rangkuman ide yang tercecer

Jumat, 10 Agustus 2012

Melacak Calon Gubsu 2013-2018


Bagian Kedua.

Tidak berpotensi menjadi penghuni “hotel prodeo” atau penjara.
 
Salah satu kekeliruan dan kesalahan paling memprihatinkan pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung  pasca reformasi adalah ± 17 gubernur, ± 177 bupati/walikota seluruh Indonesia terlibat kasus tindak pidana korupsi.

Dan salah satu diantaranya adalah Gubernur Sumatera Utara non aktif H. Syamsul Arifin Silaban, SE mantan Bupati Langkat dan beberapa bupati/walikota terpaksa mendekam di balik jeruji penjara atau hotel prodeo akibat masa lalunya tidak bersih (terlibat tindak pidana korupsi) ketika menjalankan amanah dipercayakan pada dirinya.

Pengalaman pahit seperti itu tentu tidak boleh terulang kembali pada suksesi Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 agar daerah ini tidak kehilangan tongkat kendali pemerintahan berulang kali. 

Wejangan proklamator republik ini Bung Karno mengatakan,”hanya keledai mau terperosok dua kali ke dalam lobang yang sama” perlu menjadi kesadaran seluruh rakyat Sumatera Utara dalam mencalonkan, memilih Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 mendatang.

Bila tidak demikian, tradisi gubernur, bupati/walikota  terpenjara  akibat mencalonkan, memilih calon gubernur, bupati/walikota memiliki catatan hitam atau diduga keras  memiliki kasus tindak pidana korupsi pada saat memegang jabatan sebelumnya menjadi tradisi buruk di daerah ini.

Rakyat Sumatera Utara berdaulat untuk tidak memilih calon-calon gubernur, bupati/ walikota memiliki catatan hitam atau “koruptor” ketika memegang tampuk kepemimpinan sebelumnya.
Karena dapat dipastikan setelah terpilih akan menjadi warga “hotel prodeo” atau penghuni penjara dikemudian hari.

Oleh sebab itu, figur-figur layak dicalonkan, dipilih menjadi nahkoda provinsi Sumatera Utara adalah orang-orang tidak memiliki catatan hitam atau diduga memiliki kasus tindak pidana korupsi di masa lalu. 

Peranan partai politik dan rakyat untuk tidak mencalonkan, memilih calon Gubernur Sumatera Utara yang memiliki catatan hitam mengakhiri lembaran buram kepala daerah terpenjara di Sumatera Utara ke depan. 

Momentum Pilgubsu tahun 2013 harus mampu dijadikan awal kebangkitan pemerintahan yang bersih, berwibawa, akuntabel agar daerah ini bangkit, melaju menggapai masyarakat makmur, sejahtera, berkeadilan sebagaimana janji proklamasi 17 Agustus 1945.  

Melacak, mengurai rekam masa lalu calon Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 dengan jujur, obyektif, transparan seluas-luasnya merupakan agenda penting harus dilakukan partai politik maupun rakyat Sumatera Utara sebelum menjatuhkan pilihan terhadap para calon bertaburan saat ini.

Memiliki visi-misi jelas dan terukur.

Menjelang tahapan Pilgubsu  2013 para bakal calon (balon) memproklamerkan visi-misi indah-indah dengan tujuan agar rakyat terbius terhadap bakal calon (balon) bersangkutan.  
  
Berbagai angin sorga (ansor) diurai, dibingkai dengan bahasa sangat indah serta menarik. Seperti kata-kata “jika saya terpilih akan…”, “sendainya rakyat memberi kepercayaan  saya akan…..”, “bersama rakyat kita akan….”, dan lain sebagainya. 

Pembingkaian (framing) menurut Stephen P. Robbins, Ph.D (2009) adalah suatu cara menggunakan bahasa untuk mengelola makna. 

Framing itu ada berbentuk metafora, jargon, kontras, plintiran, dan cerita  dengan tujuan mempengaruhi, menarik perhatian rakyat untuk menjatuhkan pilihan. 

Kadangkala metafora, jargon, kontras, plintiran, dan cerita yang dibangun para kandidat  tak jelas dan tak terukur sehingga amat sangat menggelikan, membingungkan serta hanya sekadar angin sorga saja sulit dibumikan. 

Atau hampir mirip dengan iklan atau reklame kecap yang tidak pernah mengiklankan diri kecap nomor dua.

Semua kecap mengklaim diri kecap nomor satu tidak ada kecap nomor dua. 

Visi-misi seperti itu sudah tidak laku lagi sebab tingkat ilmu pengetahuan rakyat pemilih sudah mampu membaca, mengetahui, apakah visi-misi itu jelas dan terukur atau hanya sekadar propaganda politik belaka. 

Visi-misi sekadar jual kecap tidak didasarkan landasan akademik hanyalah sebuah bualan politik konyol untuk membius alam sadar rakyat pemilih tingkat pendidikannya masih rendah.

Sementara kelompok pemilih intelektual, taktik strategi seperti itu akan diartikan atau dimaknai taktik strategi picisan atau pepesan kosong alias visi-misi “sampah” karena tidak dilandasi parameter jelas dan terukur. 

Oleh karena itu, rakyat harus cerdas, cermat melihat, memahami visi-misi para kandidat agar tidak terperangkap visi-misi autopis tak akan pernah terwujud, kecuali menuai kekecewaan dikemudian hari. 

Karena tidak mustahil juga, visi-misi autopis itu bukan hasil pemikiran calon gubernur bersangkutan, tetapi pesanan dari ahli metafora, jargon, kontras, pelintiran, dan cerita untuk sekadar propaganda politik hampa makna.

Memiliki kemampuan menejerial mumpuni. 

Sesuai paradigma otonomi daerah bahwa kepala daerah adalah manajer pemerintahan daerah sehingga harus mampu menyerap serta menjabarkan aspirasi rakyat menjadi komponen kebijakan publik akan dilaksanakan.

Pola top down otoriter tidak ampuh lagi diterapkan dalam sistem penyelenggaran pemerintahan otonomi daerah. 

Pola bottom up partisipatif merupakan model penyelenggaraan pemerintahan otonomi daerah paling sesuai dan tepat untuk mendorong partisipasi rakyat seluas-luasnya dalam pembangunan di segala bidang. 

Oleh karena itu, gubernur harus mampu membangun hubungan saling memercayai, bukan sebaliknya menumbuh suburkan sakwasangka, saling mencurigai ataupun  membangun tembok pemisah diantara seluruh stakeholder daerah.  

Stephen P. Robbins, Ph.D mengatakan berdasarkan penelitian, seorang manajer harus mampu membangun hubungan saling memercayai melalui:

1.      Bersikap terbuka. Ketidakpercayaan berasal dari apa yang orang tidak diketahui dan dari apa yang mereka ketahui, sama banyaknya. Jagalah agar orang-orang tetap memperoleh informasi, buatlah kriteria dengan sangat gamblang mengenai bagaimana keputusan dibuat, jelaskan alasan yang mendasari keputusan, bersikaplah terus terang mengenai berbagai persoalan, dan bukalah sepenuhnya informasi yang relevan.

2. Bersikap adil. Sebelum membuat keputusan atau mengambil tindakan, pertimbangkan bagaimana orang lain akan mempersepsikannya dalam pengertian obyektivitas dan keadilan. Berikan penghargaan kepada seseorang yang memang berhak menerimanya, bersikaplah obyektif dan tidak memihak di dalam penilaian kinerja, dan berilah perhatian pada persepsi keadilan dalam distribusi penghargaan.

3.  Ungkapkan perasaan. Para manajer yang hanya menyampaikan fakta-fakta keras dianggap dingin dan berjarak. Jika berbagi perasaan, orang lain akan memandang pemimpin sebagai nyata dan manusiawi.

4.  Katakan kebenaran. Kebenaran adalah bagian inheren dari integritas. Sekali berbohong dan ketahuan, kemampuan untuk memperoleh dan menjaga kepercayaan sangat merosot. Orang-orang pada umumnya lebih toleran terhadap pengetahuan yang mereka “tidak ingin dengar” daripada mendapati manajer mereka membohongi mereka. 

5. Tunjukkan konsistensi. Orang menginginkan bahwa segala sesuatu dapat diperkirakan (predictable). Ketidakpercayaan muncul karena tidak mengetahui apa yang diharapkan. Biarlah nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan inti memandu tindakan-tindakan. Ini meningkatkan konsistensi dan membangun kepercayaan.

6.    Penuhi janji. Kepercayaan mensyaratkan bahwa orang meyakini dapat diandalkan. Jika perlu memastikan bahwa Anda memegang kata-kata dan komitmen. 

7. Jaga kerahasiaan. Orang-orang memercayai mereka yang bijaksana dan kepada siapa mereka dapat bersandar. Mereka perlu merasa yakin bahwa Anda tidak akan membicarakan rahasia mereka dengan orang lain atau mengkhianati rahasia tersebut. Jika orang mempersepsikan Anda sebagai seorang yang membocorkan rahasia pribadi atau seseorang yang tidak dapat diandalkan, Anda tidak akan dipersepsikan sebagai layak dipercaya.

Selain daripada itu, seorang pemimpin harus memiliki ketegasan, keberanian, kecerdasan, kecermatan dalam mengambil keputusan.

Sifat, sikap ragu-ragu akan mempengaruhi kecepatan mengambil keputusan apalagi diselimuti upaya-upaya pencitraan diri terhadap seluruh pihak yang tidak mudah dipenuhi dan diwujudkan.

Ketegasan dan keberanian mengambil keputusan tidak populer sekalipun sangat diperlukan dari seorang manajer untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan dengan baik. 

Sebagai top leader  gubernur harus mampu memberikan arah kebijakan pemerintahan daerah. 

Bukan sebaliknya, melepaskan atau menggeser tanggung jawab kepada bawahan sehingga bawahan tidak terlindungi dalam mengeksekusi kebijakan pemerintahan daerah. 

Membangun tembok pemisah antara pimpinan dengan bawahan akan menimbulkan jurang komunikasi pimpinan dengan bawahan walau dengan alasan apa pun. 

Misalnya, gubernur mengatakan tidak perlu komunikasi tatap muka, cukup dengan black barry massage (BBM) adalah bentuk “arogansi” kekuasaan dipertontonkan seorang pemimpin terhadap bawahan. 

Padahal, seorang manajer atau pemimpin selain seorang pimpinan an sich juga figur seorang bapak/ibu tempat labuhan curahan hati (curhat) para bawahannya. 

Kepemimpinan kebapaan bisa melindungi serta mengayomi seluruh bawahan melalui sentuhan   komunikasi dua arah untuk meningkatkan hubungan antar personal serta meningkatkan produktivitas, kapasitas, soliditas prestasi kinerja di atas saling menghargai, menghormati dan memercayai.

Memiliki kemampuan entrepreneurship. 

Salah satu perbedaan paling dasar antara sistem pemerintahan sentralistik dengan sistem desentralisasi adalah kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) dituntut kemampuan  menggali seluruh potensi daerah sumber kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 

Karena itu, kemampuan gubernur, bupati/walikota menggali serta mengefektifkan seluruh potensi daerah sebesar-besarnya mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat berkeadilan merupakan salah satu syarat harus dimiliki seorang kepala daerah. 

Melakukan inventarisasi, pemetaan seluruh potensi daerah kemudian membuat matriks-matriks jelas, terukur dan akurat tentang seluruh potensi daerah membuka  peluang pertumbuhan investasi daerah apalagi didukung legalitas  hukum jelas memudahkan calon investor domestik maupun asing menanam modalnya di daerah. 

Bukan seperti belakangan ini dimana kepala-kepala daerah super nafsu menggelontorkan aneka peraturan daerah (Perda) mencekik leher rakyat semata-mata demi mewujudkan ambisi pencapaian target pendapatan asli daerah (PAD) yang sama sekali tidak berkorelasi linier dengan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara nyata.

Bahkan ada daerah mengejar target pendapatan asli daerah (PAD) hingga ke liang kubur dengan menaikkan tarif retribusi pemakaman dan pengabuan mayat sehingga bukan lagi hanya manusia hidup dibebani pajak, retribusi tetapi sudah ikut manusia meninggal demi ambisi mencapai target PAD. 

Kreativitas kepala daerah seperti itu sangat tidak layak dimiliki Gubernur Sumatera Utara, justru yang dibutuhkan adalah sosok gubernur yang mampu meringankan beban rakyat seperti mampu memberikan akte kelahiran dan administrasi kependudukan gratis.

Akte kelahiran dan administrasi kependudukan harus merupakan bahagian public service kewajiban pemerintah daerah terhadap rakyatnya sehingga tidak perlu dijadikan obyek sumber pendapatan asli daerah (PAD). 

Sumatera Utara memiliki potensi sumber daya alam (SDA) sangat luar biasa, tetapi hingga kini masih terdapat puluhan ribu desa belum tersedia jaringan listrik, diantaranya  6.000 kepala keluarga di Kabupaten Toba Samosir yang notabene daerah pemasok energi listrik terbesar di provinsi Sumatera Utara. 

Potensi pertanian, kehutanan, perkebunan, pertambangan, nelayan, perikanan dan kelautan,  pariwisata dan lain sebagainya belum tergarap maksimal hingga kini. 

Danau Toba danau terbesar ketiga di dunia serta danau vulkanik terbesar di atas jagat raya ini terkesan ditelantarkan, padahal danau ikon Sumatera Utara itu sudah go international sebelum republik ini merdeka.

Andaikan gubernur Sumatera Utara memiliki kemampuan entrepreneurship Danau Toba tidak sulit lagi dipromosikan sebagai tujuan wisata internasional asalkan saja didukung infrastruktur jalan, serta menu-menu wisata kreatif sebab Danau Toba sudah sangat mendunia.
  
Demikian juga sumber daya alam (SDA) lain seandainya dikelola efektif, efisien  dengan sumber daya manusia (SDM) berkualitas maka APBD Sumatera Utara bukan lagi hanya sebesar Rp 6,1 triliun Tahun Anggaran 2012. 

Dan paling mengecewakan hingga bulan Agustus 2012 APBD Tahun Anggaran 2012 sebesar Rp 6,1 triliun baru terserap sebesar Rp 1,9 triliun lebih atau setara 23,70 persen. 

Dana APBD sekecil itu pun masih belum mampu diserap optimal sehingga menjadi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) hingga ratusan miliar rupiah setiap tahunnnya.

Perlu diingat bahwa Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) APBD Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran 2011 sebesar Rp 720 miliar lebih. 

Padahal infrastruktur jalan di provinsi Sumatera Utara hancur-hancuran mengakibatkan urat nadi perekonomian terganggu tak karu-karuan sepanjang masa. 

Calon Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 harus benar-benar memiliki kemampuan entrepreneurship sehingga mampu mendorong pertumbuhan investasi, baik investasi daerah, nasional maupun asing dengan berbagai terobosan yang menghargai serta mejamin kearifan lokal di daerah. 

Paradigma pembangunan hanya berorientasi pada besaran APBN atau APBD kini sudah ketinggalan zaman sehingga calon gubernur lima tahun kedepan harus benar-benar memiliki jiwa entrepreneurship ditandai kemampuan menjalin hubungan komunikasi seluas-luasnya di tingkat nasional maupun internasional. 

Karena itu, calon gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 haruslah sosok yang benar-benar mengetahui, memahami tipikal rakyat daerah secara paripurna. 

Bukan sosok pemimpin “syur sendiri” serta tidak mengenal karakteristik daerah Sumatera Utara.
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.