Panitia Lendreform Tingkat II; (c) jika salah satu atau kedua fihak tidak dapat menerima keputusan Panitia Landreform Tingkat II, maka fihak yang bersangkutan dipersilahkan untuk mengajukan soalnya kepada Pengadilan Negeri untuk mendapat keputusan.
Putusan Mahkamah Agung No. 2422/Sip/1981: Dengan membiarkan sawah/kebun sengketa tidak ditebus selama 40 tahun maka penggugat dianggap telah melepaskan haknya untuk menebus sawah/kebun tersebut. (lihat; Prof. Boedi Harsono SH, 1989).      
Yang menjadi pertanyaan, mengapa Undang-Undang ini tidak dijadikan orang Batak, khususnya Batak Toba untuk penyelesaian Hak Gadai secara maksimal ? tentu jawabannya, bila Undang-Undang ini dilakukan akan berpotensi menimbulkan gesekan dan keretakan kekerabatan pada Batak, khususnya Batak Toba yang notabene pemegang hak gadai adalah keluarga, kerabat ataupun sanak famili.  
Inilah potret hak-hak menurut hukum negara atau Undang-Undang tidak secara otomatis diterapkan pada masyarakat hukum adat seperti Batak, khususnya Batak Toba hingga saat ini. Jadi sekalipun menurut hukum negara diatur kesamaan hak waris laki-laki dan perempuan, tapi dalam implementasinya masih lebih cenderung menggunakan hak waris menurut Batak, khususnya Batak Toba yang merupakan tatanan berhukum sejak nenek moyang hingga saat ini.
Apakah tabu menyelesaikan sengketa hak waris (waris kebendaan-red) pada Batak, khususnya Batak Toba melalui Pengadilan Negara (Pengadilan Negeri) ? tentu jawabannya “tidak”. Tetapi harus diingat dan dicamkan, bahwa penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri akan berpotensi menimbulkan keretakan hubungan kekeluargaan atau kekerabatan sebagaimana makna hakiki falsafah Dalihan Na Tolu yang dihormati, dijunjung tinggi bangso Batak sepanjang masa.   
                                                                                                Medan, 16 Pebruari 2015
                                                                                                Thomson Hutasoit.
(Penulis: Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya, penulis buku).