rangkuman ide yang tercecer

Rabu, 08 Agustus 2012

Fenomena Patortor Parumaen pada Batak-Toba


Bagian Kedua (Habis) 

Patortor Parumaen merusak kesehatan.
       
Ekses negatif “Patortor Parumaen” dari segi kesehatan adalah terganggunya waktu makan siang, padahal tidak semua orang serapan pagi harinya.

Kalau biasanya waktu makan siang adalah pukul 12.00-13.30 WIB maka pasca penerapan “Patortor Parumaen” makan siang pada pesta perkawinan bisa menjadi pukul 15.00 WIB bahkan pukul 16.00 WIB.

Makan pukul 15.00 WIB atau pukul 16.00 WIB apakah masih cocok disebut makan siang atau lebih tepat disebut makan sore ? 

Keterlambatan makan sangat berpengaruh buruk terhadap kesehatan, misalnya menimbulkan penyakit maag dan lain sebagainya.

Orang sehat saja bila sering terlambat makan rentan terkena penyakit maag konon lagi orang sudah mengidap penyakit maag harus “dipaksa” makan siang pukul 15.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB akibat “Patortor Parumaen” sungguh tidak masuk akal serta sangat membahayakan terhadap kesehatan para tamu dan undangan pesta perkawinan tersebut. 

Tindakan demikian adalah suatu tindakan amat sangat keliru dan tidak masuk akal.

Merusak waktu makan siang normal demi “Patortor Parumaen” yang notabene tidak memiliki logika adat atau hanya demi mencari uang sangatlah keliru besar.

Hal itu bisa dianalogikan mengundang orang lain untuk disiksa waktu makannya atau dirusak kesehatannya.

Tindakan demikian sangat tidak dapat diterima akal sehat serta dapat menimbulkan stigma negatif “pergi ke pesta perkawinan menjemput penyakit” (baca: laho tu pesta mangalap sahit). 

Belum lagi ketika “Patortor Parumaen” tidak mempedulikan efisiensi waktu, dimana pihak-pihak tertentu memanfaatkan acara panortoron untuk memuaskan hasrat (baca: pasombus tagas) dengan umpasa atau umpama bertele-tele agar semua orang tahu bahwa yang bersangkutan memiliki kemampuan marumpasa atau marumpama.

Mereka tidak menyadari bahwa orang lain sudah bosan, dongkol bahkan merengkel atas tindakan inefisiensi waktu tersebut. 

Akibatnya bisa menimbulkan dosa antar sesama. 

Memuaskan hasrat (baca: pasombu tagas) manortor pada saat “Patortor Parumaen”  sama seperti “siar-siaran manortori na so gondangna”. 

Artinya, memuaskan hasrat bukan pada tempatnya. 

Apakah tepat meminta tua ni gondang, gondang somba-somba, gondang mangaliat, gondang sitio-tio dan gondang hasahatan pada saat pesta perkawinan ? 

Apakah ulaon adat marunjuk/mangadati/ pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok ulaon horja sehingga diadakan panortoron ? 

Apakah bijaksana demi “Patortor Parumaen” mengganggu waktu makan siang yang bisa berakibat pada gangguan kesehatan ? 

Hal itu perlu dipikirkan dengan baik dan benar agar ulaon adat tidak menimbulkan penyakit atau menggangu kesehatan. 

Sebagaimana telah diuraikan di awal tulisan ini bahwa prinsip dasar melaksanakan adat budaya adalah “Sinuan bulu sibahen na las, Sinuan partuturan sibahen na horas” bukan mendatangkan penyakit (baca: pa ro sahit). 

Prinsip dasar ini perlu dibumikan dengan baik dan benar agar tudingan-tudingan miring atau negatif dari pihak-pihak gerakan anti adat budaya mampu ditepis.

Patortor Parumaen merusak prosesi adat. 

Prosesi ulaon adat Batak-Toba seperti ulaon adat marunjuk/mangadati/ pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok diawali dengan perjamuan makan (baca: marsipanganon), membagi parjambaran juhut (baca: tudu-tudu ni sipanganon), mangkatai atau marsisungkunan antara parsinabung, parsinabul, parsaut kedua belah pihak (baca: panak dohot parboru), pasahat panggohi ni sinamot, panandaion, pasahat tintin marangkup. 

Kemudian pihak parboru dan/atau tulang ni hela memberikan ulos passamot, ulos hela, ulos suhi ni ampang na opat, ulos holong dan ulos tulang tintin marangkup/siungkap hombung, dan diakhiri mangkatahon olop-olop. 

Akan tetapi, prosesi ulaon adat itu cenderung tidak lagi terlaksana dengan baik dan benar sebab sebahagian besar waktu telah habis untuk “Patortor Parumaen”. 

Sehingga prosesi ulaon adat yang menjadi inti materi acara hanya sekadarnya saja (baca: ambe-ambe laos, tarhipu-hipu so martontu) mengakibatkan ulaon adat kurang bermakna (baca: mago-mago so seang) alias sia-sia belaka. 

Pemberian ulos passamot, ulos hela, ulos suhi ni ampang na opat dan ulos holong yang seyogiyanya diberikan pada saat mata hari terbit (baca: di torang ni ari) berubah jadi malam hari (baca: di golap ni ari) semata-mata akibat inefisiensi waktu “Patortor Parumaen” yang tidak memiliki makna adat sama sekali. 

Pemberian wejangan atau nasihat bernas (baca: poda na tur) kepada pengantin melalui untaian umpasa maupun umpama dari kelompok hula-hula yang menjadi inti ulaon adat tidak ada waktu yang cukup sebab sebahagian besar waktu telah terbuang sia-sia pada saat “Patortor Parumaen”. 

Akibatnya, ulaon adat inti menjadi tak bermakna sama sekali.

Apakah bijaksana inti ulaon adat terdesak atau terpinggirkan oleh “Patortor Parumaen” yang tidak berkaitan sama sekali dengan makna ulaon adat marunjuk/mangadati/ pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok ?

Inilah salah satu kekeliruan besar dalam pelaksanaan “Patortor Parumaen” yang semakin merambah dikalangan Batak-Toba karena “eme na masak digagat ursa, ima na masa ima taula” walau hal itu tidak memiliki landasan adat budaya yang kuat dan benar.

Pelanggengan “Patortor Parumaen” bisa merusak prosesi ulaon adat Batak-Toba secara sistemik karena sebahagian besar waktu, pemikiran, tenaga sudah tertumpah atau tersita pada “Patortor Parumaen” semata-mata untuk mengejar materi (baca: masi hepeng) yang sangat menyimpang dari makna ualon adat Batak-Toba.

Peranan Lembaga Adat. 

Berbagai kekeliruan pelaksanaan ulaon adat belakangan ini perlu menjadi perhatian serius dari lembaga-lembaga adat. 

Misalnya, Lembaga Adat Dalihan Natolu (LADN), Forum Komunikasi Antar Lembaga Adat (FORKALA) dan lain sebagainya agar nilai-nilai luhur adat budaya dapat dijaga, dilestarikan, serta dipertahankan sehingga nilai-nilai adat budaya benar-benar bermanfaat mendatangkan kebahagiaan dalam berbangsa dan bernegara. 

Lembaga-lembaga adat perlu melakukan penelitian, inventarisasi serta pengkajian komprehensif tentang perkembangan adat budaya ditengah-tengah kehidupan masyarakat dan bangsa sebab tidak mustahil akan muncul adat budaya baru didasarkan atas kepentingan tertentu yang berpotensi menimbulkan gesekan ataupun konflik. 

Lembaga-lembaga adat perlu berperan aktif menginventarisir, menganalisis, meluruskan apabila terjadi penyimpangan pelaksanaan adat budaya agar tidak menimbulkan ekses negatif ditengah-tengah kehidupan masyarakat dan bangsa. 

Selain daripada itu, eksistensi lembaga-lembaga adat harus pula nampak dengan nyata melalui tindakan konkrit ditengah-tengah masyarakat atau komunitas, tidak hanya sekadar nama saja tanpa manfaat apa-apa. 

Misalnya, peran aktif lembaga adat untuk memperjuangkan eksistensi masyarakat hukum adat termasuk hak-hak keperdataannya. 
Seperti perjuangan kepastian hak masyarakat hukum adat tentang tanah, hutan dan hak ulayat melalui pengusulan  peraturan daerah (Perda) bahkan undang-undang agar hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat benar-benar terjaga dan terlindungi sebagaimana amanah UUD Republik Indonesia 1945. 
Sesungguhnya peran aktif lembaga adat dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat hukum adat tentang hak-hak keperdataan serta berbagai prosesi adat budaya memiliki posisi amat strategis. 
Akan tetapi sangat disayangkan peran strategis itu belum bisa dilakukan dengan maksimal hingga muncul tudingan lembaga adat hanya sekadar nama belaka.
Bukan kah tujuan pembentukan lembaga adat untuk menjaga, mempertahankan, melestarikan, serta memperjuangkan eksistensi adat budaya dan hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat?  
Tetapi dikala masyarakat hukum adat menghadapi berbagai permasalahan baik prosesi adat budaya maupun perjuangan hak-hak keperdataan peran lembaga-lembaga adat tidak maksimal memberikan asistensi, advokasi, solusi terhadap masyarakat hukum adat.
Hal inilah yang perlu menjadi perhatian serius untuk mempertajam peran lembaga-lembaga adat ditengah-tengah masyarakat dan bangsa. 
 Medan, 29 Juni 2012 
Thomson Hutasoit.
Penulis: Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya, Wakil Sekretaris II Parsadaan Pomparan Toga Sihombing (PARTOGI) Kota Medan Sekitarnya, Penasehat Punguan Toga Lumban Gaol Sektor Helvetia Medan, Wakil Sekretaris Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Sumatera Utara, Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, Kontributor Tabloid Pusuk Buhit, Pemimpin Redaksi Deteksinews, Redaksi Deteksi, Harian Deteksi, tinggal di Medan.

       
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.