rangkuman ide yang tercecer

Minggu, 19 Agustus 2012

Mengukur Kedewasaan Kebangsaan Indonesia


Oleh : Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

Bagian Pertama

Pendahuluan.

Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke 67 (17Agustus 1945-17 Agustus 2012-red) diperlukan refleksi arti sejati kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia serta segenap tumpah darah Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.

Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang dikumandangkan Bung Karno-Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 dari gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta atas nama seluruh rakyat Indonesia merupakan maklumat rakyat Indonesia ke seluruh dunia bahwa sejak detik itu negara-banga Indonesia telah terbebas dari seluruh belenggu penjajahan kolonial.

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sekaligus pernyataan politik bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara-bangsa berdaulat di atas dunia ini.  

Produk-produk hukum penjajah atau kolonial tidak berlaku lagi, selanjutnya akan digantikan produk-produk hukum Negara Republik Indonesia sebagai wujud nyata kemerdekaan Indonesia.

Negara-bangsa  Indonesia memiliki kedaulatan mutlak absolut untuk mengatur dirinya tanpa campur tangan negara manapun juga.

Sebab arti merdeka adalah bebas dan berdaulat menentukan, mengatur diri untuk mewujudkan kebahagiaan seluruh rakyat tanpa intervensi dari pihak mana pun.

Arti dan makna kemerdekaan sebagaimana ditegaskan Ho Chi Minh, ”Bahwa kemerdekaan bangsa adalah Kemerdekaan Mayoritas Rakyat, adalah untuk menciptakan kebahagiaan murni dan merata kepada seluruh rakyat, dan kemerdekaan hanya pantas dinamakan sebagai kemerdekaan adalah dalam hal dalam negeri dimaksud tidak ada lagi rakyat yang masih menderita atau yang masih belum mengalami kebahagiaan dalam hidupnya” (Fajar As, 1998).

Episentrum kemerdekaan adalah perwujudan kebahagiaan seluruh rakyat yang bukan hanya sekadar pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan di bidang ekonomi belaka.

Kebahagiaan sejati justru terletak pada kesamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan, tanpa kecuali sebagaimana dengan tegas diamanatkan pasal 27 ayat (1) UUD Republik Indonesia 1945, dan Pancasila.

Kebebasan menganut dan menunaikan  agama dan kepercayaan ataupun keyakinan  adalah hal paling mendasar yang perlu mendapat perlindungan optimal dari negara sehingga tidak terjadi lagi perusakan atau penyegelan rumah-rumah ibadah di republik berdasarkan Pancasila ini

Kemerdekaan juga bermakna bahwa seluruh rakyat Indonesia harus terbebas dari ketertindasan, intervensi, ketidakadilan, ketidaknyamanan, ketidakamanan, keterbelakangan, kemiskinan, pembodohan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sehingga setiap orang bebas melakukan aktivitas yang dilindungi jaminan hukum bersifat universal.

Sebagai negara-bangsa merdeka seluruh rakyat Indonesia serta segenap tumpah darah Indonesia mendapat perlindungan dan jaminan hukum dari negara sehingga seluruh perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme tumbuh berkembang menjadi pelangi kehidupan seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Kemampuan menjaga, merawat, serta melestarikan aneka perbedaan, keragaman,  kemajemukan atau pluralisme nusantara menjadi indikator nyata Negara Republik Indonesia benar-benar Rumah Besar Kebangsaan dan Keindonesiaan sejati.

Kedewasaan kebangsaan dan keindonesiaan tercermin dari kemampuan memahami bahwa perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme adalah konstruksi Ilahi serta landasan dasar pendirian negara-bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945 dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika.

Harus pula disadari dengan paripurna bahwa negara-bangsa Indonesia tidak pernah didirikan di atas sentimen sektarianis-primordialis seperti; suku, agama, ras, antar golongan/SARA, tetapi kesamaan penderitaan atas kekejaman serta kekejian penjajah kolonial di bumi nusantara.

Kekejaman, kekejian itulah melahirkan kesadaran nasional yang dimulai Gerakan Bung Utomo 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dirayakan ke 67 HUT kemerdekaan republik ini.

Di usia ke 67 tahun kemerdekaan negeri ini (17 Agustus 2012) tentu diperlukan  suatu evalusi untuk mengukur kedewasaan kebangsaan Indonesia agar diketahui dengan komprehensif sudah sejauhmana republik ini mampu memberikan kebahagiaan hidup dalam berbangsa dan bernegara.

Sudah barang tentu bahwa parameter evaluasi yang harus digunakan adalah Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945 agar tidak menyimpang dari tujuan hakiki pendirian negara-bangsa ini sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa.

Sebab tujuan pendirian negara Republik Indonesia adalah ”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” sesuai amanat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945.

Selanjutnya, janji Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera sebab di atas itulah kebahagiaan negara-bangsa Indonesia bisa terwujud dengan nyata.

Pluralisme Indonesia.

Salah satu kekeliruan terbesar dalam membangun kedewasaan kebangsaan Indonesia adalah munculnya set back berpikir seperti zaman-zaman sebelum  kemerdekaan akibat politik devide at impera yang dilancarkan pemerintah kolonial.

Politik pecah belah dengan menyulut sentimen-sentimen sektarianis-primordialis termasuk membenturkan fanatisme kedaerahan agar satu daerah dengan daerah lain terjadi konflik.

Ketika satu daerah dengan daerah lain saling konflik maka pemerintah penjajah kolonial akan mudah menguasai seluruh bumi nusantara.

Sentimen-sentimen sektarian-primordial seperti; suku, agama, ras, antar golongan/SARA dan isu daerah merupakan sumbu penyulut konflik paling mudah terbakar sehingga isu-isu inilah yang dibenturkan pemerintah kolonial untuk membenturkan, memecah-belah sesama anak ibu pertiwi.

Reinkarnasi politik devide et impera pada era belakangan ini sepertinya tumbuh kembali dengan subur, tetapi yang melancarkan politik devide et impera bukan lagi pemerintah kolonial melainkan penguasa-penguasa politik haus kuasa ”kloning” pemerintah kolonial yang ingin menjajah bangsanya sendiri.

Pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan gubernur (Pilgub), pemilihan bupati (Pilbup), pemilihan walikota (Pilkot), maupun pemilihan legislatif (Pileg) yang seharusnya wahana pendidikan politik rakyat berubah wujud menjadi politik pembodohan rakyat.

Sentimen-sentimen sektarianis-primordialis dipolitisasi demi mewujudkan maniak kuasa tanpa memperhitungkan ekses-ekses negatif seperti terjadinya disharmoni hubungan sosial pasca pemilihan yang membutuhkan cost recovery amat sangat mahal dan berat.

Gesekan, benturan bahkan konflik tidak bisa terelakkan sebagai ekses pemilihan yang dipicu cucunguk-cucunguk politikus busuk yang tidak mau tahu dengan kerusakan bangsa.

Belum lagi berbagai peraturan perundang-undangan, peraturan daerah (Perda) yang menyimpang dan mengkhianati Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945 yang semata-mata didasarkan pada arogansi sentimen sektarianis-primordialis menimbulkan diskriminasi di depan hukum dan pemerintahan yang sangat menyimpang serta bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD Republik Indonesia 1945.

Fenomena fanatisme sektoral buta, arogansi mayoritas tirani minoritas yang merupakan ancaman laten keutuhan bangsa sepertinya tumbuh subur, sementara pemerintah ”tidak” mampu menegakkan kebenaran dan keadilan melalui penerapan hukum yang jelas dan tegas.

Berbagai organisasi masyarakat (Ormas) mengatasnamakan agama tertentu muncul mengambilalih otoritas mutlak absolut negara atau pemerintahan  sehingga seperti negara tanpa pemimpin atau outopilot.

Ketidakhadiran negara di ruang publik semakin terang-benderang hingga pluralisme Indonesia yang dijamin konstitusi acapkali mendapat tekanan luar biasa dari elemen masyarakat mengatasnamakan sentimen suku, agama, ras, antar golongan/SARA ataupun daerah.

Kondisi demikian menjadi indikator nyata kegagalan membangun kedewasaan kebangsaan Indonesia hingga usia 67 tahun kemerdekaan republik ini.

Padahal, konsep kebangsaan keindonesiaan seharusnya sudah final seiring dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 silam yang merupakan konsensus nasional seluruh rakyat nusantara.

Konsep-konsep pembangunan memerdekakan pola pikir belum mampu dihadirkan sebagai konsep besar (gread design) pembangunan bangsa sehingga gagal membangun karakter bangsa (national character building) yang menghargai pluralisme Indonesia.

Konsep pembangunan ekonomi an sich  atau pembangunan fisik telah gagal membangun karakter bangsa Indonesia sejati, malah pembangunan fisik itu telah melahirkan hedonisme, individualisme, konsumerisme, babarian yang sangat tidak sesuai dengan karakter sejati Indonesia gotong-royong dan solider.

Karakter bangsa mengalami kerusakan luar biasa akibat melupakan sejarah bangsanya sendiri.

Pembelotan, pembelokan, pengkhianatan sejarah acapkali dilakukan semata-mata untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan seperti pengingkaran penggali Pancasila Bung Karno yang dilakukan rezim ”diktator” Soeharto.

Pembelotan, pembelokan, pengkhianatan sejarah tersebut telah menimbulkan kontroversi berkepanjangan dalam upaya membangun karakter bangsa di republik ini.

Sejarah demikian telah menimbulkan dampak besar ditengah-tengah berbangsa dan bernegara sebab satu sama lain saling tidak percaya atau saling mencurigai yang pada ujung-ujungnya memicu pro-kontra berkepanjangan.  
 
Padahal, Bung Karno Proklamator bangsa ini telah dengan tegas menyatakan,”Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah/JASMERAH” yang menjadi saksi bisu pendirian Negara Republik Indonesia.

Seandainya, bangsa ini tidak melupakan sejarah maka seluruh rakyat Indonesia mengetahui, memahami hak dan kewajibannya dengan baik dan benar sehingga tidak ada merasa diri paling istimewa di rebulik ini walau dengan alasan apa pun.

Oleh sebab itu, segala peraturan perundang-undangan, peraturan daerah (Perda) yang didasarkan atas sentimen sektarianis-primordialis seperti Perda Syariah harus segera dicabut dan dihilangkan agar diskriminasi atau pengkotak-kotakan sesama anak bangsa tidak terjadi di republik ini.
(Bersambung).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.