Oleh : Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik
(ATRAKTIP)
Bagian Pertama
Pendahuluan.
Dalam rangka memperingati Hari
Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke 67 (17Agustus 1945-17
Agustus 2012-red) diperlukan refleksi arti sejati kemerdekaan bagi seluruh
rakyat Indonesia serta segenap tumpah darah Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara.
Proklamasi kemerdekaan Negara
Republik Indonesia yang dikumandangkan Bung Karno-Bung Hatta pada tanggal 17
Agustus 1945 dari gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta atas nama seluruh rakyat
Indonesia merupakan maklumat rakyat Indonesia ke seluruh dunia bahwa sejak
detik itu negara-banga Indonesia telah terbebas dari seluruh belenggu
penjajahan kolonial.
Proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 sekaligus pernyataan politik bahwa Negara Republik Indonesia
adalah negara-bangsa berdaulat di atas dunia ini.
Produk-produk hukum penjajah
atau kolonial tidak berlaku lagi, selanjutnya akan digantikan produk-produk
hukum Negara Republik Indonesia sebagai wujud nyata kemerdekaan Indonesia.
Negara-bangsa Indonesia memiliki kedaulatan mutlak absolut
untuk mengatur dirinya tanpa campur tangan negara manapun juga.
Sebab arti merdeka adalah bebas
dan berdaulat menentukan, mengatur diri untuk mewujudkan kebahagiaan seluruh
rakyat tanpa intervensi dari pihak mana pun.
Arti dan makna kemerdekaan
sebagaimana ditegaskan Ho Chi Minh, ”Bahwa kemerdekaan bangsa adalah
Kemerdekaan Mayoritas Rakyat, adalah untuk menciptakan kebahagiaan murni dan
merata kepada seluruh rakyat, dan kemerdekaan hanya pantas dinamakan sebagai
kemerdekaan adalah dalam hal dalam negeri dimaksud tidak ada lagi rakyat yang
masih menderita atau yang masih belum mengalami kebahagiaan dalam hidupnya”
(Fajar As, 1998).
Episentrum kemerdekaan adalah
perwujudan kebahagiaan seluruh rakyat yang bukan hanya sekadar pencapaian
kemakmuran dan kesejahteraan di bidang ekonomi belaka.
Kebahagiaan sejati justru
terletak pada kesamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan, tanpa kecuali
sebagaimana dengan tegas diamanatkan pasal 27 ayat (1) UUD Republik Indonesia
1945, dan Pancasila.
Kebebasan menganut dan
menunaikan agama dan kepercayaan ataupun
keyakinan adalah hal paling mendasar
yang perlu mendapat perlindungan optimal dari negara sehingga tidak terjadi
lagi perusakan atau penyegelan rumah-rumah ibadah di republik berdasarkan
Pancasila ini
Kemerdekaan juga bermakna bahwa
seluruh rakyat Indonesia harus terbebas dari ketertindasan, intervensi,
ketidakadilan, ketidaknyamanan, ketidakamanan, keterbelakangan, kemiskinan, pembodohan,
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sehingga setiap orang bebas melakukan
aktivitas yang dilindungi jaminan hukum bersifat universal.
Sebagai negara-bangsa merdeka
seluruh rakyat Indonesia serta segenap tumpah darah Indonesia mendapat
perlindungan dan jaminan hukum dari negara sehingga seluruh perbedaan,
keragaman, kemajemukan atau pluralisme tumbuh berkembang menjadi pelangi
kehidupan seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Kemampuan menjaga, merawat,
serta melestarikan aneka perbedaan, keragaman,
kemajemukan atau pluralisme nusantara menjadi indikator nyata Negara
Republik Indonesia benar-benar Rumah Besar Kebangsaan dan Keindonesiaan sejati.
Kedewasaan kebangsaan dan
keindonesiaan tercermin dari kemampuan memahami bahwa perbedaan, keragaman,
kemajemukan atau pluralisme adalah konstruksi Ilahi serta landasan dasar
pendirian negara-bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Republik
Indonesia 1945 dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika.
Harus pula disadari dengan
paripurna bahwa negara-bangsa Indonesia tidak pernah didirikan di atas sentimen
sektarianis-primordialis seperti; suku, agama, ras, antar golongan/SARA, tetapi
kesamaan penderitaan atas kekejaman serta kekejian penjajah kolonial di bumi
nusantara.
Kekejaman, kekejian itulah
melahirkan kesadaran nasional yang dimulai Gerakan Bung Utomo 1908, Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dirayakan
ke 67 HUT kemerdekaan republik ini.
Di usia ke 67 tahun kemerdekaan
negeri ini (17 Agustus 2012) tentu diperlukan suatu evalusi untuk mengukur kedewasaan
kebangsaan Indonesia agar diketahui dengan komprehensif sudah sejauhmana
republik ini mampu memberikan kebahagiaan hidup dalam berbangsa dan bernegara.
Sudah barang tentu bahwa
parameter evaluasi yang harus digunakan adalah Pancasila dan UUD Republik
Indonesia 1945 agar tidak menyimpang dari tujuan hakiki pendirian negara-bangsa
ini sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa.
Sebab tujuan pendirian negara
Republik Indonesia adalah ”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” sesuai amanat Pembukaan UUD
Negara Republik Indonesia 1945.
Selanjutnya, janji Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan
sejahtera sebab di atas itulah kebahagiaan negara-bangsa Indonesia bisa
terwujud dengan nyata.
Pluralisme Indonesia.
Salah satu kekeliruan terbesar
dalam membangun kedewasaan kebangsaan Indonesia adalah munculnya set back berpikir seperti zaman-zaman
sebelum kemerdekaan akibat politik devide at impera yang dilancarkan
pemerintah kolonial.
Politik pecah belah dengan
menyulut sentimen-sentimen sektarianis-primordialis termasuk membenturkan
fanatisme kedaerahan agar satu daerah dengan daerah lain terjadi konflik.
Ketika satu daerah dengan daerah
lain saling konflik maka pemerintah penjajah kolonial akan mudah menguasai
seluruh bumi nusantara.
Sentimen-sentimen
sektarian-primordial seperti; suku, agama, ras, antar golongan/SARA dan isu
daerah merupakan sumbu penyulut konflik paling mudah terbakar sehingga isu-isu
inilah yang dibenturkan pemerintah kolonial untuk membenturkan, memecah-belah
sesama anak ibu pertiwi.
Reinkarnasi politik devide et impera pada era belakangan ini
sepertinya tumbuh kembali dengan subur, tetapi yang melancarkan politik devide et impera bukan lagi pemerintah
kolonial melainkan penguasa-penguasa politik haus kuasa ”kloning” pemerintah
kolonial yang ingin menjajah bangsanya sendiri.
Pemilihan presiden (Pilpres),
pemilihan gubernur (Pilgub), pemilihan bupati (Pilbup), pemilihan walikota
(Pilkot), maupun pemilihan legislatif (Pileg) yang seharusnya wahana pendidikan
politik rakyat berubah wujud menjadi politik pembodohan rakyat.
Sentimen-sentimen
sektarianis-primordialis dipolitisasi demi mewujudkan maniak kuasa tanpa
memperhitungkan ekses-ekses negatif seperti terjadinya disharmoni hubungan
sosial pasca pemilihan yang membutuhkan cost recovery amat sangat mahal dan berat.
Gesekan, benturan bahkan konflik
tidak bisa terelakkan sebagai ekses pemilihan yang dipicu cucunguk-cucunguk
politikus busuk yang tidak mau tahu dengan kerusakan bangsa.
Belum lagi berbagai peraturan
perundang-undangan, peraturan daerah (Perda) yang menyimpang dan mengkhianati
Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945 yang semata-mata didasarkan pada
arogansi sentimen sektarianis-primordialis menimbulkan diskriminasi di depan
hukum dan pemerintahan yang sangat menyimpang serta bertentangan dengan pasal 27 ayat
(1) UUD Republik Indonesia 1945.
Fenomena fanatisme sektoral
buta, arogansi mayoritas tirani minoritas yang merupakan ancaman laten keutuhan
bangsa sepertinya tumbuh subur, sementara pemerintah ”tidak” mampu menegakkan
kebenaran dan keadilan melalui penerapan hukum yang jelas dan tegas.
Berbagai organisasi masyarakat
(Ormas) mengatasnamakan agama tertentu muncul mengambilalih otoritas mutlak
absolut negara atau pemerintahan sehingga
seperti negara tanpa pemimpin atau outopilot.
Ketidakhadiran negara di ruang
publik semakin terang-benderang hingga pluralisme Indonesia yang dijamin
konstitusi acapkali mendapat tekanan luar biasa dari elemen masyarakat
mengatasnamakan sentimen suku, agama, ras, antar golongan/SARA ataupun daerah.
Kondisi demikian menjadi
indikator nyata kegagalan membangun kedewasaan kebangsaan Indonesia hingga usia
67 tahun kemerdekaan republik ini.
Padahal, konsep kebangsaan
keindonesiaan seharusnya sudah final seiring dengan proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia 17 Agustus 1945 silam yang merupakan konsensus nasional
seluruh rakyat nusantara.
Konsep-konsep pembangunan memerdekakan
pola pikir belum mampu dihadirkan sebagai konsep besar (gread design) pembangunan bangsa sehingga gagal membangun karakter
bangsa (national character building)
yang menghargai pluralisme Indonesia.
Konsep pembangunan ekonomi an sich atau pembangunan fisik telah gagal membangun
karakter bangsa Indonesia sejati, malah pembangunan fisik itu telah melahirkan
hedonisme, individualisme, konsumerisme, babarian yang sangat tidak sesuai
dengan karakter sejati Indonesia gotong-royong dan solider.
Karakter bangsa mengalami
kerusakan luar biasa akibat melupakan sejarah bangsanya sendiri.
Pembelotan, pembelokan,
pengkhianatan sejarah acapkali dilakukan semata-mata untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan seperti pengingkaran penggali Pancasila Bung Karno yang
dilakukan rezim ”diktator” Soeharto.
Pembelotan, pembelokan,
pengkhianatan sejarah tersebut telah menimbulkan kontroversi berkepanjangan
dalam upaya membangun karakter bangsa di republik ini.
Sejarah demikian telah
menimbulkan dampak besar ditengah-tengah berbangsa dan bernegara sebab satu
sama lain saling tidak percaya atau saling mencurigai yang pada ujung-ujungnya
memicu pro-kontra berkepanjangan.
Padahal, Bung Karno Proklamator
bangsa ini telah dengan tegas menyatakan,”Jangan Sekali-sekali Melupakan
Sejarah/JASMERAH” yang menjadi saksi bisu pendirian Negara Republik Indonesia.
Seandainya, bangsa ini tidak
melupakan sejarah maka seluruh rakyat Indonesia mengetahui, memahami hak dan
kewajibannya dengan baik dan benar sehingga tidak ada merasa diri paling
istimewa di rebulik ini walau dengan alasan apa pun.
Oleh sebab itu, segala peraturan
perundang-undangan, peraturan daerah (Perda) yang didasarkan atas sentimen
sektarianis-primordialis seperti Perda Syariah harus segera dicabut dan
dihilangkan agar diskriminasi atau pengkotak-kotakan sesama anak bangsa tidak
terjadi di republik ini.
(Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.